ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 04 Februari 2023
Hubungan Gangguan Somatoform Terhadap Mahasiswa Yang Stress Akibat Tugas
Oleh:
Windi Kartikasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Dalam DSM-5, ada perubahan penting dalam definisi istilah gangguan somatoform dibandingkan dengan apa yang dijelaskan dalam DSM-4. Untuk kategori diagnostik itu, DSM-5 menetapkan "gejala somatik dan gangguan terkait". Kategori "gangguan somatoform" telah dihapuskan. Diagnosis (gangguan gejala somatik dan gangguan terkait), yang meliputi gangguan gejala somatik, gangguan kecemasan penyakit, gangguan konversi dan faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis lain dan kondisi faktual, merupakan perubahan penting. Ini karena berfokus pada reaksi pasien tentang gejala somatik mereka (pikiran, emosi dan perilaku), yang biasanya ekstrem. Pada pasien di mana gejala somatik dapat dijelaskan secara medis, DSM-5 menuntut bahwa semua kriteria lain untuk gangguan tersebut harus dipenuhi. Gangguan faktual dan faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis lainnya telah ditambahkan ke gangguan gejala somatik dan gangguan lainnya. Gangguan konversi tetap sama seperti pada DSM-4. Hipokondriasis sekarang disebut "gangguan kecemasan penyakit" (American Psychiatric Association, 2013). Akhirnya DSM-5 tidak mempertimbangkan diagnosis gangguan nyeri, karena sangat sulit untuk mengetahui dengan tepat apakah faktor psikologis terlibat dalam keluhan nyeri (Charis & Panayiotou, 2018).
Setiap orang mengalami stres, stres dapat muncul karena banyak faktor yang berbeda, baik eksternal maupun internal. Seseorang sering stres karena beban yang berat. Mahasiswa juga tidak lepas dari stres karena banyak tanggung jawab yang harus segera diselesaikan, seperti tugas kuliah. Bagi mahasiswa tingkat akhir, tingkat stresnya lebih tinggi bukan hanya karena mata kuliah tetapi juga karena penyelesaian proyek kelulusan atau tugas akhir (Ambarwati et al., 2019). Quarter life crisis lebih sering terjadi pada siswa yang baru saja lulus atau akan menyelesaikan studinya. Tahap ini juga terkait dengan stres. Hal ini terutama didukung oleh penelitian Black Allison, yang memaparkan beberapa pengalaman seseorang usia 18-29 tahun dalam mengidentifikasi stressor yang banyak ditemukan pada mahasiswa (Fauzia & Tanau, 2020).
Stres siswa dapat memiliki efek positif atau negatif. Tingkat stres akademik yang meningkat akan menurunkan kemampuan untuk belajar, yang pada gilirannya akan memengaruhi IPK. Bahkan tugas-tugas yang dianggap sangat sulit dapat menyebabkan ingatan yang buruk, penurunan konsentrasi, kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan belajar. Beban stres juga dapat menyebabkan seseorang melakukan perilaku negatif seperti merokok, mabuk-mabukan, berkelahi, seks bebas, bahkan penggunaan narkoba. Karena stres memiliki efek negatif, jika stres berada dalam kapasitas individu, maka akan memberikan efek positif berupa peningkatan kreativitas dan pengembangan diri. Stres masih penting untuk pertumbuhan pribadi mahasiswa (Ambarwati et al., 2019).
Menurut Merriam-Webster, istilah psikosomatis sendiri merupakan gejala dari masalah fisik yang disebabkan oleh gangguan mental dan emosional. Dalam psikologi, ini disebut gangguan somatoform. Menurut Charis dan Panayiotou (2018), gangguan somatoform dapat dipahami sebagai sekelompok gangguan yang terdiri dari gejala fisik yang tidak sepenuhnya mendefinisikan penyebab atau keluhan medis. Penelitian lain oleh Spiering (2016) melihat perbandingan faktor stres selama krisis kuartal pada orang yang berpendidikan tinggi dan tidak berpendidikan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres lebih tinggi pada orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Stres yang ada pada individu atau mahasiswa di perguruan tinggi membuat mereka lebih fokus pada studi dan karir mereka. Terungkap bahwa sumber stres yang sering dialami siswa adalah tuntutan akademik yang tinggi, mahasiswa dianggap dewasa dan perlu belajar mandiri (Fauzia & Tanau, 2020).
Gangguan somatoform adalah sekelompok gangguan yang mencakup sejumlah gejala fisik yang signifikan secara klinis yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh penyebab medis umum dan bukan merupakan akibat dari gangguan mental, misal kecemasan (anxiety). Kondisi ini mempengaruhi 5-7% populasi dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Kondisi ini juga lebih sering terjadi pada populasi dengan tingkat disfungsi yang tinggi seperti fibromyalgia, sindrom iritasi usus, dan sindrom iritasi kronis. Remaja mengalami gangguan makan dan memiliki riwayat depresi, gangguan makan, serta fobia sosial. Pasien-pasien ini sangat yakin bahwa mereka sakit secara fisik dan takut akan gejala-gejala ini. Mereka tidak menerima gangguan mental sebagai penyebab gejala mereka. Oleh karena itu, terdapat interaksi yang kompleks antara pasien dan dokter. pada lebih banyak pemeriksaan klinis dan lebih banyak perawatan fisik. Dokter takut tidak bisa melihat penyebab fisik dari gejalanya. Jika itu terjadi, dokter mungkin ragu untuk menindaklanjuti. Pasien frustrasi karena dokter tidak dapat menemukan penyebab fisik dari gejalanya. Oleh karena itu, karena merasa dokter tersebut tidak menganggapnya serius, ia beralih ke dokter lain. (Jo, Suawa, Matahari, Sanjaya, & Pinontoan, 2022).
Folkman dan Lazarus mendefinisikan stres sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan yang dianggap membahayakan dirinya. Selye (dalam Santrock, 2006) stres adalah kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang dibebankan padanya. Sarafino menyatakan bahwa stres adalah situasi yang timbul dari interaksi individu dengan lingkungan, menciptakan konflik antara kebutuhan sistem biologis, psikologis dan sosial individu. Sedangkan Taylor mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi, fungsi kognitif, dan perilaku, dapat diorientasikan untuk mengurangi atau menyesuaikan diri dengan kejadian yang menimbulkan stres melalui akomodasi efek dari stres tersebut (Gamayanti, 2018).
Stres adalah respon individu terhadap kesulitan dan masalah yang disebabkan oleh perubahan fisik, mental, dan emosional yang dapat menyebabkan stres emosional atau fisik. Stres pada individu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan berbagai penyakit pada manusia. Stres juga merupakan keadaan tertekan, baik fisik maupun fisiologis. Tanda dan gejala stres yang umum adalah lekas marah, ingatan buruk, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas, perilaku impulsif, bereaksi berlebihan terhadap hal-hal kecil, energi berkurang, tidak dapat bersantai pada waktu yang tepat, tidak tahan dengan kebisingan. atau gangguan lain dan emosi yang tidak terkendali (Sisthana et al., 2022).
Penyebab stres akademik sebenarnya umum terjadi karena stres akademik merupakan bagian dari proses pertumbuhan pribadi seperti beradaptasi dengan tatanan sosial yang baru, memikul peran dan tanggung jawab baru sebagai mahasiswa. Sebagai mahasiswa beban kerja dan konsep pendidikan berbeda dengan sebelumnya. Jam sekolah, aktivitas/beban kerja akademik yang tinggi, belajar mengelola urusan keuangan, ketidakmampuan mengatur waktu, harapan dan tantangan terkait kinerja akademik, perubahan gaya hidup dibandingkan dengan waktu sebelumnya dan mengembangkan konsep diri (Agustiningsih, 2019).
Menurut Yıldız stres perlu koping untuk mengatasinya. Koping aktif (problem-focused coping) digunakan untuk mengubah atau mengelola situasi stres, sedangkan passive coping (emotion-focused coping) adalah respons emosional untuk menghadapi stresor. Mahaiswa membutuhkan kepercayaan diri dalam menghadapi stresor. Mahasiswa yang positif akan memiliki harga diri yang tinggi dan akan menggunakan pemecahan masalah sebagai mekanisme koping untuk stressor. Mahasiswa menderita tingkat stres yang rendah cenderung menggunakan koping positif (Pendekatan berorientasi masalah). Selain tingkat stres, pilihan koping positif (problem-focused coping) juga dipengaruhi oleh dukungan teman sebaya, dukungan keluarga, perasaan optimis, dan harga diri yang tinggi (Agustiningsih, 2019).
Berdasarkan pembahasan diatas tidak ada hubungan gangguan somatoform terhadap mahasiswa yang stress akibat tugas karena mengungkapkan bahwa sumber stres mahasiswa seringkali karena tuntutan akademik yang tinggi, mahasiswa dianggap dewasa dan perlu belajar mandiri. Dalam menghadapi stressor mahasiswa banyak menggunakan koping yang berorientasi pada emosi. Koping yang berorientasi terhadap emosi meliputi distancing, self control, escape avoidance dan reappraisal positive. Orang dengan keterampilan manajemen emosi yang baik memiliki pengendalian diri saat menghadapi stresor.
Referensi:
Agustiningsih, N. (2019). Gambaran Stres Akademik dan Strategi Koping pada Mahasiswa Keperawatan. JURNAL NERS DAN KEBIDANAN, 6(2), 241-250. Retrieved from http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk
Ambarwati, P. D., Pinilih, S. S., & Astuti, R. T. (2019). Gambaran tingkat stres mahasiswa. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 5(1),40-47.https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/download/4466/4081
Afnan, A., Fauzia, R., & Tanau, M. U. (2020). Hubungan Efikasi Diri Dengan Stress Pada Mahasiswa Yang Berada Dalam Fase Quarter Life Crisis. Jurnal Kognisia, 3(1), 23-29. https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/kog/article/download/1569/1252
Azhari, N. K., Anggarawati, T., & Wahyu, E. (2022). Penerapan Terapi Expressive Writing Untuk Menurunkan Stress Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah. Jurnal Keperawatan Sisthana, 7(1), 25-28. https://doi.org/10.55606/sisthana.v7i1.15
Charis, C., & Panayiotou, G. (2018). Somatoform and Other Psychosomatic Disorders: A Dialogue Between Contemporary Psychodynamic Psychotherapy and Cognitive Behavioral Therapy Perspectives. Cham: Springer International Publishing.
Jo, J., Suawa, N. A., Matahari, D., Sanjaya, A., & Pinontoan, R. (2022). COVID-19 And Beyond. Tangerang, Banten: Penerbit Andi.
Gamayanti, W. M. I. (2018). Self Disclosure dan Tingkat Stres pada Mahasiswa yang sedang Mengerjakan Skripsi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(1), 115-130. doi:10.15575/psy.v5i1.2282