ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 21 November 2022
Orang Tua Dan Watak Berkebhinekaan Global
Oleh:
Tia Rahmania & Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Paramadina
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Perbedaan itu ibarat pelangi, ia berbeda warna, namun dapat bersanding dan beriringan dalam satu ruang yang sama. Pelangi bukan hanya soal estetika yang sangat indah dipandang. Kondisi ini yang mirip dengan Indonesia dengan individu-individu di dalamnya yang berbeda-beda latar sosial-budaya. Segala perbedaan adalah kekayaan, ia warna kehidupan yang jika dikelola dengan baik akan indah seperti pelangi. Mengenali pelangi dan dapat menikmatinya bukan suatu yang terberi. Pemahaman ini harus diajarkan. Mengenali bahwa diri kita di Indonesia tidak homogen, paham bahwa diri kita masing-masing berbeda, tapi dalam satu wadah yang sama dan dengan ikatan yang sama mirip gado-gado (Meinarno, 2017).
Peran orang tua
Jika memang tidak otomatis mengerti, maka pemahaman ini harus dikenalkan dan diajarkan secara sadar. Di sekolah hal ini mungkin telah terlaksana dalam materi pelajaran. Di sisi lain, anak atau siswa justru lebih banyak belajar dan memahami dunianya dari kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya atau mesosistem, meminjam istilah dari Bronfenbrenner. Sebagai orang tua mengajarkan ide tentang pelangi atau gado-gado kepada anak adalah hal yang lumrah. Pembentukan karakter juga membutuhkan pihak lain dari diri anak, yakni orang tua (Markam, & Rahmawati, 2018). Orang tua dapat memulai dengan memberikan gambaran bahwa keduanya (ibu dan ayah) adalah berbeda. Diikuti memberi penjelasan bahwa tiap-tiap orang berbeda, bahkan jika terlihat sama sekalipun. Dalam konteks berpikir tinggi diterjemahkan oleh Parekh (2008) bahwa manusia adalah makhluk kodrati dan sekaligus kultural, semua mempunyai identitas kemanusiaan umum tetapi berada dalam tingkah yang dimediasikan secara kultural.
Dari Kompetensi Menuju Pembentukan Watak
Konsep pelangi atau gado-gado (selanjutnya akan menggunakan gado-gado) akan dipahami oleh anak ketika orang tua lebih dulu telah menerima dan memahami, serta menjalankannya. Hal ini tidaklah sulit, karena arahan untuk itu ada yakni adanya keinginan pemerintah untuk membentuk watak pelajar khas Indonesia dalam beberapa watak khas. Salah satu diantaranya adalah berkebinekaan global.
Bentuk watak dari anak yang berkebinekaan global adalah ia mampu mengeksplorasi, mengapresiasi, dan terus mengembangkan, kekayaan budaya serta berkolaborasi dan mempersatukannya (Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, 2020). Penjelasan ini mungkin masih terasa rumit atau bisa jadi sulit untuk diwujudkan.
Dalam penjelasan lebih mendekati tingkah laku sehari-hari, orang tua dapat memperkenalkan dan menghargai kebudayaan dari berbagai kelompok (Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, 2020). Anak tidak dalam satu ruang steril sosial. Ia berinteraksi dengan banyak orang, di lingkungan tempat tinggal sampai sekolah. Namun orang tua dapat memberi masukan tentang tingkah-tingkah laku yang muncul dari tiap-tiap orang. Misalnya, ada yang membuat ketupat untuk perayaan keagamaan. Orang tua dapat menjelaskan mengapa orang atau keluarga itu membuat ketupat, sementara keluarganya sendiri tidak membuat ketupat tanpa memberi penekanan dan penilaian yang sifatnya membedakan.
Orang tua dapat mengajak anak untuk berkomunikasi dan interaksi antarbudaya (Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, 2020), dari tetanggga sekitarnya yang sangat mungkin berbeda-beda latarnya. Sebagian besar dari kita hidup dan berinteraksi dengan tetangga yang berbeda-beda latar budaya. Anak tentu akan melihat hal itu, maka orang tua dapat memberikan ruang pemahaman bagi anak untuk bisa bertanya langsung kepada pihak yang dia anggap berbeda. Saat anak bermain dengan temannya yang berbeda, ketika berkomunikasi caranya berbeda, maka biarkanlah anak yang bertanya mengapa berbeda. Beri peluang anak juga untuk menunjukkan tentang dirinya sekaligus berhadapan dengan yang berbeda atas dirinya.
Orang tua dapat mengajak refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan (Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, 2020). Sebagai contoh, bagaimana orang tua dapat menanyakan bagaimana hubungan pertemanan anak dengan teman-teman yang berbeda? Adakah kesamaan antara diri anak dan anak lainnya? Apa hal yang bermanfaat atas pengetahuan perbedaan dan persamaan tadi?
Hal yang terakhir, Orang tua dapat mengajarkan dan mengajak anak untuk berkeadilan sosial (Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, 2020). Anak dapat diajak untuk melihat kondisi diri dan sekitarnya mengenai hak dan kewajiban. Sebagai contoh anak dapat menceritakan dirinya saat menjalankan piket kebersihan di kelas, upacara bendera, atau saat ikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Penutup
Memahami situasi keberagaman bukan hal yang otomatis. Dalam hal ini berkebinekaan global juga sama, butuh untuk dibangun lebih dulu. Orang tua dapat hadir bersama sekolah dalam pembentukan watak tadi. Watak berkebinekaan global bukan semata kebutuhan pemerintah atau sekolah. Watak ini akan berguna dalam kehidupan sehari-hari anak. Pada akhirnya kita (ilmuwan, guru, orang tua dan pemangku kepentingan lainnya) perlu sadar bahwa memahami ada yang beda dan ada yang sama itu perlu, karena dengan memahaminya maka diri ini akan untuh menjadi orang Indonesia (Meinarno, 2018).
Referensi
Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila (2020). Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Markam, SM., Rahmawati, S. Keluarga dan Pembentukan Karakter. Vol.4. No.12, Juni 2018.https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/284-keluarga-dan-pembentukan-karakter
Meinarno, EA. (2017). Peran Identitas Etnis, Identitas Agama, dan Identitas Nasional yang Dimediasi Nilai Nasional Terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi Program Doktoral Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Tidak dipublikasikan.
Meinarno, EA. Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia. Vol.4. No.17 September 2018. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/309-amalkan-pancasila-kita-bhinneka-kita-indonesia
Parekh, B. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta. Kanisius.