ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 22 November 2022
Mulai Tatap Muka, Mulai Musim Perundungan (Bullying)
Oleh
Krishervina Rani Lidiawati
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Proses adaptasi yang tidak mudah dari sekolah daring (online) berubah menjadi sekolah luring (onsite),menyenangkan kah untuk anak-anak? Beberapa siswa mengalami kesulitan untuk mengikuti rutinitas, mengerjakan tugas, kewajiban bangun pagi, berseragam dan harus duduk saat mendengarkan guru mengajar. Namun bukan hanya karena adanya rutinitas yang berubah, pola interaksi berteman tatap muka menjadi salah satu tantangan bagi para murid. Ada tipe individu yang mudah untuk beradaptasi dan mudah bergaul serta mendapatkan teman, tetapi tak jarang pula yang merasa canggung dan tidak nyaman untuk berinteraksi dengan teman sebayanya.
Isu terkait teman sebaya untuk anak-anak sekolah tentu bukan hal baru. Sulitnya bergaul dapat memengaruhi performa prestasi anak tersebut di kelas (Lester & Mander, 2015). Tentu hal ini karena berbagai macam, bukan hanya faktor dari dalam diri anak saja, terkadang faktor dari luar turut memperparah sulitnya untuk beradaptasi. Misalnya, terjadinya perilaku perundungan di sekolah. Perilaku perundungan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor dari individu, keluarga, lingkungan sekolah, teman sebaya, media massa dan lingkungan sekitarnya (Krisnana et al., 2021). Siswa-siswi yang menjadi korban perundungan akan semakin ciut nyalinya untuk berinteraksi dengan teman sebaya, minder dan semakin menarik diri hingga tidak mau masuk sekolah (Lester & Mander, 2015). Tentu kita tidak ingin anak kita menjadi salah satu dari mereka bukan?
Apakah perilaku perundungan hanya terjadi pada saat tatap muka? Perundungan adalah perilaku yang tidak menyenangkan dari satu orang ataupun sekelompok orang, dengan adanya intensi untuk menyakiti, dapat terjadi berulang kali, terdapat ketidakseimbangan kekuatan, biasanya cenderung terjadi dari orang yang kuat kepada orang yang lebih lemah Selama masa pandemi COVID 19, perilaku bullying(perundungan) untuk beberapa jenis dapat terhindarkan karena tidak bertemu secara tatap muka. Namun bukan berarti perundungan tidak terjadi. Perilaku perundungan tetap terjadi di dunia maya atau yang dikenal dengan cyberbullying.
Jenis perundungan dapat berupa fisik seperti memukul, menarik rambut, mencubit, menampar dan lain-lain yang mengakibatkan sakit secara fisik. Perundungan juga dapat berupa verbal atau kata-kata yang menyakitkan, memberikan julukan, melontarkan kata-kata merendahkan, menghina, mengejek, hingga memaki dan mengintimidasi orang lain. Selain fisik, verbal, perundungan dapat terjadi secara sosial. Jenis perundungan ini membuat sekelompok teman menghindari, menjauhi individu tertentu karena rasa takut atau berita bohong yang disebarkan terkait individu tersebut. Jenis ini kerap terjadi pada anak kelas 4-6 ataupun remaja. Mereka mulai memiliki geng dan membuat individu yang tidak disukai di singkirkan, dijauhi. Hal ini merupakan contoh dari jenis relasional.
Lantas sebagai pendidik ataupun orang tua, apa yang dapat dilakukan jika perilaku tersebut hadir di sekolah? Perilaku perundungan tentu tidak dapat disamakan dengan BERCANDA, perilaku yang BIASA namanya juga anak-anak, ataupun respon yang membiarkan seolah-olah itu tidak terjadi. Perilaku bercanda tentu kedua belah pihak merasa senang. Kalau perilaku perundungan di katakana biasa? Mhmm.. coba deh dibaca dampaknya perundungan. Karena perundungan dapat menyebabkan traumatis, minder, putus asa hingga depresi. Apa masih mau dibilang BIASA? Lalu apakah perilaku kita akan mengabaikan jika itu terjadi? Tentu sebagai orang dewasa harus bersikap bijak dan tidak gegabah sehingga itu tidak merugikan ketangguhan anak kita. Kenapa? Adanya perilaku perundungan dapat dijadikan peristiwa penting agar pribadi anak dapat terlatih memahami diri, dimulai dengan mengenali emosi yang dirasakan, belajar untuk menghargai orang lain dan membela diri sendiri dengan mengembangkan keterampilan berelasi. Karena sejatinya kemampuan mengenali emosi diri sendiri juga membantu memahami emosi yang dirasakan orang lain serta lebih mampu berempati (Lidiawati, 2020).
Adanya perilaku perundungan juga dapat menjadi kesempatan individu terus mengasah keterampilannya dalam memupuk harga diri dan mencoba mencari teman baru. Jika ada orang yang tidak menyukainya bukan berarti semua orang. Artinya dapat menjalin relasi dengan orang baru yang lebih sehat dan mengembangkan potensinya. Misalnya, dengan mencari kelompok dengan peminatan yang sama, dapat mencari komunitas yang sehat, lebih terlibat dalam kegiatan berkelompok dan tetap terus mengembangkan potensi yang dimilikinya. Hal ini mendorong korban perundungan tetap memiliki keberhargaan diri meski ada orang yang menghina ataupun mengintimidasinya dalam satu situasi. Karena di situasi yang lain ia tetap mengembangkan diri dan menunjukkan prestasinya. Selain itu, dukungan orang tua diperlukan dalam proses pengembangan harga diri anak misalnya berbagai bentuk apresiasi (dapat berupa pujian atas usahanya), pendampingan, perhatian dan waktu diskusi dengan anak terkait kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Referensi:
Krisnana, I., Rachmawati, P. D., Arief, Y. S., Kurnia, I. D., Nastiti, A. A., Safitri, I. F. N., & Putri, A. T. K. (2021). Adolescent characteristics and parenting style as the determinant factors of bullying in Indonesia: A cross-sectional study. International Journal of Adolescent Medicine and Health, 33(5). https://doi.org/10.1515/ijamh-2019-0019
Lester, L., & Mander, D. (2015). The Role of Social, Emotional and Mental Wellbeing on Bullying Victimisation and Perpetration of Secondary School Boarders. Journal of Psychologists and Counsellors in Schools, 25(02), 152–169. https://doi.org/10.1017/jgc.2014.28
Lidiawati, K. R. (2020). Cerdas mengelola emosi: gimana sih caranya? https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/750-cerdas-mengelola-emosi-gimana-sih-caranya