ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 03 Februari 2023
Psikologi Sosial Dalam Terapan:
Turut Serta Merayakan Imlek
Oleh:
Eko A. Meinarno & Idhamsyah Eka Putra
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Pengantar
Tahun baru Cina atau Imlek jatuh pada tanggal 22 Januari 2023. Kami berdua (Eko A. Meinarno dan Idhamsyah Eka Putra) mengunjungi rekan kami yang beretnis Tionghoa. Kami datang dengan niat ikut suka cita pada perayaan Imlek ini. Duduk bersama, bercengkerama, tertawa, dan berbincang banyak hal. Tidak ketinggalan makan, ada nasi, bihun, sapo tahu, dan lain-lain. Kami juga sempat melihat tetangga teman kami yang melakukan doa sambil membakar batang hio. Ada juga tetangga lain yang membebaskan ratusan burung ke alam lepas dengan penuh suka cita. Kami pulang dengan bahagia dan perut kenyang, serta senang hati. Pertanyaannya, apakah kami berdua berlatar etnis Tionghoa? Jawabannya tidak. Satu diantara kami Jawa, dan lainnya adalah Minang. Apakah kejadian ini di Amerika Serikat yang liberal? Jawabannya tidak, itu terjadi di Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia. Indonesia!
Imlek Ceria, Prasangka Berkurang
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid (atau biasa disebut Gus Dur), tradisi Tionghoa, yang sebelumnya “dilarang”, diberikan ruang dan kebebasan untuk berekspresi. Diantaranya adalah perayaan Imlek, dan bahkan di Indonesia sekarang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Artinya, saat ini, etnis Tionghoa sudah mulai diterima sebagai bagian identitas “orang Indonesia”.
Apakah ini tanda bahwa prasangka terhadap Tionghoa sudah mulai berkurang. Jawabannya ya dan tidak. Dikatakan iya, berbeda dengan masa lalu, etnis Tionghoa sudah mulai memiliki ruang ekspresi, aktif berpolitik, dan tidak lagi dianggap sebagai warga negara kelas dua. Dikatakan tidak, karena praktek diskriminasi dan ekspresi kebencian terhadap etnis Tionghoa masih kerap ditemui. Sebagai contoh, sikap negatif terhadap etnis Tionghoa (Meinarno, 2009), penolakan dari kelompok mayoritas ketika etnis Tionghoa aktif dipolitik dan mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah (Putra, 2016; Putra et al., 2019; Putra et al., 2022). Banyak isu yang berkembang bahwa kelompok mayoritas tidak suka jika Indonesia pemimpinnya adalah Tionghoa.
Namun demikian, kami melihat perayaan kali ini berbeda dari sebelumnya. Imlek kali ini sepi dengan hujatan-hujatan mengenai orang yang ikut merayakan imlek. Entah ada atau tidak, tapi kami melihat kebahagiaan yang lebih ekspresif tanpa ketakutan. Dari kejadian ini, perayaan Imlek menjadi tanda adanya upaya kemajuan bahwa prasangka berkurang.
Berbhinneka Tunggal Ika Modal Sosial Kita
Soebadio (1985) pernah menuliskan bahwa tugas individu-individu (kita) sebagai bangsa dalam pengembangan kebudayaan nasional ada dua. Pertama adalah membina persatuan dan kesatuan. Kedua, tidak mengabaikan kebudayaan setempat. Kedua tugas itu sejalan beiringan. Tugas pertama bersatu dan tugas kedua paham perbedaan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah konsekuensi dari pernyataan kita yang menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda. Melalui Sumpah Pemuda dimulailah era identitas yang “satu”. Identitas-identitas serba “satu” adalah identitas tanah air, sebutan bangsa dan menerima bahasa persatuan yang satu yakni tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Walau demikian, kesatuan ini tetap mempunyai warna khas masing-masing etnis (Meinarno, 2018).
Lebih lanjut ide ini berkembang dalam ranah psikologi. Meinarno dalam tulisan bersamanya (Meinarno, Putri, & Fairuziana, 2019) menjabarkan bahwa bhinneka tunggal ika itu tidak semata sama dengan ide multikulturalisme dari Amerika Utara dan Eropa. Konsep ini mendukung memahami perbedaan termasuk mendukung hak-hak keberagaman dengan semangat nasional, toleransi serta kewajibannya sebagai kesatuan masyarakat.
Temuan Radista dan Meinarno (2022) dari 277 partisipan menemukan pola adanya hubungan yang signifikan antara seluruh dimensi nilai-nilai (nasional) dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa. Adapun nilai-nilai yang berhubungan negatif itu adalah nilai religio-toleransi, nilai kemanusiaan, nilai patriotisme-persatuan, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial.
Penutup yang Positif
Pengalaman yang dialami penulis bukan sebuah imajinasi, tapi kenyataan. Apa yang dibayangkan para pendiri bangsa perlahan, tapi pasti mulai terwujud. Peristiwa ini hanya bisa terjadi ketika lingkup hidup bersama kita siap melakukannya (kebijakan politik nasional/kemauan politik), timbal balik dengan individu yang menerima perbedaan di sekelilingnya nyata dan dengan aktif membangun ide psikologis sebagai individu yang bagian dari bangsa Indonesia.
Kedua penulis juga pengajar psikologi sosial dan psikologi budaya. Akhirnya kami bisa menceritakan pengalaman nyata di kelas atas ide dasar psikologi sosial, temuannya, dan terapannya. Dengan Imlek kami juga belajar psikologi sosial dan menerapkanya.
Referensi:
Meinarno, E. A. (2009). Sikap pribumi Indonesia terhadap etnis Cina. Dalam Setengah abad hubungan Malaysia-Indonesia. Kuala Lumpur: Arah Publication.
Meinarno, E. A. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Persada Indonesia YAI.
Meinarno, E. A. (2018). Buletin KPIN. 4. (17). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/309-amalkan-pancasila-kita-bhinneka-kita-indonesia.
Meinarno, E. A. (2023). Gejala Agnez Mo: Bhinneka Tunggal Ika yang Milenial. Buletin KPIN. 9 (02). https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1201-gejala-agnez-mo-bhinneka-tunggal-ika-yang-milenial
Meinarno, E. A., Putri, M. A., & Fairuziana. (2019). Isu-isu kebangsaan dalam ranah psikologi Indonesia. Dalam S. E. Hafiz & E. A. Meinarno (Eds), “Psikologi Indonesia”. Jakarta: Rajawali Pers.
Putra, I. E., Yustisia, W., Osteen, C., Hudiyana, J., & Meinarno, E. A. (2022). “We support unity in diversity, but politic is a privilege for my group”: The roles of national identity × religious identity in predicting unity in diversity and political orientations. International Journal of Intercultural Relations, 87, 108-118. https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2022.01.011
Putra, I. E., Wagner, W., Holtz, P., & Rufaedah, A. (2021). Accounting for a riot: Religious identity, denying one’s prejudice, and the tool of blasphemy. Journal of Social and Political Psychology, 9(1), 69–85. https://doi.org/10.5964/jspp.5565
Putra, I. E. (2016). Representations and discourse about religion and Chinese descendants in 2012 Jakarta’s election. The Qualitative Reports, 21, 1799-1816. https://doi.org/10.46743/2160-3715/2016.2518
Radista, F., & Meinarno, E. A. (2022). Hubungan Antara Nilai-nilai Nasional dan Prasangka Terhadap Etnis Minoritas Tionghoa. Jurnal Psikologi Perseptual, 7(2), 236-250.
Soebadio, H. (1985). Pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Dalam H. W. Bachtiar, Mattulada, & H. Soebadio (Eds.), “Kebudayaan dan manusia Indonesia”. Yogyakarta: YP2LPM-Hanindita.