ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 05 Maret 2023
Apakah Purusa Pradana Di Bali Dapat Berpotensi Menyebabkan Maternal Burnout?
Oleh:
Ni Luh Prema Shantika Putri Laksmi & Tience Debora Valentina
Program Studi Sarjana Psikologi, Universitas Udayana
“Bungan natah” adalah sebutan yang elok untuk remaja perempuan Bali sebagai simbol keindahan bagi setiap keluarga. Sejak remaja, perempuan Bali memiliki pancaran taksu atau daya tarik yang berbeda dari perempuan pada umumnya (Dinas Kebudayaan, 2021). Setelah seorang perempuan Bali melepas masa lajangnya ke jenjang perkawinan, sebutan bungan natah pudar tergerus konsep purusa pradana. Awal mulanya, konsep purusa pradana berasal dari ajaran agama Hindu dilambangkan sebagai keseimbangan antara esensi maskulinitas sebagai purusa dan esensi feminitas sebagai pradana untuk mencapai kedamaian (Agung, 2016). Sedangkan konsep purusa pradana di Bali pada umumnya tercermin sebagai perbedaan peran antara gender laki-laki (purusa) dan perempuan (pradana). Perbedaan terjadi di kalangan masyarakat hingga menyebabkan terbentuknya sistem keluarga patrilineal yang mengarah pada ketimpangan peran gender antara perempuan dan laki-laki (Agung, 2016). Hal ini lebih memberatkan peran perempuan dikarenakan adanya anggapan perempuan menjadi subordinat daripada laki-laki (Suarmika & Utama, 2018). Hal tersebut dapat terlihat pada perbedaan kedudukan perempuan dan laki-laki baik dalam perkawinan, hak waris dan peranan dalam kehidupan sosial (Rahmawati, 2016).
Ketidakseimbangan tuntutan terhadap dengan kemampuan yang dimiliki menciptakan suatu fenomena yang disebut dengan burnout (Mikolajczak., Gross., & Roskam, 2019). Apabila hal tersebut dialami oleh perempuan dalam pengasuhan anak maka dikenal dengan maternal burnout (Lebert-Charron et al., 2018). Perempuan cenderung lebih mudah terserang stres hingga burnout dibandingkan laki-laki dikarenakan timpangnya pekerjaan yang dibebankan dalam melakukan pengasuhan dan pekerjaan (Alisma & Adri, 2021). Terlebih dalam dewasa ini, perempuan berperan besar sebagai pendidik anak lebih dominan sebanyak 88,9% dibandingkan laki-laki (Kartika et al., 2020). Fenomena maternal burnout tentu tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab maternal burnout memiliki implikasi yang menghawatirkan seperti perilaku abai dan kekerasan terhadap anak (Mikolajczak & Roskam, 2018). Hal tersebut menjadi sorotan bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait meningkatnya perlakuan kekerasan orangtua kepada anak baik secara verbal maupun secara fisik (Palupi, 2021). Pernyataan tersebut didukung melalui data SIMFONI Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (PPPA) yang menyebutkan bahwa terjadi 3.087 kekerasan terhadap anak di tahun 2020 (KPPPA RI, 2020). Berdasarkan temuan kajian literatur pada 171 negara, menyebutkan bahwa kekerasan pada anak lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Devries et al., 2018). Hal tersebut relevan dengan adanya ketimpangan peran gender sebagai akibat dari purusa pradana di Bali menjadi penyebab perempuan Bali yang telah menikah mengalami maternal burnout.
Bertitik tolak pada fenomena tersebut, pihak purusa yang pada umumnya diampu oleh laki-laki menjadikan perempuan berada dalam ketidaksetaraan terutama keluarga yang mendiskriminasi laki-laki dan perempuan (Suarmika & Utama, 2018). Perempuan diberikan banyak pembatasan seperti pengambilan keputusan dan lebih banyak dituntut untuk menaati aturan dan menjalankan lebih banyak tugas (Hasan & Maulana, 2014). Fenomena ini dijelaskan dalam penelitian Hasan & Maulana (2014) yang mengatakan bahwa perempuan Bali merasakan adanya beban kerja dari ketimpangan peran yang dirasakan. Laki-laki yang berperan sebagai suami cenderung lebih banyak menghabiskan sisa waktunya setelah bekerja untuk bersantai, bersosialisasi ataupun membahas hal politik. Sedangkan perempuan dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah, pekerjaan di tempat kerja, serta kewajiban adat dan ritual keagamaan (Wedaningtyas & Herdiyanto, 2017). Selain itu, beban yang berat dalam menjalankan peran gender di Bali dapat menjadi beban psikologis bagi perempuan namun tidak dapat diucapkan secara terang-terangan akibat adanya pengaruh budaya dan kontrol sosial. Berdasarkan pernyataan salah satu responden dalam penelitian Hasan & Maulana (2014) bahwa fenomena ini membuat kaum perempuan hanya dapat menerima dan menjalankan meskipun dengan berat hati.
Kendati perempuan Bali memandang seluruh beban yang ditanggung adalah sebagai bentuk pengorbanan tulus ikhlas (yadnya), namun beban berlebihan yang dipikul akan menyebabkan dampak buruk terutama dalam aktivitas melakukan pengasuhan anak. Pengasuhan anak dipercaya secara dominan menjadi tanggung jawab ibu dan merupakan sebuah tugas yang melelahkan dan dapat menyebabkan stres (Roskam & Mikolajczak, 2020). Dalam arti lain, perempuan Bali yang sudah memiliki tugas yang kompleks tentu akan merasa aktivitas mengasuh anak bukanlah suatu hal yang mudah dan mengarah pada maternal burnout. Maternal burnout dapat ditandai dengan adanya jarak emosional antara ibu dengan anak secara emosional sehingga dapat berimplikasi pada pengabaian atau kekerasan terhadap anak (Mikolajczak & Roskam, 2018). Berdasarkan penelitian Diputra & Lestari (2015) menjelaskan bahwa perempuan Bali rentan merasa sakit kepala, kelelahan dan perasaan jengkel akibat banyaknya kegiatan yang tumpang tindih serta tidak ada dukungan dari suami berupa bantuan dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Kelelahan tersebut diluapkan kepada anak dalam bentuk memarahi anak (Diputra & Lestari, 2015). Hal tersebut tentunya akan menimbulkan trauma fisik maupun psikologis yang berdampak pada kehidupannya di masa dewasa (Griffith, 2020). Selain itu, penelitian Ariyanti & Ardhana, (2020) menyebutkan bahwa sistem patrilineal memiliki sisi gelap berupa kekerasan pada perempuan yang berujung pada kekerasan pada anak. Hal tersebut dikarenakan ketidakberdayaan perempuan dalam melampiaskan ketidakadilan yang didapatkan kepada pasangannya.
Adapun faktor yang berisiko dapat memunculkan maternal burnout adalah rendahnya kepuasan perkawinan, tidak seimbangnya peran pengasuhan antara suami dan istri, serta adanya disorganisasi dalam keluarga (Bastiaansen et al., 2021). Apabila dibandingkan antara perempuan dan laki-laki, perempuan merasa cenderung tidak puas akan perkawinannya dibandingkan laki-laki dan bahkan dapat menyebabkan adanya perceraian (Paramita & Suarya, 2018). Faktor risiko lainnya dari adanya maternal burnout adalah adanya faktor finansial yang tidak aman, pengangguran, dan rendahnya dukungan sosial dari keluarga (Griffith, 2020). Perempuan Bali yang lebih sering menjadi “pendatang” di keluarga suaminya tidak jarang mendapatkan dukungan sosial yang tidak baik. Tidak sedikit perempuan Bali dihadapkan pada kewajiban untuk terlihat baik, tunduk pada peraturan di keluarga suaminya dan bersiap untuk menerima ganjaran dari anggota keluarga suaminya apabila tidak menaati peraturan (Wedaningtyas & Herdiyanto, 2017). Bahkan tidak jarang pula perempuan Bali yang sudah menikah tersebut kesulitan untuk mendapatkan izin bepergian ke rumah bajang (rumah asalnya sebelum menikah) (Wedaningtyas & Herdiyanto, 2017).
Bertitik tolak pada pembahasan diatas, purusa pradana di Bali merupakan bentuk implementasi dari konsep ajaran agama Hindu yang mengalami perbedaan pandangan di masyarakat. purusa pradana di Bali dimaknai dalam bentuk sistem perkawinan, sistem waris, dan kedudukan sosial di masyarakat. Perbedaan pandangan di masyarakat menyebabkan terjadinya ketimpangan peran gender antara perempuan dan laki-laki di Bali akibat sistem kekerabatan patrilineal atau kapurusa di Bali sehingga menjunjung tinggi purusa dan menomor duakan pradana. Hal tersebut dapat berimplikasi pada banyaknya peran yang harus dijalankan perempuan bali sehingga dapat berpotensi menyebabkan maternal burnout.
Referensi:
Agung, A. A. I. (2016). Makna Purusa dan Pradana dalam Putusan Hakim Mengenai Sengketa Waris Adat Bali. Universitas Brawijaya.
Alisma, Y., & Adri, Z. (2021). Parenting Stress Pada Orangtua Bekerja Dalam Membantu Anak Belajar Di Rumah. PSYCHE: Jurnal Psikologi, 3(1), 64–74. https://doi.org/10.36269/psyche.v3i1.322
Ariyanti, N. M. P., & Ardhana, I. K. (2020). Dampak Psikologis dari Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Perempuan pada Budaya Patriarki di Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 10(1), 283. https://doi.org/10.24843/jkb.2020.v10.i01.p13
Bastiaansen, C., Verspeek, E., & van Bakel, H. (2021). Gender differences in the mitigating effect of co-parenting on parental burnout: The gender dimension applied to covid-19 restrictions and parental burnout levels. Social Sciences, 10(4). https://doi.org/10.3390/socsci10040127
Devries, K., Knight, L., Petzold, M., Merrill, K. G., Maxwell, L., Williams, A., Cappa, C., Chan, K. L., Garcia-Moreno, C., Hollis, N. T., Kress, H., Peterman, A., Walsh, S. D., Kishor, S., Guedes, A., Bott, S., Butron Riveros, B. C., Watts, C., & Abrahams, N. (2018). Who perpetrates violence against children? A systematic analysis of age-specific and sex-specific data. BMJ Paediatrics Open, 2(1), 1–15. https://doi.org/10.1136/bmjpo-2017-000180
Dinas Kebudayaan. (2021). Taksu Perempuan Bali. https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/28-taksu-perempuan-bali
Diputra, N. D. W., & Lestari, M. D. (2015). Koping Stres Dalam Menjalani Peran Ganda Pada Wanita Hindu Di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 2(2), 206–214. https://doi.org/10.24843/jpu.2015.v02.i02.p09
Griffith, A. K. (2020). Parental Burnout and Child Maltreatment During the COVID-19 Pandemic. Journal of Family Violence. https://doi.org/10.1007/s10896-020-00172-2
Hasan, N., & Maulana, R. (2014). Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali: Studi fenomenologis terhadap penulis perempuan Bali. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 149–162.
Kartika, Mulyati, S. B., Eka, H., & Lestari, P. (2020). Relationship Between School-Age Abilities in Online Learning with Stress Levels of Parent During The Covid-19 Pandemic. International Summit on Science Technology and Humanity (ISETH), https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle, 66–71.
KPPPA RI. (2020). ANGKA KEKERASAN TERHADAP ANAK TINGGI DI MASA PANDEMI, KEMEN PPPA SOSIALISASIKAN PROTOKOL PERLINDUNGAN ANAK. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak
Lebert-Charron, A., Dorard, G., Boujut, E., & Wendland, J. (2018). Maternal burnout syndrome: Contextual and psychological associated factors. Frontiers in Psychology, 9(JUN). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00885
Mikolajczak, M., Gross, J. J., & Roskam, I. (2019). Parental Burnout: What Is It, and Why Does It Matter? Clinical Psychological Science, 7(6), 1319–1329. https://doi.org/10.1177/2167702619858430
Mikolajczak, M., & Roskam, I. (2018). A theoretical and clinical framework for parental burnout: The balance between risks and resources (BR2). Frontiers in Psychology, 9(JUN), 886. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00886
Palupi, T. N. (2021). Tingkat Stres Ibu Dalam Mendampingi Siswa-Siswi Sekolah Dasar Selama Belajar Di Rumah Pada Masa Pandemi Covid-19. Jp3Sdm, 10(1), 36–48.
Paramita, N. K. P., & Suarya, L. M. K. S. (2018). Peran komunikasi interpersonal dan ekspresi emosi terhadap kepuasan perkawinan pada perempuan di usia dewasa madya. Jurnal Psikologi Udayana, 5(2), 241–253. https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/40396/24548
Rahmawati, N. N. (2016). Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender. Jurnal Studi Kultural, I(1), 58–64.
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2020). Gender Differences in the Nature, Antecedents and Consequences of Parental Burnout. Sex Roles, 83(7–8), 485–498. https://doi.org/10.1007/s11199-020-01121-5
Suarmika, P. E., & Utama, E. G. (2018). Gender Differences (Purusa Pradana) and Metacognitive Skills in Bali. JPDI (Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia), 3(1), 14. https://doi.org/10.26737/jpdi.v3i1.524
Wedaningtyas, P. A. M. P. P., & Herdiyanto, Y. K. (2017). Tuah Keto Dadi Nak Luh Bali: Memahami Resiliensi Pada Perempuan Yang Mengalami Kdrt Dan Tinggal Di Pedesaan. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1), 9–19. https://doi.org/10.24843/jpu.2017.v04.i01.p02