ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 04 Februari 2023

 

“Saya Paling Penting”

Hal Pahit Di Balik Hak Manis

 

Oleh:

Trevor David Daniel & Dicky Sugianto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Ada hal menarik yang penulis amati dari orang-orang di sekitar. Penulis mengamati bahwa orang-orang di sekitarnya menunjukkan sikap dan perilaku yang bagi penulis unik. Sebut saja Mr. A, yang ketika membutuhkan bantuan dari orang lain, enggan untuk mengucapkan “tolong” dan “terima kasih.” Ia merasa bahwa bantuan yang ia butuhkan dari orang lain merupakan kewajiban bagi mereka untuk melakukannya baginya. Perilaku unik lain muncul dari Ms. B, yang selalu berushaa untuk mementingkan keuntungan pribadinya tanpa memedulikan kondisi orang lain. Ketika ia membeli makanan, ia selalu meminta tambahan bumbu atau kudapan pendamping secara berlebihan meskipun tidak menghabiskannya. Ia tidak melihat dari sudut pandang penjual yang mungkin perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyediakannya. Lain lagi dengan Mr. C, yang memanfaatkan kekuasaan keluarganya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, meskipun keinginannya tidak mendesak.

 

Berdasarkan kasus-kasus yang ditemui tersebut, penulis menemukan benang merah yang sama di balik tiap perilaku orang-orang ini. Mereka berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi atas. Mereka dapat mengakses berbagai hal yang dapat membuat hidup mereka lebih mudah. Privilese berupa kekayaan dan kuasa yang mereka miliki di satu sisi memang membuat hidup rasanya enak, tetapi di sisi lain cenderung kurang memperhatikan kondisi orang lain.

 

Sejalan dengan pengamatan penulis, Piff (2013) menemukan bahwa semakin tinggi status ekonomi seseorang, ia akan semakin merasa berhak atas suatu hal dan cenderung tidak bersikap prososial. Eksperimen yang dilakukan oleh Piff (dalam Miller, 2012) menemukan bahwa ketika seseorang diberikan privilese pada permainan monopoli, sikap yang ia tunjukkan cenderung dominan serta mengatribusikan kemenangan pada permainan monopoli tersebut berdasarkan kemampuan diri dan bukannya keuntungan dari privilese yang ia miliki. Dengan kata lain, orang dengan privilese cenderung untuk menunjukkan sikap yang lebih egois dan narsistik. Ia merasa bahwa ia berhak untuk mendapatkan ini dan itu dari orang lain.

 

Lantas, apakah privilese ini akan selalu berkaitan dengan hal yang buruk? Piff dan rekan-rekannya (2010) juga menemukan bahwa ketika partisipan dibuat berpikir bahwa dirinya berada di status sosial lebih rendah, atau dengan kata lain membuat mereka berpikir “di atas langit, masih ada langit,” mereka cenderung bersikap lebih prososial. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa orang-orang dari kelas sosial yang rendah lebih fokus pada interdependensi dan peduli pada sesama, sehingga mereka lebih prososial. Glazier (2005) juga menemukan bahwa ketika seseorang menyadari privilese yang dimiliki, ia dapat memikirkan kembali posisi dirinya di masyarakat dan mengambil langkah yang lebih bijak dalam berelasi dengan orang lain, dalam hal ini lebih prososial.

 

Penelitian-penelitian tersebut memang dilakukan di Amerika Serikat yang memiliki perbedaan budaya dengan Indonesia yang lebih kolektivis. Namun, penelitian-penelitian tersebut yang tampak beresonansi dengan pengalaman penulis membuat kita dapat merenung sejenak mengenai privilese yang kita miliki dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Apakah privilese yang kita miliki justru membuat kita lebih cenderung untuk mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain? Apakah privilese kita cenderung membuat kita lebih egosentris dan melihat dunia dalam kacamata kita saja, yang akhirnya membuat kita lebih berprasangka pada mereka yang kurang memiliki privilese? Bagaimana kita memanfaatkan privilese yang kita miliki untuk memperjuangkan kebaikan bersama, terutama mereka yang kurang memilikinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi langkah awal kita untuk dengan bijak bersikap dalam relasi sosial kita, terutama dengan mereka yang privilesenya berbeda dengan kita.

 

Privilege confers responsibility, because it provides opportunities.”

-         Noam Chomsky

 

Referensi:

 

Glazier, J. A. (2005). Talking and teaching through a positional lens: Recognizing what and who we privilege in our practice. Teaching Education16(3), 231-243. https://doi.org/10.1080/10476210500204929

Miller, L. (2012, June 29). The money-empathy gap. New York Magazine. https://nymag.com/news/features/money-brain-2012-7/

Piff, P. K. (2013). Wealth and the inflated self: Class, entitlement, and narcissism. Personality and Social Psychology Bulletin, 40(1), 34–43. https://doi.org/10.1177/0146167213501699 

 

Piff, P. K., Kraus, M. W., Côté, S., Cheng, B. H., & Keltner, D. (2010). Having less, giving more: The influence of social class on prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology99(5), 771-784. https://doi.org/10.1037/a0020092