ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 03 Februari 2023

 

Keadaan Psikologis Saksi/Korban dan Pelaku Tindak Kekerasan 

 

Oleh:

Dyah Fitria Kartikaningtyas & Putri Pusvitasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai jiwa dan psikis manusia. Peran psikologi dalam kehidupan yaitu untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapi (Probowati, 2008). Ilmu forensik atau sering disebut forensik ini memiliki arti yakni penerapan pada bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakkan hukum dan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains ( Susanto, 2019) dan bertujuan untuk penetapan hukum dan pelaksaan hukum dalam sistem peradilan hukum pidana maupun hukum perdata (Maramis & Kalangit, 2015)

 

The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mengartikan bahwa psikologi forensik merupakan salah satu bentuk pelayanan dari kajian psikologi yang dilakukan dalam dunia hukum (Susanto, 2019).

 

Adanya psikologi forensik memiliki peranan yang penting dalam dunia hukum. Keikutsertaan psikologi forensik ini dapat memberikan pengaruh terhadap hukuman yang akan diberikan kepada pelaku kekerasan. Tugas pokok psikologi forensik adalah membantu pihak yang berwenang untuk melacak pelaku, mengintrogasi pelaku kekerasan, dan melakukan tindakan asesmen untuk mengetahui kondisi mental dan psikis dari pelaku kekerasan tersebut. Selain itu, juga dapat memahami kondisi mental baik pelaku maupun korban atau saksi untuk menegakkan hukum yang adil. Pelaku akan diberikan hukuman sesuai dengan tindakan yang dilakukan, tetapi juga menyesuaikan kondisi mental dan psikis dari pelaku.

 

Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa seseorang dinyatakan tidak dapat dipidana atas tindakan yang dilakukan dan tidak dapat mempertanggungjawabkannya kepada korban atau saksi apabila pelaku memiliki gangguan kejiwaan (Darma & Nikijuluw, 2019). Tugas-tugas Pokok Psikologi Forensik bagi saksi, korban dan pelaku, antara lain:

 

1.    Pada Pelaku Kekerasan

a.    Introgasi, bertujuan agar pelaku mau mengakui tindakannya. Hal ini dapat dilakukan oleh psikolog forensik atau psikolog yang direkrut oleh kepolisian atau dari anggota polisi yang sudah memperoleh pelatihan.

b.    Criminal Profilling, yaitu psikolog forensik menyusun profil criminal dari pelaku agar dapat membantu polisi melacak keberadaan pelaku.

c.     Psikolog forensik juga dapat memberikan gambaran mengenai kondisi mental dan psikis pelaku dengan melakukan asesmen.

d.    Melakukan asesmen gambaran kondisi mental pelaku

 

2.    Pada Korban Kekerasan

Penggalian informasi, namun harus disesuaikan bagi korban usia anak-anak, remaja maupun dewasa. Biasanya, untuk kasus dengan trauma yang berat korban akan sulit atau bahkan menolak ketika diminta untuk memberi penjelasan atas  peristiwa yang dialaminya. Maka dari itu, tugas psikolog forensik disini adalah untuk membantu polisi dalam menggali informasi lebih dalam.

 

3.    Pada Saksi Kekerasan

Saksi yang kompeten dan kredibel sangat diperlukan. Hal ini akan membantu polisi dalam menangkap pelaku karena saksi mampu untuk mengingat kejadian tersebut dan melapork annya dengan baik serta mengungkapkan hal yang sebenarnya (Margaretha, 2013).

 

Karena dari pihak polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian tindak kekerasan tersebut, maka proses peradilan pidana ini bergantung pada hasil investigasi dan pernyataan yang diberikan oleh saksi. Maka diperlukan untuk melakukan wawancara kognitif. Wawancara kognitif adalah Teknik asesmen untuk meningkatkan proses retrieval dengan cara membuat saksi merasa relaks sehingga dalam memberi penjelasan akan lebih kooperatif.

 

Banyak penelitian yang memberikan penjelasan bahwa terkadang kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias, padahal hakim dan juri di negara Amerika memberikan kepercayaan sebanyak 90% terhadap penyataan yang diberikan oleh saksi (Susanto, 2019).  

 

Pada pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada pengecualian”. Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa adanya penghargaan dan komitmen untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum merupakan salah satu hal terpenting dalam negara hukum. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil baik bagi korban atau saksi maupun pelaku (Yustiningsih, 2020).

 

Referensi :

 

Darma, I. M. W., & Nikijuluw, B. (2019). Psikolog Forensik Sebagai Salah Satu Proses Pemidanaan. Binamulia Hukum, 8(2), 185–190. https://doi.org/10.37893/jbh.v8i2.74

Susanto, E. M. (2019). Bahan ajar psikologi forensik.

Maramis, M. R., & Kalangit, A. (2015). Peran Ilmu Forensik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan Seksual dalam Dunia Maya (Internet). Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 42–53.

Margaretha. (2013). Dinamika Psikologi Korban dan Saksi Dalam Memberikan Kesaksian di Peradilan. https://psikologiforensik.com/2013/01/03/dinamika-psikologi-korban-dan-saksi-dalam-memberikan-kesaksian-di-peradilan/

Probowati, D. Y. (2008). Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1), 26–31.

Yustiningsih, I. (2020). Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual dari Reviktimisasi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Lex Renaissance, 5(2), 287–306. https://doi.org/10.20885/jlr.vol5.iss2.art3