ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 21 November 2022

 

Modus Relasi Sosial Penggunaan Uang

 

Oleh:

J. Seno Aditya Utama

Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya

 

Beberapa penelitian menunjukkan, uang tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan.  Lalu, apakah uang tidak dapat mendatangkan kebahagiaan?  Tidak juga.  Dunn dan Norton (2013) menyampaikan, sejauh digunakan secara cerdas, uang dapat mendatangkan kebahagiaan.  Mereka menyebutkan, uang misalnya untuk membantu orang lain, “membeli pengalaman” atau “membeli waktu”, dapat mendatangkan kebahagiaan.  Namun demikian, bagaimana dapat dijelaskan geramnya seorang donatur saat mengetahui uang donasinya digunakan untuk membayar gaji pengurus donasi, seturut posisinya dengan jumlah yang sangat besar.  Peristiwa lain, seorang pelancong kesal kepada biro perjalannya.  Apa yang ditampilkan biro perjalanan di brosur dan dijanjikan kepada pelancong tidaklah sama, bahkan lebih buruk. Impian liburan yang menggembirakan kandaslah.  Beberapa contoh peristiwa ini menunjukkan tidak selalu menggunakan uang secara “cerdas” mendatangkan kebahagiaan.  Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini belum memadai bila dijelaskan semata secara individu, sebab uang hadir dalam konteks relasi sosial.  

 

Fiske (1992) menyebutkan terdapat empat modus dasar relasi sosial, yaitu: berbagi komunal (communal sharing), peringkat otoritas (authority ranking), pencocokan kesetaraan (equality matching) dan penentuan harga pasar (market pricing).  Berbagi komunal adalah penggunaan sumber daya sebagai milik bersama.  Setiap individu berbagi sumber daya kepada individu lain sebagai kesatuan kelompok.  Hasil terkumpul bukanlah milik pribadi, melainkan milik kelompok.  Tiap individu punya kesempatan menggunakan sumber daya tersebut.  Modus berbagi komunal dapat dilihat misalnya pada aktivitas mengumpulkan uang untuk membeli camilan.  Tanpa harus memperhitungkan siapa yang membeli atau berapa uang yang telah diberikan, tiap orang dapat menikmati camilan dari seluruh uang yang terkumpul.

 

Modus peringkat otoritas berhubungan dengan relasi sosial yang tidak setara berjenjang.  Status sosial dan fakta kronologis, misalnya: jabatan, peran atau usia, menjadi penentu individu yang satu dianggap lebih tinggi jenjang sosialnya daripada lainnya.  Dengan demikian muncul istilah-istilah berpasangan seperti: orang tua-anak, ordinat-subordinat, atasan-bawahan atau tua-muda.  Mereka yang peringkat sosialnya lebih tinggi wajib melindungi dan merawat mereka yang peringkat sosialnya lebih rendah.  Sebaliknya, mereka yang berperingkat sosial lebih rendah wajib menunjukkan sikap hormat dan patuh kepada yang lebih tinggi.  

 

Disamping itu, mereka yang berperingkat tinggi dianggap lebih berhak mendapatkan lebih dan lebih berhak pula memiliki pilihan, dibandingkan mereka yang lebih rendah peringkatnya.  Modus distribusi uang dalam konteks ini dapat dilihat dari peristiwa pemberian uang pada anak-anak saat hari besar suatu komunitas budaya atau agama.  Mereka yang memberi pastilah mereka yang lebih tua atau dituakan.  Sebaliknya, mereka yang mendapatkan uang pastilah kelompok yang lebih muda.  Pemberian uang ini bersifat searah, tidak dapat bertukar peran seturut jenjangnya. 

 

Modus pencocokan kesetaraan dapat dilihat misalnya dari peristiwa bergantian membayari makan siang.  Hari ini A yang membayari B, esoknya gantian B.  Tidak harus ketat berselang-seling siapa yang membayar dan tidak harus pula persis berharga sama.  Interval dan nominal dapat bersifat longgar. Namun demikian, tetap harus dipenuhi persepsi kesetaraan antara kedua pihak.  Peristiwa ini memperlihatkan kedua pihak ditempatkan setara dan dinamika antar pihak ditujukan untuk mencapai kesetaraan tersebut.

 

Terakhir, modus relasi penentuan harga pasar.  Modus relasi sosial ini berhubungan dengan optimalisasi pemanfaatan, dapat berupa maksimalisasi atau minimalisasi, sesuai tujuan.  Hal ini didasari adanya medium standar untuk menghitung pertukaran.  Uang merupakan salah satu medium pertukaran yang disepakati antar pihak dan mengandung nilai mutlak yang disepakati pula.  Istilah-istilah seperti: untung-rugi, mahal-murah, permintaan-penawaran atau lebih-kurang, menggambarkan pemahaman ini.  Masing-masing pihak mengupayakan tercapainya rasio optimal seperti diinginkan atau disepakati.  Misalnya: harga barang Rp. 15.000,-, pembeli sepakat membelinya, namun tanpa sengaja ia memberikan Rp. 12.000.  Pedagang akan mengatakan uang yang diberikan kurang Rp. 3.000,-.  Pembeli lalu menambahkan sejumlah uang ke pedagang, sehingga pembayarannya genap Rp. 15.000,-.  Peristiwa ini menunjukkan relasi antar individu diwakili oleh sebuah entitas, dalam hal ini uang, yang disepakati kedua pihak sebagai medium pertukaran dan nilainya mutlak.

 

Keempat modus relasi sosial ini memperlihatkan beragamnya tujuan individu menggunakan uang seturut struktur relasi sosialnya.  Belum tentu hal-hal ini mendatangkan kebagiaan seperti digambarkan Dunn dan Norton (2013).  Namun demikian, ketidaksesuaian antara tujuan dan operasionalisasi suatu modus, berpotensi menciptakan ketidaknyamanan.  Munculnya kegeraman dari salah satu contoh di awal tulisan, dapat dijelaskan singkat: uang yang diberikan donatur bukan diperuntukkan bagi modus penentuan harga pasar. 

 

 

Referensi:

 

Dunn, E. W., & Norton, M. (2013). Happy Money: The science of smarter spending. Simon & Schuster.

Fiske, A. P. (1992). The four elementary forms of sociality: Framework for a unified theory of social relations. Psychological Review, 99(4), 689–723. https://doi.org/10.1037/0033-295X.99.4.689