ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 03 Februari 2023

 

Apakah Ketidakpastian Ilmu Psikologi Mempertanyakan Aspek Keilmuannya?

 

Oleh:

Natanael Salim

Program Studi Magister Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Psikologi merupakan salah satu ilmu yang cukup populer dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Indonesia. Topik-topik seperti kesehatan mental, stres dan depresi sudah ramai diperbincangkan baik saat bertemu secara langsung maupun melalui media sosial. Ditengah perbincangan mengenai psikologi, tidak jarang muncul pertanyaan tentang aspek keilmuan dari psikologi. Pertanyaan seperti “apakah hasil yang tidak pasti ini bisa dikatakan sebagai sebuah ilmu?” dapat ditanyakan oleh siapa saja. Oleh karena itu, artikel ini dibuat untuk membantu masyarakat dalam memahami psikologi sebagai ilmu.

 

Latar Belakang

Pada awal keberadaannya, pemikiran tentang kejiwaan tidak dapat berdiri sendiri. Pemikiran ini masih menjadi bagian dari filsafat, sehingga tidak jarang filsuf, seperti Plato, Aristoteles dan Rene Descartes memiliki konsep tentang jiwa dalam teorinya. Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya kompleksitas proses berpikir manusia, keilmuan tentang dinamika kejiwaan semakin berkembang. Hal ini menyebabkan terpisahnya filsafat dan ilmu tentang dinamika jiwa, sehingga psikologi berdiri sendiri menjadi ilmu (Saifuddin, 2022). Terpisahnya psikologi dari filsafat dilandasi dari penemuannya laboratorium psikologi pertama di dunia pada tahun 1879 yang berada di Leipzig, Jerman. Laboratorium ini ditemukan oleh Wilhelm Wundt yang disebut sebagai bapak psikologi oleh karena laboratorium tersebut. Ia menghabiskan rata-rata waktunya untuk meneliti mengenai sensasi dan perasaan menggunakan metode eksperimental. Hal inilah yang menjadi dasar psikologi sebagai ilmu (Wildenauer, 2001).

 

Ilmu pengetahuan sendiri merupakan seperangkat pengetahuan yang bertujuan untuk mendapatkan dan meningkatkan pemahaman atas suatu permasalahan dengan menggunakan teori dan metode yang objektif, sistematik, dan universal (Ridwan dkk., 2021). Ilmu pengetahuan memiliki beberapa ciri pokok (Surajiyo dalam Ridwan dkk., 2021), yaitu:

 

1. Empiris, ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari apa yang bisa diamati dan melalui percobaan.

2. Sistematis, kumpulan pengetahuan memiliki hubungan satu dengan yang lain.

3. Objektif, ilmu pengetahuan dalam meneliti objek terlepas dari prasangka.

4. Analitis, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan bertujuan untuk memahami apa yang menjadi kajiannya.

5. Verifikatif, ilmu pengetahuan dapat dibuktikan kebenarannya.

 

Selain itu, Ridwan dkk (2021) melanjutkan secara mendasar bahwa ilmu secara hakiki harus mampu memberikan pemahaman atas objek kajiannya (ontologis), bagaimana ilmu tersebut terbentuk (epistemologis), manfaatnya untuk manusia (aksiologis), dan bagaimana prosedur untuk mempelajari ilmu tersebut (metodologis). Dalam konteks ilmu pengetahuan, psikologi termasuk dalam ilmu manusia yang sering disebut sebagai ilmu sosial atau ilmu tingkah laku (behavioral science).

 

Perdebatan Psikologi Sebagai Ilmu

Walaupun psikologi sudah disebut sebagai suatu ilmu, terdapat beberapa pendapat atau pandangan ahli yang menentang hal tersebut. Wilson (2012) mengungkapkan bahwa psikologi tidak dapat disebut sebagai ilmu/sains. Hal ini dilihat dari konsep eksperimen sains dan eksperimen. Hasil dari eksperimen sains dapat menunjukkan prediksi yang presisi. Berbeda halnya dengan eksperimen sains, eksperimen sosial tidak dapat menunjukkan hasil yang presisi dan detail—dalam konteks ini yang dimaksud adalah psikologi.

 

Selain itu, Berezow (2012) menganggap psikologi juga tidak dapat disebut sebagai sains, karena dianggap tidak memenuhi lima syarat utama suatu ilmu disebut sebagai sains. Lima syarat utama yang tidak terpenuhi, yaitu:

 

1. Terminologi yang didefinisikan dengan jelas, hal yang diukur oleh psikologi seperti perasaan, kepribadian, sikap, minat, dan lain-lain adalah hal yang tidak konstan. Ditambah adanya pengaruh faktor budaya dan perbedaan pengertian menurut masing-masing individu.

2. Dapat dikuantifikasi, psikologi tidak memiliki alat ukur seperti mikroskop yang dapat mengukur secara pasti dari objek penelitian tersebut.

3. Kondisi eksperimental yang sangat terkontrol, manusia dapat berubah-ubah dan tidak konstan.

4. Reproduktifitas, manusia dapat berubah-ubah dan tidak konstan.

5. Prediktabilitas dan testabilitas, hasil dari penelitian yang dilakukan dianggap tidak dapat secara konstan muncul setiap kali dilakukan pengukuran.

 

Kesimpulan

Banyak ahli menolak psikologi sebagai ilmu/sains, karena seringkali membandingkannya dengan ilmu seperti fisika dan kimia, yaitu ilmu yang bersifat kaku dan pasti atau biasa disebut “hard science”. Psikologi memang tidak memiliki kekuatan prediksi sekuat fisika, namun hal ini bukan dikarenakan psikologi tidak ilmiah, melainkan karena keduanya memiliki objek studi yang berbeda. Objek (atau biasa disebut subjek) studi psikologi adalah manusia. Secara khusus, Kalat (2014) menyatakan bahwa psikologi adalah studi mengenai perilaku dan pengalaman manusia. Manusia merupakan sebuah subjek penelitian yang kompleks. Ketidakpastian perilaku manusia menyebabkan psikologi juga mengikuti perubahan perilakunya. Oleh karena itu, seluruh penelitian di bidang psikologi akan menyesuaikan dengan sifat manusia yang beragam dan dinamis.

 

Referensi:

 

Berezow, A., B. (2012, July 13). Why psychology isn’t science. Los Angeles Times.

Kalat, J. W. (2014). Introduction to psychology (10th ed.). Wadsworth, Cengage Learning.

Ridwan, M., Syukri, A., & Badarussyamsi. (2021). Studi Analisis Tentang Makna Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan Serta Jenis dan Sumbernya. Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin, 4(1), 31–54. Retrieved November 28, 2022, from http://www.journal.geutheeinstitute.com/.

Saifuddin, A. (2022). Psikologi Umum Dasar. Prenada Media.

Wildenauer, W. (2001). Hegel, Georg Wilhelm Friedrich (1770–1831). International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, pp. 6636-6642. https://doi.org/10.1016/B0-08-043076-7/00256-4

 

Wilson, T.D. (2012). Stop bullying the ‘soft’ sciences. The social sciences are just that–science. Los Angeles Times.