ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 22 November 2022

Komunikasi Dari Hati Ke Hati

 

Oleh

Sri Fatmawati Mashoedi

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Manusia tidak bisa hidup tanpa berkomunikasi. Sejatinya manusia adalah makhluk sosial, yang berarti bahwa dia hidup bersama orang lain. Melalui komunikasi manusia tumbuh dan berkembang. Tumbuh (growth) yang berarti manusia sebagai organisme mengalami perubahan ukuran dari kecil menjadi lebih besar, sampai mencapai bentuk tertentu. Untuk bisa tumbuh tentulah ia harus berkomunikasi dengan orang lain, misalnya dalam rangka mendapatkan asupan-asupan makanan yang diperlukan. Berkembang (development) yang berarti manusia sebagai organisme mengalami perubahan ke arah kedewasaan dan bertambah kemampuannya (skill) dalam fungsi tubuh yang lebih kompleks sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk di sini perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi dengan lingkungan ini lah manusia perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini diperlukan untuk menunjang adaptasi dan kerja sama dengan orang lain secara efektif.

 

Keterampilan berkomunikasi menjadi sesuatu yang perlu dimiliki seseorang untuk mendukungnya menjadi manusia yang efektif dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karenanya, menjadi miris ketika seseorang justru berkonflik dengan orang lain karena terjadi salah pengertian (miscommunication). Salah pengertian ini bisa berdampak pada memburuknya hubungan seseorang dengan orang lain. Misalnya, pasangan yang sering terlibat konflik, hubungannya semakin hari semakin memburuk sehingga akhirnya harus berpisah. Atau, komunikasi antara orangtua dengan anak - yang tentunya berbeda generasi - sehingga sering memicu perpedaan pendapat yang tajam dan berujung pada munculnya hubungan yang tidak harmonis di antara keduanya. Ungkapan seperti “Saya sulit bicara dengan anak saya, semakin besar anak saya maka semakin besar jarak saya dengannya” adalah ungkapan yang tidak asing kita dengar. Thomas Gordon sudah sejak lama memerhatikan adanya jurang pemisah antara orangtua dengan anak dan merancang suatu training yang disebutnya Parent Effectiveness Training(Gordon, 2000). Pada dasarnya training ini memberikan keterampilan praktis bagaimana orangtua – anak berkomunikasi secara efektif. 

 

Dalam buku Human Communication, DeVito (2018) mengemukakan 2 (dua) prinsip yang harus diperhatikan saat kita berkomunikasi dengan orang lain agar dapat efektif. Terlebih dalam situasi yang potensial menimbulkan konflik, misalnya ketika kita berbeda pendapat dengan lawan bicara kita, sangat diperlukan keterampilan komunikasi yang baik untuk mencegah terjadinya konflik, atau minimal mengurangi kadar konflik yang terjadi. Prinsip tersebut seyogyanya dapat dipakai untuk mencegah percakapan menjadi semakin memburuk. Prinsip yang pertama adalah makna kata terletak pada masing-masing orang. Hal ini berimplikasi bahwa suatu kata dapat memiliki makna yang berbeda pada tiap orang. Perbedaan penafsiran sebuah kata dapat menimbulkan masalah. Misalnya terjadi pada sebuah maskapai penerbangan PAN AM. Peristiwa tragis pernah terjadi yaitu ketika pilot di pesawat meminta diizinkan untuk mendarat karena bahan bakarnya sudah “menipis” (itu yang dikatakan oleh pilot kepada petugas di menara), petugas di menara menafsirkannya sebagai bahan bakar di pesawat tersebut masih cukup untuk membawa pesawat terbang selama beberapa waktu. Padahal yang dimaksudkan oleh pilot adalah bahan bakar di pesawat sudah tidak mencukupi pesawat untuk terbang terus, jadi harus segera mendarat. Yang terjadi kemudian adalah petugas di menara tidak memberi izin pesawat tersebut untuk mendarat karena lalu lintas bandara saat itu padat dan meminta pilot untuk memutar lagi. Apa yang terjadi kemudian adalah pesawat itu jatuh karena kehabisan bahan bakar (Robbins, & Judge, 2009). Perbedaan makna kata “menipis” membuat petugas di menara tidak memprioritaskan pesawat untuk turun/mendarat sehingga terjadi kecelakaan. 

 

Prinsip yang kedua adalah komunikasi memiliki dimensi Isi dan Hubungan. Dimensi Isi berarti ketika bebicara orang harus menggunakan kata-kata yang jelas, sedangkan dimensi Hubungan berarti dengan siapa kita berbicara harus disesuaikan cara penyampaiannya. Seringkali kita mendengar seseorang berkata “Saya paham maksudnya, tetapi yang saya tidak bisa terima adalah caranya yang tidak sopan ketika berbicara dengan saya”. Masalah dimensi Hubungan juga bisa terjadi pada sepasang kekasih. Ketika misalnya si pria berkata dengan tegas dan suara keras, maka si perempuan menjadi tersinggung, merasa diperlakukan dengan kasar. Si perempuan berharap sebagai kekasihnya seharusnyalah ia diperlakukan dengan baik. Dimensi Hubungan juga bisa terjadi pada hubungan pertemanan. Sebagai orang dengan status yang sepantaran ada norma bahwa mereka berbicara tidak perlu dengan gaya yang formal atau menggunakan bahasa yang baku. Mereka dapat menggunakan bahasa “gaul”. Maka ketika ada seorang teman di antara mereka yang berbicara dengan bahasa yang baku, dia bisa menjadi obyek tertawaan. Hal ini dapat menibulkan rasa tidak suka pada teman yang ditertawakan dan membuatnya menarik diri. Orang dengan status yang lebih tinggi juga cenderung mengharapkan orang dengan status yang lebih rendah untuk berbicara dengan gaya yang lebih sopan. Ketika orang dengan status yang lebih rendah tidak melakukannya maka dapat menibulkan perasaan tidak suka pada orang dengan status yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kelancaran komunikasi mereka. Dari beberapa contoh di atas terlihat bahwa tidak hanya “apa” yang disampaikan oleh seseorang yang merupakan faktor penting dalam komunikasi, tetapi “bagaimana” cara menyampaikannya juga merupakan faktor yang penting. 

 

Seorang pakar lainnya, Rosenberg (2015) mengemukakan sebuah pendekatan komunikasi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip tanpa kekerasan yang disebut dengan Nonviolent Communication, atau dikenal juga dengan istilah NVC. Dalam NVC kita diajak untuk meningkatkan empati kita dalam bercakap-cakap dengan orang lain agar meningkatkan kualitas percakapan kita. NVC bertujuan membantu orang menemukan cara untuk menyampaikan (atau pun menanggapi) apa yang ingin mereka sampaikan tanpa menyalahkan, memaksa, mempermalukan, atau mengancam orang lain. Jadi tidak ada pihak yang mendominasi ataupun mengevaluasi, melainkan pembicara menyampaikan pesannya dengan cara menghormati, memahami, dan menyesuaikannya dengan kebutuhan lawan bicaranya. Alih-alih seseorang mengatakan “Ini sudah malam, suara musikmu bikin berisik”, melainkan ia menyampaikannya dengan cara yang berbeda namun tujuannya sama, misalnya “Sekarang sudah jam 1 malam, dan kamu masih mendengarkan musik”. 

 

Ada empat hal yang menjadi fokus utama dalam NVC, yaitu: Observasi, Perasaan, Kebutuhan, dan Permintaan. Pada Observasi, pesan yang kita kemukakan berdasarkan pada hasil observasi kita terhadap gejala yang ada. Misalnya pada contoh di atas, ketika seseorang mengatakan “Sekarang sudah jam 1 malam, dan kamu masih mendengarkan musik”, yang dikemukakan ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah atau diperdebatkan. Selanjutnya Perasaan, berdasarkan fakta yang ada lalu kita menyampaikan perasaan kita, misalnya “Sekarang sudah jam 1 malam, dan kamu masih mendengarkan musik. Saya merasa terganggu karena suara musikmu terdengar di saya”. Atau, “Saya merasa khawatir kamu tidak bisa bangun pagi, padahal besok kamu harus berangkat jam 5 pagi”. Pada tahap Perasaan, kita juga bisa menanyakan kepada lawan bicara bagaimana persaannya, misal “Apakah kamu tidak khawatir akan telat bangun?”. Terlihat di sini kita tidak menyalahkan atau mengancamnya, melainkan tetap menghormatinya. Berikutnya Kebutuhan, kita menyampaikan kebutuhan kita sebagai akibat adanya perasaan yang muncul tadi. Misalnya, “Saya harus tidur segera karena besok harus bangun pagi, tapi saya tidak bisa tidur dengan adanya suara musik dari ponsel mu sehingga saya cemas besok akan telat bangun”. Terakhir Permintaan, di sini kita menyampaikan permintaan kita berdasarkan kebutuhan yang sudah kita kemukakan. Misalnya, “Saya harus tidur segera karena besok harus bangun pagi, tapi saya tidak bisa tidur dengan adanya suara musik dari ponsel mu sehingga saya cemas besok akan telat bangun. Bisakah kamu matikan hp mu?”. Atau, bila lawan bicara kita memang tidak perlu bangun pagi, kita bisa memintanya untuk menggunakan headset. Dalam tahap Permintaan ini kita mengajukan permintaan tindakan konkret untuk memenuhi kebutuhan yang baru saja diidentifikasi. 

 

NVC merupakan cara praktis dalam berkomunikasi efektif yang memerlukan latihan. Dengan menerapkan NVC berarti kita telah melakukan komunikasi dari hati ke hati yang menumbuhkan empati dalam sebuah percakapan.

 

 

Referensi:

 

Devito, J. A. (2018). Human Communication: The Basic Course. (14th Ed.). Pearson Education, Inc.

Gordon, T. (2000). Parent Effectiveness Training: The Proven Program for Raising Responsible Children. (1st Ed). Harmoni.

Robbins, S. P., & Judge, T. (2009). Organizational behavior. Pearson South Africa.

Rosenberg, M. B. (2015). Nonviolent Communication: A Language of Life. (3rd Edi). Puddle Dancer Press.