ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 01 Januari 2023

 

Career Cushioning

 

Oleh:

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Apakah yang dimaksud dengan career cushioning? Career cushioning adalah perilaku dimana individu yang saat ini bekerja di organisasi terus menjajaki peluang berkarir di institusi lain (Castrillon, 2022). Jika ada hal-hal buruk terjadi, individu tersebut punya ‘bantalan’ sehingga hidupnya tak harus berakhir berantakan (Coen, 2023). Dengan kata lain, si pelaku career cushioning sengaja memilih untuk tidak sepenuhnya ‘bersetia’ pada organisasinya. Jika disetarakan dengan hubungan romantis, maka individu yang melakukan career cushioning diibaratkan seperti seseorang yang punya kekasih tetapi dirinya terus mencari pasangan lain. Dengan demikian, individu tetap memiliki sejumlah pilihan di tangan yang siap diambil pada saat terjadi perubahan di pasar kerja.

 

Mengapa seseorang bisa melakukan career cushioning? Alasan career cushioning adalah karena si individu mencemaskan bahwa suatu saat nanti dirinya di-PHK (involuntary turnover) oleh organisasi tempat dirinya berkarir (Tan, 2023). Demi melindungi masa depan profesional dan finansial, maka individu pun menyiapkan rencana cadangan (contingency plans).

 

Kecemasan ini dipengaruhi oleh tren global yaitu gelombang PHK massal di tingkat global sampai lokal, seperti tampak pada sektor teknologi informasi juga pada perusahaan rintisan atau startups. Hal ini menjadi salah satu pemicu mengapa topik career cushioning marak dibahas di Tiktok dan Twitter (Caniago, 2022; Their, 2022). Menyikapi hal ini, individu perlu terus menyimak tren dan sinyal pasar yang terjadi agar dapat membaca kemungkinan.

 

Menjelang melakukan career cushioning, terdapat serangkaian hal yang dilakukan oleh individu. Lazimnya individu tersebut secara bertahap mengidentifikasi kesenjangan keterampilan (skill gaps), mendata pencapaian (achievement stocktaking), melakukan serangkaian peningkatan kapasitas (upskilling), dan memuktakhirkan CV. Individu tersebut juga mengembangkan jejaring (networking) dan/atau punya proyek sampingan (side hustle) seraya mempelajari sejumlah lowongan pekerjaan di berbagai kanal informasi (on-the-job-search) (Berwick & Smith, 2022).

 

Memutuskan tak lagi bersetia dengan organisasi dan mulai menjajaki organisasi lain membawa individu pada situasi dilematis dimana dirinya harus mengantisipasi risiko, hal seperti ini berpotensi menimbulkan pergolakan batin. Penelitian Basnyat dan Lao (2019) mendeskripsikan proses tersebut dalam penelitian kualitatifnya. Di sisi lain, hal ini tergantung dari setiap individu yang melakukan career cushioning tersebut. Pada akhirnya hal ini tergantung dari kalkulasi atau cost-benefit analysis individu terhadap organisasinya.

 

Ketika individu melakukan career cushioning, apakah kita dapat serta merta menilai bahwa individu tersebut tidak profesional? Profesionalisme adalah sebuah konsep yang kompleks, multi-dimensional dan bervariasi di sepanjang kurun waktu sejarah dan konteks budaya (Goldie, 2013). Menentukan apakah individu tersebut profesional atau tidak membutuhkan berbagai pendekatan terhadap faktor individu, interpersonal juga sosial sampai institusional meliputi aspek kognitif, perilaku sampai kinerja individu.

 

Oleh karena itu, pertanyaan ini menjadi tidak mudah untuk dijawab karena tidak serta merta terkait dengan career cushioning. Hal ini karena bisa jadi individu sejatinya memiliki profesionalisme dari berbagai aspek, akan tetapi tren resesi global membuat individu tersebut melakukan career cushioning. Dengan kata lain, career cushioning dan profesionalisme tidak dapat dijelaskan dengan sesederhana itu.

 

Hal yang bisa jadi lebih relevan dibahas dalam kaitannya dengan career cushioning adalah intensi mengundurkan diri (turnover intention). Turnover sendiri adalah pergerakan individu keluar dari organisasi. Pembuatan keputusan yang dilakukan individu dan/atau organisasi terkait pergerakan tersebut menentukan apakah pengunduran diri tersebut bersifat suka rela (voluntary) atau tidak (involuntary). Terdapat sejumlah faktor internal dan eksternal yang berpengaruh (Özkan, 2022). Dari dalam diri individu, faktor-faktor yang berperan antara lain adalah ketidakpuasaan terhadap pekerjaan, gaji, beban kerja, kondisi fisik tempat kerja, peluang promosi, manfaat, pengembangan diri, pengambilan keputusan sampai otonomi. Sedangkan faktor eksternal adalah ketersediaan peluang kerja di luar organisasi tempat ia bekerja saat ini. Terminologi turnover intention ini barangkali lebih presisi untuk mendudukkan career cushioning secara ilmiah.

 

Penting juga untuk menjadi catatan bahwa career cushioning - yang dapat disetarakan dengan turnover intention - tidak serta merta memprediksi perilaku aktual (actual turnover behavior). Hal dipotret Sun dan Wang (2017) dalam kajiannya tentang institusi pemerintahan di sektor publik. Sejauh ini kepuasan kerja (job satisfaction), identifikasi organisasional (organizational identification) dan kecocokan individu-organisasi (person-organizational fit) merupakan prediktor yang lebih kuat (Boon, Wynen & Kleizen, 2021). Artinya jika seseorang tak puas dengan pekerjaannya, lemah mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan tak merasakan kecocokan, maka semakin tinggi juga intensinya untuk meninggalkan organisasi.

 

Di sisi lain, hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah bahwa turnover intention dan kesiapan untuk berubah (preparedness for change) sendiri memiliki sederetan pemicu serupa (Schyns, Torka & Gössling, 2007). Artinya sejatinya jika organisasi mampu mengakomodasi hal ini secara internal, maka kesiapan individu untuk berubah dapat diimplementasikan di dalam organisasi tersebut – antara lain dalam bentuk pengembangan diri dan profesi.

 

Jadi, sahkah jika seseorang melakukan career cushioning? Apabila hal ini diterjemahkan pada perilaku individu untuk terus mengembangkan jejaring dan keterampilan, tentu saja hal ini sah dilakukan oleh individu. Organisasi pun mendapatkan manfaat apabila individu-individu yang berada di dalam organisasi terus berkembang.

 

Pada kenyataannya, berdasarkan Biro Statistik Tenaga Kerja di Amerika Serikat (Bureau of Labor Statistics), lazimnya masa kerja individu bertahan di satu organisasi adalah 4.1 tahun. Hal ini berarti sepanjang perjalanan karir individu, seseorang berganti pekerjaan 8 sampai 10 kali. Di Indonesia, pada usia 18-24 tahun, umumnya para pekerja berganti pekerjaan sebanyak 5 kali (Rari & Wisana, 2021). Kecenderungan berganti pekerjaan menurun seiring bertambahnya usia dan masa kerja (Kosasih & Kurniawan, 2018). Hal ini berarti memang berganti pekerjaan, didalamnya termasuk career cushioning, merupakan kelaziman yang terjadi pada individu pekerja.

 

Dari segi organisasi sendiri, ada banyak hal yang dapat diupayakan oleh organisasi untuk membuat ‘setia’, bertahan dalam organisasi serta tidak ‘mendua’ apalagi ‘berpaling’ dengan organisasi lain dan tidak melakukan ‘career cushioning’. Maharani dan Vembriati (2019) menemukan bahwa ketika individu menilai organisasinya membuka kesempatan pengembangan karir, hal tersebut memunculkan komitmen organisasi pada individu pegawainya.

 

Terakhir, career cushioning sejatinya dilandasi pada kecemasan individu menghadapi masa depan profesionalnya. Salah satu upaya mengatasi hal ini adalah dengan terus bertumbuh melalui pengembangan kapasitas secara berkelanjutan. Individu yang memiliki pola pikir pertumbuhan (growth mindset) terus mengasah kompetensi, punya pandangan positif untuk terus berusaha dan memiliki resiliensi lebih tinggi karena memandang tantangan sebagai kesempatan bertumbuh. Pola pikir seperti ini dipengaruhi bagaimana individu menghargai dirinya (self-appraisals), penghargaan dari orang lain (appraisals of others), keterlibatannya di tempat kerja (workplace engagement) dan kinerja (performance) (Murphy & Reeves, 2020). Yeager et al (2019) menunjukkan bahwa pola pikir seperti ini berkontribusi pada pencapaian individu – hal yang sama-sama menguntungkan individu dan organisasi.

 

Referensi

 

Basnyat, S. & Lao, C.S.C. (2019). Employee’s perceptions on the relationship between human resource management practices and employee turnover: A qualitative study. Employee Relations: The International Journal. 42(2): 453-470.

Berwick, I. & Smith, S. (2022, 22 Desember). Why managers should encourage ‘career cushioning.’ Financial Times. https://www.ft.com/content/6186b7e8-259b-4fa3-9190-5541e4be9964

Boon, J., Wynen, J. & Kleizen, B. (2020). What happens when the going gets tough? Linking change skepticism, organizational identification, and turnover intention. Public Management Review. 23(7): 1056-1080.

Caniago, E. (2022, 9 Desember). Career cushioning lagi ramai di TikTok dan Twitter, ternyata ini asal usulnya. Kabar Minang. https://kabarminang.id/read/career-cushioning-lagi-ramai-di-tik-tok-dan-twitter-ternyata-ini-asal-usulnya

Castrillon, C. (2022, 4 Desember). How career cushioning can help you prepare for a job loss. Forbes https://www.forbes.com/sites/carolinecastrillon/2022/12/04/how-career-cushioning-can-help-you-prepare-for-a-job-loss/?sh=17ce52b3185a

Coen, S. (2023, 18 Januari). Career cushioning: 6 tips for coming up with a plan b for your job. Euronews https://www.euronews.com/next/2023/01/18/career-cushioning-6-tips-for-coming-up-with-a-plan-b-for-your-job

Goldie, J. (2013). Assessment of professionalism: A consolidation of current thinking. Medical Teacher, 35(2): 952-956.

Kosasih, A.R. & Kurniawan, J.E. (2018). Hubungan kepuasan kerja dan loyalitas pada karyawan. Psychopreneur Journal 2(1): 1-11.

Maharani, K.S. & Vembriati, N. (2019). Peran pengembangan karir terhadap komitmen organiassi karyawan Rumah Sakit Bali Royal. Jurnal Psikologi Udayana, 6(2): 301-311.

Murphy, M.C. & Reeves, S.L. (2020). Personal and organizational mindsets at work. Research in Organizational Behavior, 40: 101-135.

Özkan, A.H. (2022). Organizational justice perceptions and turnover intention: A meta-analytic review. Kybernetes. DOI 10.1108/K-01-2022-0119.

Rari, F.P. & Wisana, I.D.G.K (2021). Pelatihan dan turnover pekerja fresh graduates di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan. 10(1): 1-19.

Schyns, B., Torka, N. & Gössling, T. (2017). Turnover intention and preparedness for change: Exploring leader-member exchange and occupational self-efficacy as antecedents of two employability predictors. Career Development International. 12(7): 660-679.

Shanti, S. (2022, 20 Desember). What is career cushioning and why is it gaining popularity. Entrepreneur https://www.entrepreneur.com/en-in/growth-strategies/what-is-career-cushioning-and-why-is-it-gaining-popularity/441468

Sun, R. & Wang, W. (2017). Transformational leadership, employee turnover intention, and actual voluntary turnover in public organizations. Public Management Review, 19(8): 1112-1141.

Tan, A (2023, 25 Januari). Commentary: Instead of quiet quitting, you should be career cushioning. Channel News Asia. https://www.channelnewsasia.com/commentary/career-cushioning-layoff-recession-company-apply-job-opening-linkedin-3214436

Thier, J. (2022, 30 November). ‘Career cushioning’ is the newest workplace term everyone’s about to hate; thanks to an impending recession. Fortune. https://fortune.com/2022/11/29/what-is-career-cushioning-job-hunting-amid-recession-fears/

Yeager (2019). A national experiment reveals where a growth mindset improves achievement. Nature, 573(774): 364-369.