ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 04 Februari 2023
Koneksi Sebelum Remediasi:
Pondasi Menghadapi Learning Loss Pasca Pandemi
Oleh:
Helsa
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir tahun 2022 lalu oleh Presiden Joko Widodo menandakan Indonesia berada di penghujung masa pandemi. Hal ini seakan menjadi angin segar bagi berbagai sektor, tak terkecuali sektor pendidikan. Sejak pertengahan tahun 2022, institusi pendidikan di berbagai jenjang sudah mulai dapat melaksanakan kegiatan akademik dan non-akademik secara tatap muka.
Kembalinya peserta didik ke sekolah maupun perguruan tinggi tidak serta merta menyelesaikan semua masalah di bidang pendidikan selama pandemi. Nyatanya, banyak di antara peserta didik yang mengalami learning loss selama pembelajaran daring. Menurut The Education and Development Forum (2020), learning loss adalah kondisi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan umum atau khusus, atau terjadinya kemunduran akademik karena kondisi tertentu, seperti adanya kesenjangan yang berkepanjangan atau proses belajar yang tidak berlangsung optimal. Learning loss terjadi karena terbatasnya interaksi langsung antara peserta didik dan guru, terbatasnya komunikasi antar-siswa, situasi pembelajaran yang kurang kondusif selama belajar daring, kesulitan untuk fokus, hingga terbatasnya ruang diskusi secara langsung selama pembelajaran daring (Munawaroh & Nurmalasari, 2021). Dampaknya, mahasiswa kesulitan untuk memahami pembelajaran, merasakan kecemasan, stres, hingga gejala depresi (Tang et.al., 2021). Beberapa mahasiswa juga merasakan semangat belajar yang menurun, sehingga lebih sering absen di kelas dan mengalami penurunan nilai.
Dalam pengamatan penulis, dampak learning loss ini semakin terlihat seiring kembalinya mahasiswa melakukan pembelajaran tatap muka. Tidak sedikit mahasiswa yang ditemukan kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi baru ini, termasuk dalam memahami materi di kelas. Hal ini terjadi salah satunya karena kurangnya pemahaman akan materi-materi terdahulu yang disampaikan semasa pembelajaran daring. Lantas, bagaimana kita menyikapi hal ini?
Sebagai pendidik, mungkin kita memikirkan langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk menutup kesenjangan pengetahuan peserta didik kita. Namun, ternyata ada hal lain yang lebih penting daripada remediasi akademik para peserta didik. Menurut Bransetter (2022), peserta didik yang memiliki beban emosional akan lebih sulit untuk belajar secara efektif. Dalam hal ini, peserta didik yang perlu melalui proses adaptasi kembali dengan pembelajaran tatap muka, ditambah dengan berbagai kecemasan dan stres yang dirasakan terkait situasi ini, cenderung akan merasakan gejolak emosi yang dapat menghambatnya dalam belajar. Meski stres dapat meningkatkan kapasitas belajar dalam derajat tertentu, namun stres yang berlebihan justru akan menurunkan kemampuan kognitif, seperti atensi, pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, dan sebagainya (Whiting et.al., 2021). Di sisi lain, happiness (kebahagiaan) ditemukan dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan koneksi sosial-emosional (Bransetter, 2022).
Melalui beberapa literatur di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa aspek emosi tidak boleh diabaikan untuk mengatasi learning loss para peserta didik. Alih-alih memikirkan bagaimana strategi remediasi akademik, kita perlu terlebih dahulu memikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk membuat peserta didik merasa aman, sehingga dapat lebih siap dalam belajar. Sebagai pendidik, kita dapat menunjukkan empati kepada peserta didik kita akan kesulitan yang dihadapinya, “memang ini sulit ya, tidak apa-apa karena kita akan bersama-sama berusaha agar kesulitan ini dapat teratasi.” Adanya koneksi emosi yang disampaikan sesederhana lewat kata-kata nyatanya menjadi hal kecil yang sangat berarti bagi peserta didik kita. Melakukan “daily check” terhadap suasana hati peserta didik juga dapat dilakukan agar mereka memiliki kesempatan untuk mengutarakan perasaannya. Selain itu, alokasikan waktu untuk kegiatan yang dapat memupuk kelekatan antar-peserta didik, seperti menyajikan aktivitas kelompok yang menyenangkan.
“The core of education is the relationship between the teacher and the student, and the extent to which that relationship nurtures the longing of the child to matter in the world, and the longing of the teacher to nurture and fulfill that desire.”
-Timothy Shriver and Jennifer Buffet -
Referensi:
Bransetter, R. (2022). What can you do about pandemic learning losses? https://greatergood.berkeley.edu/article/item/what_can_you_do_about_pandemic_learning_losses
Munawaroh, E. & Nurmalasari, Y. (2021). Student resilience after pandemic: learning loss recovery. Psikoeduko: Jurnal Psikologi Edukasi dan Konseling, 1(2), 1-10.
Tang, S., Xiang, M., Cheung, T., & Xiang, Y.T. (2021). Mental health and its correlates among children and adolescents during COVID-19 school closure: The importance of parent-child discussion. Journal of Affective Disorders, 279, 353-360. https://doi.org/10.1016/j/jad/2020/10/016.
Whiting, S.B., Wass, S.V., Green, S., & Thomas, M.S.C. (2021). Stress and learning in pupils: Neuroscience evidence and its relevance for teachers. Mind Brain Education, 15(2), 177-188. doi: 10.1111/mbe.12282