ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 05 Maret 2023
Asal Usul Kerapuhan
Oleh:
Lenny Utama Afriyenti & Wahyu Aulizalsini Alurmei
Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
“Anak saya menolak untuk ikut lomba itu, Pak. Dia takut ngga menang”.
“Apalah saya ini, hanya jadi beban kedua orang tua. Saya tidak seperti adik saya, dia dibanggakan”.
“Aku takut salah nih, nanti malah ditegur”.
“Mereka kok ngga like postinganku ya?”
Beberapa dari kita mungkin pernah mendengar kalimat-kalimat diatas dari orang lain atau justru kalimat tersebut muncul dari diri kita sendiri. Apa yang Anda tangkap dari kalimat tersebut? Sebuah bentuk kecemasankah, insecure, rendah diri, self talk negative, bentuk ketidakpercayaan diri, putus asa, atau bentuk negative lainnya?
Jika disematkan satu kata, maka kata yang cukup tepat menggambarkan kalimat-kalimat tersebut adalah kerapuhan. Menurut KBBI, kerapuhan adalah perihal rapuh; kelemahan (hati dan sebagainya); mudah berputus asa; lemah hati; lembik; sudah rusak (patah, pecah, sobek, putus).
Dalam psikologi, kata rapuh pada umumnya diletakkan pada sebuah self (diri). Pertanyaannya, mengapa self bisa menjadi rapuh? Kagan & Snidman (1991) menjelaskan bahwa mungkin ada beberapa individu yang memang terlahir dengan temperamen tertentu seperti mengambil resiko secara alamiah atau ada yang cenderung waspada serta mudah frustrasi. Hal ini juga diperkuat dari temuan (Dweck, 2020) dimana ia melakukan riset yang menunjukkan bahwa jenis umpan balik yang didapatkan oleh seseorang pada masa anak-anak melalui orang dewasa disekitarnya dapat menyebabkan pola-pola itu terjadi. Lebih lanjut dalam riset lain ia mengatakan bahwa jenis kritik serta pujian dari orang dewasa bisa menciptakan kegigihan beroerientasi penguasaan atau malah memunculkan perasaan rapuh tak berdaya. Artinya self (diri) dapat menjadi rapuh karena orang dewasa disekitarnya.
Dweck (2020) memeriksa kembali literatur pengasuhan anak dan mengecek bagaimana interaksi orangtua-anak dapat menyebabkan hal ini terjadi. Ia memberikan hipotesis pada eskperimen yang dilakukan bahwa kritik yang menilai kualitas anak atau menghakimi anak secara utuh akan membuat anak-anak secara pribadi lebih rapuh saat menemui hambatan dalam kehidupan mereka kelak. Secara tidak langsung anak-anak tersebut belajar menilai diri sendiri dari apa yang telah mereka lakukan, apabila dinilai buruk mereka akan menyimpulkan sesuatu yang negative atas perilaku tersebut.
Prediksi berikutnya adalah bahwa kritik yang berfokus pada usaha atau strategi anak dalam melakukan aktifitasnya akan mendukung respons berorientasi-penguasaan jika nantinya mereka menghadapi kesulitan. Dalam perjalananannya, mereka dapat menyelesaikan hambatan yang datang dengan tetap memperhatikan usaha apa yang akan dilakukan.
Selain kritik, Dweck (2020) juga berasumsi bahwa pola-pola yang disampaikan oleh Kagan dan Snidman muncul karena pujian yang dapat menyebabkan hadirnya perasaan rapuh. Oleh karena itu menjawab hal tersebut, Dweck (2020) melakukan riset melalui eksperimen pada murid-murid TK. Ia membagi kelompok, dimana ada kelompok yang diberi umpan balik yang mengarahkan anak pada strategi-strategi tertentu serta kelompok yang diarahkan umpan balik pada kepantasan perilaku tertentu secara individu. Hasilnya sesuai dengan hipotesis yang disampaikan bahwa kelompok yang menerima kritik berorientasi individu menunjukkan reaksi tak berdaya paling kuat diantara kelompok lain, sementara kelompok yang menerima umpan balik strategi menunjukkan respons berorientasi penguasaan paling kuat.
Hal yang sama juga terjadi pada pujian. Kelompok yang menerima pujian berorientasi-individu seperti: “kamu anak yang membanggakan”, “Kamu hebat, papa bangga padamu” atau “kamu memang jagonya” adalah yang paling rapuh terhadap dampak-dampak kegagalan yang mungkin akan ia temui kemudian hari. Mereka akan lebih rentan menyalahkan orang lain atas satu kegagalan mereka karena mereka menganggap bahwa pujian yang selama ini mereka dapatkan karena mereka mampu dan berlaku baik sesuai harapan orang dewasa disekitarnya, serta beranggapan bahwa apabila mereka gagal artinya diri mereka tidak mampu dan tidak berlaku baik. Ada sebuah perasaan/nilai bahwa mereka merasa berharga saat sukses, dan akan merasa banyak kekurangan serta evaluasi negatif pada diri betapa tidak berharganya mereka saat gagal.
Hal ini berbeda pada kelompok anak-anak dalam kelompok pujian-strategi. Mereka terlihat lebih gigih dan konstruktif daripada anak-anak dalam kelompok pujian-individu.
Kepada orang tua hendaknya dapat memahami hal ini. Dasar kerapuhan seorang manusia bisa dimulai dari bagaimana reaksi kita terhadap apa yang mereka lakukan. Memberikan kritik dan pujian bukanlah sebuah kesalahan pada individu yang sedang bertumbuh. Apabila reaksi yang diberikan difokuskan kepada strategi serta konstruktif untuk pengembangan diri mereka demi mencegah terjadinya perasaan rapuh, maka itu dapat membantu mereka menghadapi hidup dengan lebih kuat dan percaya diri.
Referensi:
Dweck, C. S. (2013). Self-theories: Their role in motivation, personality, and development. Psychology press.
Kagan, J., & Snidman, N. (1991). Temperamental factors in human development. American Psychologist, 46(8), 856.