ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 04 Februari 2023

 

Sehat Mental di Masa Kehamilan

 

Oleh:

Jessica Ariela

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Berita kehamilan pada umumnya merupakan kabar gembira yang membawa sukacita bagi sang ibu hamil, suami dan keluarganya, serta orang lain yang mendengarnya. Namun, seiring dengan sukacita tersebut, sangat mungkin terdapat pergumulan maupun stres yang mengiringi proses kehamilan. Beberapa di antaranya adalah gejala kehamilan seperti mual dan morning sickness, kesulitan makan dan tidur, perubahan fisik dan mood, adaptasi dalam pekerjaan dan peran sehari-hari, sampai persiapan menyambut kelahiran buah hati. Sebuah studi menemukan sebanyak 57.8% wanita hamil mengalami stres pada tingkat rendah sampai menengah selama kehamilan (Yazia & Suryani, 2022). Seringkali hal-hal ini tertutup dari mata publik, tetapi dapat memengaruhi kesehatan mental ibu hamil, yang tentunya akan turut memengaruhi perkembangan sang janin. Ibu hamil yang stres dapat berpotensi 25%-60% melahirkan prematur serta melahirkan bayi dengan berat badan rendah (Puspita, 2022). Karena itu, diperlukan strategi untuk mengelola stres bagi ibu hamil agar dapat menikmati proses kehamilan sepenuhnya dengan sejahtera.

 

Mengenali Gejala Stres

Stres dapat muncul karena dipicu faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal, atau situasional, misalnya adalah tuntutan dari orang sekitar, tuntutan pekerjaan yang tidak bisa dinegosiasi, hasil pemeriksaan yang kurang baik, dan sebagainya. Faktor internal misalnya adalah manajemen waktu yang kurang baik, sulit mengelola emosi negatif, kebiasaan yang tidak sehat, dan lainnya. Namun, jika hal-hal ini sudah menyebabkan stres, gejala yang muncul bisa beragam. Mayo Clinic (2021) mencata gejala stres dapat meliputi gejala fisiologis (misalnya sakit kepala, gangguan pencernaan, kelelahan, otot tegang), gejala mood (kecemasan, depresi dan rasa sedih, mudah marah), dan gejala perilaku (perubahan pola makan, menggunakan obat terlarang atau alkohol, menarik diri secara sosial). Identifikasi gejala-gejala stres ini merupakan langkah pertama untuk menolong ibu hamil menyadari kondisi psikologisnya.

 

Membedakan Mana yang Dapat Diubah dan Tidak Dapat Diubah

Salah satu hal yang dapat membantu ibu hamil dalam mengelola emosinya adalah membedakan mana hal-hal yang dapat diubah dan ada dalam kendalinya, dan mana hal-hal yang tidak dapat diubah (yang ada di luar kendalinya). Dengan berhasil membedakan kedua hal ini, ibu hamil dapat berfokus pada hal-hal yang dapat ia ubah. Dengan kata lain, pick your battles. Tidak semua hal harus kita ubah. Terkadang ada hal-hal yang memang tidak ada dalam kendali kita dan hanya dapat kita terima. Ambillah contoh, stres saat memikirkan sakitnya proses kelahiran. Mau tidak mau, hal ini perlu dilewati dan tidak dapat diubah. Namun, ibu hamil dapat mengidentifikasi bahwa dalam situasi ini, faktor yang berada dalam kendalinya adalah faktor kecemasan pribadinya. Jika memang ibu hamil memiliki kecemasan yang tinggi, maka ibu hamil dapat mengubahnya dengan menerapkan pola-pola relaksasi yang membantu dalam mengatasi kecemasan, mengikuti kelas senam ibu hamil, berkonsultasi dengan ahli, dan lain sebagainya.

 

Meminta Bantuan

Kini saatnya ibu hamil untuk mengidentifikasi siapa saja orang di sekitarnya yang dapat ia mintai bantuan. Bantuan di sini bisa beragam, mulai dari bantuan praktikal, bantuan finansial, dukungan emosional, dan lain-lain. Ibu hamil perlu mengadvokasi untuk dirinya dan janinnya dengan belajar berani meminta bantuan. Misalnya, ada aspek tertentu dalam pekerjaan yang memberatkan, maka akan sangat baik jika ibu hamil dapat mendiskusikannya dengan atasan. Jika ada kekhawatiran tertentu, ibu hamil dapat bercerita pada suami, keluarga, komunitas ibu hamil, atau teman yang pernah melahirkan sebelumnya. Jika ada kesulitan dalam mengurus kebutuhan rumah tangga, mungkin ada baiknya ibu hamil dapat meminta pertolongan. Ingatlah bahwa Anda tidak egois dengan meminta pertolongan. Dengan melakukan advokasi untuk diri Anda, Anda pun sedang melakukan advokasi untuk buah hati Anda.

 

Mempererat Keharmonisan Pernikahan

Bagi ibu hamil pada umumnya, suami merupakan pendukung terpenting baginya dan bagi janin. Karena itu, ada baiknya bila selama kehamilan, ambil waktu juga untuk berfokus pada keharmonisan pernikahan, misalnya seperti date nights, atau melakukan hobi bersama. Sebuah studi meta-analisis menemukan, kepuasan pernikahan menurun drastis pada satu tahun pertama setelah melahirkan (Bogdan, Turliuc, & Candel, 2022). Hal ini lumrah mengingat banyaknya perubahan yang terjadi dalam sistem keluarga. Perubahan peran tersebut niscaya akan terjadi dengan datangnya sang buah hati, tetapi sikap dalam menghadapi perubahan dan kerja sama yang suportif dan keintiman merupakan hal yang dapat dipupuk bersama. Karena itulah, selama kehamilan, sangat penting untuk melakukan evaluasi dan perencanaan bersama, tidak hanya mengenai finansial ataupun pembagian peran dalam pengasuhan anak, tetapi juga merencanakan strategi untuk menjaga keintiman dalam pernikahan.

 

Melalui meningkatnya kesadaran dan usaha untuk memelihara kesejahteraan mental ibu hamil, diharapkan agar orang tua dapat menyambut kehadiran buah hati dengan kondisi mental yang siap dan menghadirkan keluarga yang hangat dan sehat secara psikologis bagi buah hati.

 

Referensi:

 

Bogdan, I., Turliuc, M. N., Candel, O. S. (2022). Transition to parenthood and marital satisfaction: A meta-analysis. Front. Psychol., 13, 901362. doi: 10.3389/fpsyg.2022.901362

Mayo Clinic. (2021, Maret 21). Stress symptoms: Effects on your body and behavior. Mayo Clinic. Diunduh dari https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/stress-management/in-depth/stress-symptoms/art-20050987

Puspita, I. N. I. (2022, Desember 26). Mengetahui dampak stres bagi ibu hamil dan janin. Unair News. Diunduh dari https://unair.ac.id/mengetahui-dampak-stres-bagi-ibu-hamil-dan-janin/

 

Yazia, V. & Suryani, U. (2022). Faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada ibu hamil dalam menghadapi persalinan. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 10(4), 837-855.