ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 04 Februari 2023

 

Kata dan Bahasa

 

Oleh:

 Ahmad Sabir

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Kata-kata tidak sama dengan bahasa

Bahasa jauh lebih dalam dari kata-kata. Martin Heidegger seorang eksistensialist besar menyatakan bahwa bahasa adalah rumah eksistensi manusia (Heidegger, 1962). Sebagai ‘rumah’, manusia bermukim di dalam bahasa. Ia menyampaikan diri dan terbuka di dalam dan lewat bahasa. Bahasa merupakan ungkapan keseluruhan dari totalitas eksistensi yang membuka diri terhadap dunia. Bahasa, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa. Bahasa dengan demikian bisa dipahami sebagai interpretasi diri dari manusia di dunia dan membentuk dunianya. Sebagai contoh, setiap orang memiliki kemampuan menginterpretasikan dirinya dalam lingkup eksistensi yang dimilikinya. Ia menafsirkan dirinya dan sekeliling.

 

Penafsiran atas diri dan sekeliling ini adalah juga bahasa, yang dimiliki oleh penafsir sendiri. Sebagai contoh misalkan ketika seorang ‘Pelakor’ memikirkan nasibnya yang sudah terperosok dalam dunianya, ia kemudian menafsirkan situasi. Ia mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkan peristiwa yang ia alami. Ia mungkin melihat keterperosokannya ‘sebagai’ peluang untuk berkembang. Rumusan penafsiran ini berakar pada suatu sikap pra-verbal, yaitu komunikasinya dengan dirinya sendiri (bereksistensi) dimana kata ‘sebagai’ itu merupakan penafsirannya yang tak lain berarti mengorientasikan dirinya kepada segala kemungkinannya ke depan. Ada orang-orang yang berbicara sendiri dalam dirinya sebagaimana soliloquy atau senandika kalau kita terjemahkan secara bebas kedalam bahasa Indonesia. Ada orang-orang yang berkontemplasi, bermuhasabah diri, merefleksikan dirinya, berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri, dalam keadaan otentik demikian manusia menafsirkan dan merencanakan dirinya.

 

Menurut Heidegger ini semua adalah bahasa sebagai eksistensi manusia, yang membedakan diri manusia dengan lainnya, khas dimiliki oleh setiap individu, dan tidak dimiliki oleh selain manusia. Hanya manusia yang berbahasa dan diantara sesama manusia isinya berbeda-beda. Dalam pemahaman ini, secara sederhana bisa disebutkan bahwa bahasa adalah pra-kata-kata.

 

Kata-kata lepas dari bahasa?

Sejatinya kata-kata adalah unsur terpenting dari bahasa. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berdiri sendiri. Manusia sudah menemukan dirinya ada bersama dengan yang lainnya di dunia sejak ia terlempar kedunia. Ia dibentuk sekaligus membentuk dunia tempat dimana ia kerasan dalam sosialitas yang dimilikinya. Dalam sosialitas sebagai kodrat yang dimiliki ini, manusia membutuhkan kata-kata. Interpretasi dan penafsiran pada sesama manusia membutuhkan kata-kata. Kata-kata adalah tanda paling ultim dari bahasa. Di dalam bahasa tidak ada yang memadai untuk dimengerti selain kata-kata. Orang hanya akan mengerti dan dimengerti lewat kata-kata. Pemahaman dibentuk melalui kata-kata, dan kata-kata tidak akan bermakna jika berdiri sendiri lepas dari bahasa, rumah eksistensi manusia.

 

 

Ahli komunikasi dan pedagogy terkemuka, Louis Forsdale mengatakan “communication is the process by which a system is established, maintained, and altered by means of shred signals that operateaccording to rules” (Muhtadi, 2018). Komunikasi adalah suatu proses memberikan tanda tertentu, sehingga dengan cara ini suatu system dapat didirikan, dipelihara, dan diubah. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa tanda yang dimaksud dalam komunikasi sebagai proses diatas adalah tanda yang berupa verbal dan nonverbal yang memiliki aturan tertentu. Cherry (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai usaha untuk membuat suatu satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Memiliki bersama serangkaian peraturan untuk berbagai kegiatan mencapai tujuan (Muhtadi, 2018). Dari pengertian mengenai komunikasi ini, setidaknya kita paham bahwa signal/tanda yang disebutkan dalam pengertian itu dalam aturan-aturannya yang tertentu tak lain adalah kata-kata.

 

Berkata-kata adalah fenomena yang paling terang dari bahasa. Nampaknya, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan kata-kata. Para sastrawan menemukan jati dirinya lewat kata-kata. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio-televisi, perancang iklan, dsb, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa dalam berkata-kata. Kata-kata meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mal-mal. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu-tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan kata-kata. Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan. Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Efek wilayah tak-sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah kata (misal, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara inilah, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan, menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa.

 

Dalam perspektif semiotika, kata-kata adalah rantai penanda. Apabila di dalam praktik bahasa, rantai penandaan terputus, maka terjadi gangguan dalam proses reproduksi bahasa, sehingga menghasilkan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai ”bahasa skizofrenia” (Lacan, 2002). Artinya apabila seseorang terputus dari ujaran kata-katanya dengan dunia realitas yang direpresentasikannya lewat kata-kata sehingga menciptakan tumpang tindih dan inkonsistensi makna, maka disanalah letaknya skizofrenia.

Akan tetapi, sebagai sebuah tanda, kata-kata tidak hanya sekedar teks melainkan juga konteks. Konteks yang menunjuk pada sebuah keteraturan tertentu pada system komunikasi. Kata-kata dalam komunikasi manusia menjadi menarik karena justeru dinamikanya dapat membuka selubung eksistensi yang dimiliki manusia. sebagai tanda dari tindakan bahasa, kata-kata tidak bisa dianggap sebelah mata dalam kajian psikologis. Kata-kata mewakili gagasan si penutur, juga dapat menghantarkan seseorang pada konsep masa depan maupun masa lalu. Kata-kata tidak bisa dipahami sebagai nilai itu sendiri, namun kata-kata sangat dibutuhkan untuk memahami penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Kata-kata, apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya.

 

Poin penting dari kata-kata sebagai tindakan bahasa adalah bahwa dengan Kata-kata setiap individu terkoneksi dengan yang lainnya dalam keterlemparannya di dunia. Kata-kata menghubungkan individu satu dengan individu lainnya di dunia, baik antar individu, individu dengan kelompok atau sebaliknya, maupun antar kelompok. Tanpa adanya hubungan sedemikian, kata-kata menjadi tidak bermakna. Sebagai tindakan bahasa, kata-kata adalah kunci dari komunikasi manusia. Dengan demikian, kata-kata bisa dipahami sebagai tindakan bahasa. Maka berkata-katalah, karena dengan berkata-kata eksistensimu terpenuhi, dianggap, dibentuk dan membentuk diri sendiri.

 

 

Referensi:

 

Heidegger, M. (1962). Being and Time (terjemahan. John Macquarrie & Edward Robinson). New York: Harper & Row Publishers.

Lacan, J. (2002). Critical Evaluations in Cultural Theory. Britania Raya US Kingdom: Routledge.

Muhtadi, A. S. (2018). Etika Komunikasi Organisasi; Filosofi, Konsep dan Aplikasi. Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM UIN Sunan Gunung Djati.