ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 03 Februari 2023
Mantra Kata-Kata
Oleh:
Ahmad Sabir
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Jakarta
Berkata-kata belum tentu membicarakan suatu hal pun,
akan tetapi tanpa berkata-kata bisa jadi sudah membicarakan banyak hal.
Adagium ini searah dengan petuah bijak yang berbunyi, berkatalah yang bermanfaat atau jika tidak bisa maka lebih baik diam. Karena ternyata dalam diam, manfaat bisa saja jauh lebih besar dan aktif dirasakan dalam sosialitas manusia. Ada banyak hal yang muncul dimasyarakat yang didasari lewat kata-kata, bisa jadi negatif dan bisa positif. Hal negatif dari kata-kata dapat memberikan masalah dalam sosialitas manusia terutama dalam interaksi antara individu maupun kelompok dalam masyarakat. Sementara hal positifnya, kata-kata dapat memberikan pengaruh yang baik dalam pembangunan social dimasyarakat.
Tak sedikit kasus yang bisa dilihat dalam masyarakat yang muncul disebabkan oleh kata-kata. Antara individu satu dengan yang lainnya didalam masyarakat bisa saja bertengkar hanya karena kata-kata. Kata-kata fitnah, hinaan, makian, hasutan, melecehkan dan ujaran kebencian serta kata-kata tendensius lainnya sering menjadi pemicu pertengkaran yang muncul antar individu di dalam masyarakat. Namun, kata-kata bisa juga memberikan ekses positif seperti, nasihat, petuah-petuah bijak, permohonan maaf, pujian dan kata-kata yang menghargai sesama serta banyak kata-kata lainnya bisa berbuah pada akomodasi dalam konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Terkadang, kata-kata bijak juga dapat memicu individu untuk membangun jiwanya, mendorongnya untuk menggapai cita-cita serta memunculkan banyak hal positif lain dalam kehidupannya. Kata-kata pujian dan rayuan bahkan bisa menyatukan dua insan yang berbeda dalam hubungan percintaan. Kata-kata menjadi sedemikian pentingnya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mendiang Rendra seorang pujangga ternama menuliskannya dalam mahakarya sastranya bahwa semua yang diusahakannya adalah perjuangan lewat kata-kata.
Ada apa dengan kata-kata? Mengapa kata-kata bisa begitu merusak atau malah membangun? Apakah dengan tanpa berkata-kata sebagaimana idiom dalam masyarakat yang mengatakan ‘diam itu emas’, maka persoalan bisa selesai? Ataukah dengan hanya diam maka masalah dan problem ikut redup seiring aktifitas tanpa kata sedemikian? Faktanya, tidak ada persoalan yang bisa dipecahkan dengan hanya ‘diam’. Kenapa diberi tanda kutip, karena ‘diam’ disitu sama artinya dengan lari dari permasalahan yang dihadapi. Serikali di masyarakat, ‘diam’ sedemikian mengandung pemicu laten semacam ‘api dalam sekam’ terhadap persoalan yang mungkin menjadi lebih besar dari yang disangkakan.
Diam atau tanpa kata-kata sering diasumsikan sebagai bahasa hati. Bahasa hati sebagai penanda suasana hati yang dituturkan oleh nurani. Hati tidak berkata-kata tapi hati mengatakan banyak hal. Kecenderungan untuk diam atau tanpa kata-kata memang sudah dimiliki oleh manusia dalam hal ia bereksistensi-menyadari keberadaannya di dunia. Manusia sejatinya memiliki suasana hati dasar yang didalamnya terdapat kecemasan tak berdasar (Heidegger, 1962), terutama saat memikirkan kematiannya yang pasti dimasa depan. Tidak mengerti apa yang dicemaskan karena tidak ada objeknya, sementara kematian pasti datang menghampiri. Keterlemparan di dunia lalu dihadapkan pada ketiadaannya lewat kematian sebagai masa depannya yang pasti dan begitu saja meninggalkan dunia. Hal absurd pada manusia sedemikian ini adalah suasana hati paling dasar dari eksistensi manusia yang memunculkan kecemasan akan kehidupan yang dijalaninya. Kecemasan yang tak berdasar sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, atau bahkan tiada kata-kata sebagai simbol yang mampu membahasakannya. Hanya manusia secara individual yang mampu membahasakannya didalam dirinya sendiri lewat pengalamannya sejauh penghayatan yang dimilikinya atas kehidupan, itupun tidak sepenuhnya dipahami.
Jadi ketika manusia hanya bisa diam tanpa kata-kata dalam eksistensinya, apakah diamnya adalah bentuk absurd?
Tentu saja tidak, karena absurd dalam suasana hati dasar tersebut bukanlah menunjuk pada batas pemahaman bahasa yang dapat diartikulasikan lewat kata-kata melainkan menunjuk pada gerak eksistensi. Komunikasi tanpa kata-kata yang dibangun melalui gerak eksistensi. Diam atau tanpa kata-kata adalah juga percakapan eksistensial. Karena ‘percakapan’ bukanlah komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahuluinya dalam artikulasi bahasa. Karena itu dalam diam atau tanpa kata-kata manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradox, melainkan menunjukkan bahwa percakapan bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian makna tanpa artikulasi apapun. Seperti kira-kira pertemuan diantara dua orang kekasih yang telah lama berpisah. Sesaat setelah bertemu mereka hanya terpaku dan saling menatap, tanpa bicara sepatah katapun. Momen ini sarat dengan makna yang tidak dapat diartikulasikan, namun disampaikan lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing. Dalam diam mereka berkata-kata melalui gerak eksistensi.
Kesalahan kita dalam memahami kata-kata adalah karena seringnya kita menganggap bahwa kata-kata adalah isi subtansi itu sendiri. Sehingga kadang kita terjebak dalam pembenaran terhadap semua hal yang bersifat kasat mata dalam kata-kata sebagai kebenaran hakiki. Muaranya dalam eksistensi manusia bisa macam-macam, bisa jadi karena fanatisme, atau self-defend mechanism (mekanisme pertahanan diri) sebagaimana yang disampaikan Sigmund Freud (Marcus, 1999) mengenai snob dalam bahasa.
Perbedaan tanda kata-kata yang hanya terletak pada permukaan itu dijadikan alasan untuk saling membenci, dan memusuhi satu sama lain. Sementara dalam kasus mekanisme pertahanan diri sebagaimana yang disampaikan Freud, salah satu bentuknya adalah snob yakni merasa diri lebih dari yang lain, seperti lebih pintar, lebih cerdas, lebih kaya, lebih religius dll. Menurut Frued, snob adalah upaya mereduksi perasaan tertekan dan atau ketidakpuasan dengan cara pemutarbalikan kenyataan (Marcus, 1999). Snob atau merasa ”sok-paling” merupakan salah satu dari beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri disamping yang lainnya seperti repression, isolation, fixation, displacement, projection dll. Kata-kata dalam kasus snob sering kita jumpai dalam kehidupan kita bermasyarakat sehari-hari. Lebih-lebih lagi umumnya kita jumpai dalam sosial media, seperti debat kusir di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dsb yang ujungnya hanya menunjukkan ego masing-masing penutur tanpa adanya jalan tengah/solusi sebagai tujuan komunikasi. Tak jarang debat kusir berujung konflik. Padahal dalam kajian ilmu sosial rumusannya semakin besar dan intens komunikasi dijalankan, maka semakin stabil masyarakatnya dan menutup terjadinya perilaku menyimpang yang disebabkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna. Namun, kenyataannya ujaran-ujaran yang mengandung snob justru sebaliknya akan menjadi pemicu konflik.
Tema perihal kata-kata sudah menjadi perhatian para pemikir sejak jaman kontemporer. Bahkan, sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun ucapan kata-kata. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitarinya. Oleh itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri (kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah ”logos” itu (Van Peursen, 1990).
Kata-kata pada dasarnya adalah ungkapan verbal dari bahasa mengenai ekspresi diri yang dinyatakan. Louis Hjelmslev dalam Eugenio Coseriu (Willems, 2021) mengatakan bahwa kata-kata selalu mempunyai dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi. Melalui bentuk yang dipilih oleh pembicara, maka suatu kata memperoleh arti dan makna. Orang hanya akan mengerti dan dimengerti lewat kata-kata. Pemahaman dibentuk melalui kata-kata, dan kata-kata tidak akan bermakna jika berdiri sendiri lepas dari bahasa, rumah eksistensi manusia. Dengan demikian, kata-kata bisa dipahami sebagai tindakan bahasa. Maka berkata-katalah, karena dengan berkata-kata eksistensimu terpenuhi, dianggap, dibentuk dan membentuk diri sendiri. Poin penting dari kata-kata sebagai tindakan bahasa adalah bahwa dengan Kata-kata setiap individu terkoneksi dengan yang lainnya dalam keterlemparannya di dunia. Kata-kata menghubungkan individu satu dengan individu lainnya di dunia, baik antar individu, individu dengan kelompok atau sebaliknya, maupun antar kelompok. Tanpa adanya hubungan sedemikian, kata-kata menjadi tidak bermakna. Sebagai tindakan bahasa, kata-kata adalah kunci dari komunikasi manusia.
Ada kata-kata ‘baik’ yang dapat memotivasi seseorang berbuat kebaikan, namun ada juga kata-kata ‘buruk’ yang akan menimbulkan konflik dan permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Ada penutur yang baik, yang menyampaikan kata-kata dalam mengungkapkan gagasan pada bahasa yang sama. Ada penutur yang buruk, yang tidak mengakomodasi gagasan dalam bahasa yang berbeda. Namun, diantaranya hanya ada satu bahasa yang sama dengan penanda yang sama juga penutur yang sama yaitu diam atau tanpa kata-kata. Jika kata-kata adalah Bahasa, maka tanpa kata-kata adalah juga bahasa. Semua orang memilih kata-kata, dan yang tidak memilih tentu saja juga adalah sebuah pilihan.
Referensi:
Heidegger, M. (1962). Being and Time (terjemahan. John Macquarrie & Edward Robinson). New York: Harper & Row Publishers.
Muhtadi, A. S. (2018). Etika Komunikasi Organisasi; Filosofi, Konsep dan Aplikasi. Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM UIN Sunan Gunung Djati.
Marcus, L. (1999). Sigmund Freud's the Interpretation of Dreams: New Interdisciplinary Essays. Britania Raya: Manchester University Press.
Van Peursen, C. A. (1990). Fakta, nilai, peristiwa; tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan etika. Jakarta: Gramedia.
Willems, K. &. (2021). Eugenio Coseriu: Past, Present and Future. Berlin, Boston: De Gruyter. https://doi.org/10.1515/9783110712391.