ISSN 2477-1686

 

Vol. 8 No. 24 Desember 2022

 

Solusi Atas Tantangan Baru Orang Tua Siswa Sekolah Dasar di Selama dan Paska Pandemi COVID-19

 

Oleh:

Benedictus Wishnu Samudera, & Penny Handayani

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Perubahan dan kebiasaan baru yang terjadi secara tiba-tiba serta ketidaksiapan  pihak-pihak yang berada di dunia pendidikan, ditambah dengan adanya virus,  menciptakan gangguan sistem pendidikan terbesar dalam sejarah. Hampir 1,6 miliar  siswa di lebih dari 190 negara di dunia terpengaruh (Khan, 2021). Hampir seluruh  siswa di dunia terpaksa menatap layar gawai yang terkoneksi internet sebagai media  dan menjalankan kegiatan belajar mengajar tanpa melakukan interaksi dan tatap  muka secara langsung dengan pengajar (Dai dan Lin, 2020).

 

Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pemerintah  Indonesia mengeluarkan kebijakan baru untuk tetap memastikan jalannya pendidikan  siswa di Indonesia. Dengan itu, secara resmi kegiatan belajar mengajar dilaksanakan  secara daring dari rumah atau yang kini dikenal dengan sebutan Pembelajaran Jarak  Jauh (PJJ). Seluruh jenjang pendidikan di Indonesia terdampak kebijakan pemerintah  yang baru ini. Tak terkecuali jenjang sekolah dasar atau SD. Dalam PJJ, anak SD  yang biasanya dibimbing guru dan bertemu dengan teman secara langsung di sekolah  harus didampingi oleh orang tua di rumah (Dewi, 2020).

 

Padahal, anak usia SD sedang membutuhkan kontak fisik, rangsangan sosial, dan  kapasitas untuk merespon terhadap situasi untuk memiliki rasa aman (Ainsworth et  al., 1974). Perasaan-perasaan tersebut menjadi dasar anak untuk mampu memiliki  motivasi yang kompeten (White, 1959, 1960). Validasi eksternal pun penting untuk  perkembangan kepercayaan diri dan motivasi anak (Erikson, 1950). Namun, pandemi  COVID-19 yang tak kunjung usai membuat anak SD tidak dapat memperoleh  kebutuhan pada tahap perkembangan yang sedang dijalani. Peristiwa ini membuat  orang tua yang memiliki anak SD memiliki tantangan baru. Sebagai agen sosial  terdekat yang aman bagi anak-anak di tengah pandemi COVID-19, orang tua harus  menggantikan peran guru-guru dan teman-teman anak mereka.

 

Padahal, orang tua tentu memiliki pekerjaan lain di luar rumah, dan kini, orang tua  harus membagi waktu untuk mendampingi anaknya. Meski begitu, tantangan dan  pekerjaan baru ini harus diatasi. Mengingat bahwa orang tua memiliki tanggung jawab atas proses pembentukan diri dari anak yang dilahirkan, maka penting bagi orang tua untuk membimbing perkembangan anak ke arah yang baik (Setianingsih, et al., 2015).

Laura Markham, Ph.D., seorang psikolog klinis dari Columbia University, menjelaskan bahwa orang tua bisa melakukan cara-cara berikut untuk meringankan dan mendapatkan  pencerahan untuk mengatasi tantangan baru ini (Markham, 2020):

 

1. Membuat rutinitas yang disesuaikan dengan jadwal orang tua dan anak.

Rutinitas meminimalisir kekacauan karena ada kepastian akan aktivitas yang  dilakukan kedepannya. Rutinitas juga mengembangkan korteks prefrontal anak, ketika mengetahui dan merencanakan apa yang akan terjadi. Lalu,  rutinitas juga membantu anak mengelola diri mereka sendiri dengan tugas tugas yang kurang menarik karena anak memiliki harapan akan tugas yang  lebih menarik untuk dilakukan pada rutinitasnya.

 

2. Menyiapkan ruang yang mendukung pembelajaran.

Sama prinsipnya seperti tempat tidur yang menyebabkan kantuk dan piring di  atas meja menandakan bahwa sudah waktunya makan, anak membutuhkan  ruang belajar yang mengingatkan anak bahwa sekarang adalah waktu belajar.  Menyimpan perlengkapan belajar di ruang belajar anak dan membersihkan  gangguan dari ruang tersebut dapat dilakukan. Sebagian besar anak harus memiliki ruang belajar dekat dengan orang tuanya agar mereka tetap termotivasi untuk belajar dan merasa aman. Jadi, jika orang  tua memiliki pekerjaan yang memungkinkan anak berada dekat dengan orang  tua, alangkah baiknya untuk memanfaatkannya. Pastikan juga bahwa anak  tetap merasa senyaman mungkin untuk belajar.

 

3. Menggunakan sistem yang memungkinkan anak untuk mengarahkan, mengeksplor, dan melakukan aktivitas sesuai dirinya sendiri.

Biarkan anak memilih apa yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Apakah  ingin menangani mata pelajaran tersulit terlebih dahulu atau yang mudah  dahulu? Itu pilihan anak. Namun, jika anak menolak dan malas untuk memulai, tanyakan kepada anak  berapa menit yang anak butuhkan untuk mengerjakan tugas tersebut sebelum  anak diberi waktu istirahat, kemudian apa yang ingin dilakukan selama istirahat. Misalnya, orang tua dapat mengusulkan 15 menit belajar kemudian istirahat selama lima menit, di mana orang tua melakukan aktivitas yang aktif atau sensorik bersama anak. Seperti, meniup gelembung, bermain lempar tangkap, dan permainan lainnya.

 

4. Tetap hadir untuk anak.

Cukup sulit memang memperhatikan dan membimbing anak seperti yang  dilakukan guru dan teman anak ketika sekolah luring sembari orang tua harus  tetap bekerja. Kabar baiknya, ketika orang tua mengerahkan energi untuk  mendampingi anak untuk mengembangkan kebiasaan belajar yang baik, anak  akan menyadari banyak hasil positif yang diperoleh. Sehingga anak semakin termotivasi dan mampu mengatur diri sendiri dalam pekerjaan sekolahnya. Namun tentu saja, itu tidak membantu orang tua untuk berada di dua tempat  sekaligus. Orang tua dapat membagi waktu dengan pasangan untuk giliran  mendampingi anak. Selain itu, orang tua bisa memfasilitasi anak untuk  mendengarkan buku audio yang kini dapat diakses dengan mudah sekaligus  juga dapat menjadi pilihan ketika orang tua sedang rapat.

 

Tidak ada jalan tikus bagi orang tua yang memiliki anak SD untuk mengatasi tantangan baru di tengah pandemi COVID-19 ini. Demi anak tetap termotivasi dengan PJJ yang diberlakukan, orang tua perlu hadir, mendampingi, mengajari, dan bermain dengan anak. Memang melelahkan dan kadang terasa tidak adil. Tetapi, proses tersebut menciptakan hasil dari tantangan baru yang dihadapi orang tua kini sangat berharga. Kebutuhan anak tetap dapat terpenuhi dan orang tua pun bisa menjalin relasi yang jauh lebih sehat, lebih dekat, dan lebih erat dengan anak mereka.

 

Referensi:

 

Ainsworth, M. D. S., Bell, S. M., & Stayton, D. (1974). Infant–mother attachment and  social development: Socialization as a product of reciprocal responsiveness  to signals. In M. Richards (Ed.), The integration of the child into the social  world (pp. 91–135). Cambridge, England: Cambridge University Press.

Dai D. and Lin G. (2020). Online Home Study Plan for Postponed 2020 Spring  Semester during the COVID-19 Epidemic: A case study of tangquan middle  school in Nanjing, Jiangsu Province, China. SSRN Electronic Journal. 4. Pp  543–547.

Dewi, W. A. F. (2020). Dampak COVID-19 terhadap Implementasi Pembelajaran  Daring di Sekolah Dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 55–61.  https://doi.org/10.31004/edukatif.v2i1.89

Erikson, E. H. (1950). Childhood and society. New York: W.W. Norton & Company.

Khan, S. I. (2021). Online classes amid the Covid-19 Pandemic: Parents Perspective.  European Journal of Translational and Clinical Medicine, 8(2), 600–605.  https://www.researchgate.net/publication/349097530_Online_classes_amid_ the_Covid-19_Pandemic_Parents_Perspective

Markham, L. (2020). Remote Learning: 6 Tips to Engage and Motivate Your Child.  Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/peaceful parents-happy-kids/202009/remote-learning-6-tips-engage-and-motivate your-child.

Setianingsih, D. N., Tarma, & Yulastri, L. (2015). Comparison of Adolescent Self Concept Who Have Single Parents Men and Women in SMA 76 Jakarta.  Jurnal FamilyEdu, 1 (2).

White, R. W (1960). Competence and the psychosexual stages of development. In M.  R. Jones (Ed.), Nebraska Symposium on Motivation: Vol. 8. (pp. 51–79).  Lincoln: University of Nebraska Press.

White, R. W. (1959). Motivation reconsidered. The concept of competence.  Psychological Bulletin, 104, 36–52.