ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 21 November 2022

Alasan Individu Bertahan Dalam Relasi Berkekerasan: Perspektif Psikologi

 

Oleh:

Pradipta Christy Pratiwi1, Sandra Handayani Sutanto2

1Universitas Negeri Semarang (UNNES)

2Universitas Pelita Harapan (UPH)

 

Setiap individu punya gambaran ideal tentang kisah cinta yang didambakan. Misalnya, punya keinginan berjodoh dengan pasangan yang gemar memberikan kejutan romantis. Atau ingin punya pasangan yang selalu ada ketika dibutuhkan. Punya pasangan yang bisa memprioritaskan dirinya dibandingkan dengan teman-temannya, dan seterusnya. Sangat jarang ada individu yang menyebutkan bahwa impiannya adalah memiliki relasi romantis yang sehat. Bahkan masih banyak remaja atau dewasa muda yang masih rancu antara perilaku romantis dan perilaku posesif. Perhatikan ujaran berikut: “Dia tuh sayang banget sama aku, kemarin aja aku pergi sama temen-temenku, trus dia tiba-tiba telpon dan aku disuruh cepet pulang. Karna dia tahu kalau temenku tu ada yang cowok, jadi dia ngga pengen aku kenapa-kenapa..dia cemburu..cemburu kan tanda cinta ya.”

 

Ketidakpahaman tentang kriteria relasi yang sehat inilah yang menjadi salah satu penyebab individu mudah menerima relasi yang tidak sehat, bahkan memenuhi kriteria berkekerasan. Kekerasan dalam relasi personal dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Beberapa jenis kekerasan dalam personal ini sangat mungkin terjadi dalam satu waktu. Dampak dari kekerasan juga bervariasi, tidak selalu yang mengalami jenis kekerasan tertentu intens akan mengakibatkan dampak yang lebih berat dibandingkan jenis kekerasan lainnya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor internal dan penghayatan dari seseorang (Pratiwi, 2017). Beberapa dampak psikologis dari kekerasan ranah personal yang membuat seseorang enggan untuk bertahan antara lain self-esteemyang rendah, stres, cemas, dan depresi (Pratiwi, 2017; Pratiwi & Yasa, 2021; Pratiwi, et al., 2022). Kondisi psikologis seperti ini mendorong seseorang untuk memiliki pola pikir yang irrasional. Seperti pikiran bahwa pasangan akan berubah, individu akan berusaha untuk membantu pasangan untuk tidak mengulang perlakuan kasarnya lagi, atau menilai bahwa perilaku kasarnya sebagai perlakuan yang wajar dan layak diterima. Pada banyak kasus, individu bahkan percaya bahwa perilaku berkekerasan dapat dimaafkan. Oleh karena itu, pada akhirnya individu memilih untuk bertahan dan melanjutkan relasi yang berkekerasan.

 

Fenomena kekerasan dalam ranah personal yang selama ini tidak banyak terungkap, akhir-akhir ini menjadi banyak perbincangan khalayak karena satu kasus kekerasan yang dialami oleh publik figur. Meskipun kasus kekerasan ini sudah sampai pada ranah hukum, namun pada akhirnya korban mencabut laporannya dan memutuskan untuk terus mempertahankan rumah tangganya. Lalu mengapa seseorang bisa mengambil keputusan untuk bertahan dalam relasi berkekerasan? Terdapat beberapa aspek yang dinilai membuat individu bertahan pada relasinya yang berkekerasan (Rusbult & Martz, 1995), yaitu:

 

1.     Kepuasan

Individu bertahan pada relasinya karena merasa puas dengan hubungan tersebut. Individu menilai bahwa pasangannya mampu memenuhi kebutuhan yang dimiliki. Contohnya, pasangannya dinilai memiliki kapasitas intelektual yang baik atau mampu memenuhi kebutuhan seksual individu. 

 

2.     Perbandingan dengan Alternatif

Ada atau tidaknya kualitas alternatif lain dalam suatu hubungan juga turut menjadi faktor apakah suatu hubungan patut dipertahankan. Ketika dalam suatu hubungan individu memiliki alternatif lain yang lebih baik, maka ia akan mempertimbangkan untuk mengakhiri suatu hubungan tersebut untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan dan keintiman.

 

3.     Ukuran Investasi

Besarnya dan pentingnya sumber daya yang melekat pada suatu hubungan akan meningkatkan komitmen seseorang terhadap suatu hubungan. Hal ini menjadi faktor psikologis kuat bagi seseorang untuk mempertahankan suatu hubungan. Contohnya, ketika individu sudah menjalani relasi selama 10 tahun dan telah menghabiskan banyak biaya selama relasi berlangsung, atau ada anak dalam suatu pernikahan berkekerasan, akan menjadi investasi yang dipertimbangkan individu jika ingin mengakhiri suatu hubungan.

 

Pada kondisi relasi berkekerasan, terdapat peluang untuk individu dapat keluar dari relasi tersebut. Salah satu model perubahan perilaku yang dijelaskan oleh Prochaska dan DiClemente (dalam Prochaska, Norcross, & DiClemente, 2013) menjadi jawabannya. Perubahan perilaku individu dimulai dari tahapan pra-kontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, dan maintenance. Kesadaran, keberanian, dan kesiapan individu sangat diperlukan untuk dapat melalui setiap tahapan ini. Diawali dengan individu belum menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan (pra-kontemplasi). Ketika individu mulai menyadari dan berpikir dirinya harus keluar dari relasi berkekerasan namun belum ada komitmen, ia masuk pada fase kontemplasi. Apabila individu sudah merasa siap dan merencanakan untuk keluar dari relasi berkekerasan, maka ia masuk pada tahap persiapan. Saat individu pada akhirnya berani untuk mengakhiri dan mengelola diri untuk tidak kembali maka ia berhasil melewati fase aksi dan maintenance. Masalahnya, setiap individu memiliki cerita hidupnya masing-masing. Untuk keluar dari relasi berkekerasan ini, individu bisa saja mengalami kemunduran pada fase sebelumnya. 

 

Berikut beberapa tips yang bisa digunakan:

·       Jika seseorang dalam posisi sebagai korban, ingatlah bahwa Anda layak diperlakukan dengan penuh respek, merasa aman dan tidak untuk dipersalahkan;

·    Jika seseorang dalam posisi untuk meninggalkan pelaku, ingatlah bahwa Anda tidak bisa menolong pelaku, dan pelaku hanya bisa menolong dirinya sendiri. Jangan biarkan ketakutan membuat ragu untuk meninggalkan pelaku;

·       Lindungi diri dengan menggunakan kode tertentu yang telah dibagikan kepada orang lain yang dipercaya sebagai sinyal membutuhkan pertolongan darurat (Smith&Segal, 2022). 

 

Pada akhirnya, diperlukan penguatan atas berbagai faktor internal dan eksternal, dalam rangka membantu individu agar dapat memutus rantai kekerasan yang dialami. Apakah Anda siap?

 

 

Referensi:

 

Pratiwi, P. C. (2017). Enhancing self-esteem in young adults who experience dating violence by Cognitive Behavior Therapy. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology4(2), 141–159. https://doi.org/10.24854/jpu60

Pratiwi, P. C., & Yasa, S. P. K. (2021). Psychology distress reviewed from young adults who experience dating violence. JournalNX-A Multidiciplinary Peer Reviewed Journal, 7(4), 25-33. https://repo.journalnx.com/index.php/nx/article/view/2828

Pratiwi, C.P., Mahanani, F.K., Budiningsih, T.E., & Halim, J.A. We are in the same boat: Group therapy as a treatment for psychological distress in dating violence survivors. Journal of Educational, Health, and Community, 11(1), 33-55.

Prochaska, J. O., Norcross, J. C., & Diclemente, C. C. (2013). Applying the stage of change. Psychotherapy in Australia, 19(2), 10-15. https://search.informit.org/doi/10.3316/informit.254435778545597 

Rusbult, C. E., & Martz, J. M. (1995). Remaining in an Abusive Relationship: An Investment Model Analysis of Nonvoluntary Dependence. Personality and Social Psychology Bulletin21, 558–571.

Smith, M, & Segal, J. (2022, Oct 24). How to get out an abusive relationship. Helpguide. https://www.helpguide.org/articles/abuse/getting-out-of-an-abusive-relationship.htm