ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 20 Oktober 2022

Cemas Dan Takut Gagal, Tanda Impostor Syndrome?

 

Oleh:

Cindy Febriani Lee

Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

 

Keberhasilan akademis adalah suatu hal yang dapat dibanggakan; namun di sisi lain,  keberhasilan akademis juga dapat menjadi sumber stres. Tanpa disadari, banyak sekali  pelajar atau mahasiswa yang mengalami tingkat kecemasan tinggi akibat tekanan akademik  yang mengharuskan mereka untuk senantiasa berhasil. Menariknya, tim BBC News  Indonesia (2019) mencatat bahwa pelajar di negara-negara Asia menunjukkan kinerja yang  tinggi. Namun, mereka menghadapi masalah yang sama yakni adanya tuntutan untuk berhasil  atau lulus dalam ujian. Tuntutan tersebut juga sering kali diwujudkan dengan dorongan  orangtua agar anaknya mengikuti lembaga pendidikan yang menghabiskan banyak biaya  sehingga – baik secara langsung maupun tidak langsung – memberikan tekanan kepada  mereka untuk berhasil secara akademis. Hal ini juga diperkuat dengan penemuan  Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (dalam Tim CNN  Indonesia, 2019) bahwa walaupun anak-anak di Singapura berhasil secara akademis, mereka  mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi terkait sekolah daripada negara lainnya.  Tidak hanya itu, peningkatan pun ditemukan pada jumlah anak usia sekolah yang  mengunjungi dokter ahli penyakit jiwa atau psikiater dan Samaritans of Singapore (sebuah  kelompok pencegahan bunuh diri) menyatakan bahwa banyak siswa yang menghubungi  mereka terutama menjelang periode ujian. Bahkan, pada tahun 2016, terjadi tindakan bunuh  diri yang dilakukan oleh anak usia 11 tahun karena stres harus mengungkapkan hasil ujian  tengah tahun yang gagal kepada orangtuanya. 

 

Mirisnya, di Indonesia sendiri, percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh para siswa pada saat menjelang UN atau semasa sekolah bukanlah cerita baru. Menurut Ginanti (2018), sudah tercatat setidaknya 11 murid yang meninggal semasa sekolah sejak 2007 di mana 8 di  antaranya ditemukan bunuh diri dan 3 lainnya diakibatkan oleh stres berat yang diikuti  dengan sakit keras. Kesamaan yang ditemui dari seluruh peristiwa ini ialah adanya tekanan  tinggi yang harus mereka hadapi ketika ujian di mana mereka merasa seolah-olah tidak  diperbolehkan sama sekali untuk gagal sehingga mirisnya, bunuh diri dianggap menjadi  solusi agar mereka tidak menemui kegagalan tersebut. OECD (dalam Tim BBC News  Indonesia, 2019) menyebutkan kebanyakan murid mengalami kecemasan dan memiliki  perasaan takut gagal meskipun sudah cukup mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian. Hal  ini juga akhirnya menyebabkan murid berprestasi tinggi tetap menderita meskipun mereka  berhasil secara akademis karena sejumlah murid tersebut tetap kekurangan keyakinan diri  akan kemampuan mereka. Sayangnya, sering kali orangtua, atau pun guru, yang seharusnya  menjadi sumber dukungan terdekat justru memperparah rasa takut gagal dan kecemasan yang  dimiliki oleh anak. Berdasarkan berbagai fenomena sebelumnya, dapat disimpulkan juga  bahwa salah satu faktor penyebab rasa takut gagal dan cemas akibat kurangnya keyakinan  diri akan kemampuan mereka ini berasal dari pola asuh orangtua dan ekspektasi yang  diterima sejak usia dini. Hal ini sesuai dengan penjelasan Cuncic (2021) bahwa dinamika  keluarga dan gaya pengasuhan berpengaruh signifikan dalam perkembangan impostor  syndrome pada anak-anak. Studi menyatakan anak yang memiliki latar belakang keluarga  dengan tingkat konflik yang tinggi namun dengan jumlah dukungan yang rendah cenderung  lebih mungkin mengalami sindrom tersebut. Selain itu, peralihan fungsi sosial baru serta  kepribadian anak diduga juga dapat berpengaruh. 

 

Impostor Syndrome 

Kurangnya keyakinan terhadap kemampuannya sendiri ternyata merupakan salah  satu indikator dari impostor syndrome. Bravata et al (2020) menjelaskan impostor syndrome  sebagai gambaran kondisi individu berprestasi tinggi yang, terlepas dari keberhasilan objektif  mereka, gagal untuk menginternalisasi pencapaian mereka dan memiliki keraguan diri yang  terus-menerus dan takut diketahui sebagai penipu. Cuncic (2021) juga menjelaskan impostor  syndrome sebagai istilah untuk pengalaman internal percaya bahwa dirinya tidak sekompeten  apa yang orang lain anggap atau percayai di mana biasanya lebih merujuk pada aspek  kecerdasan dan pencapaian. Jadi, sederhananya adalah perasaan sebagai seorang penipu,  tidak pantas berada pada tempat dirinya berada sekarang dan hanya sampai di titik tersebut  karena keberuntungan belaka, serta merasa seolah-olah akan ketahuan kapan pun. Istilah ini  sudah ada sejak 1970-an dan dapat mempengaruhi siapa pun tanpa memandang latar  belakang pendidikan, status sosial, tingkat keterampilan atau keahliannya. Terdapat beberapa  tanda umum ditemukan pada orang dengan sindrom ini di mana tanda yang pertama ialah ketidakmampuan menilai kemampuan dan kompetensi diri secara realistis serta sering mengaitkan keberhasilannya dengan faktor eksternal. Ia dapat membuat target yang sangat  menantang atau bahkan dapat disebut nyaris mustahil kemudian merasa kecewa ketika tidak  mencapainya. Individu juga sering kali meremehkan performanya dan meragukan dirinya. Putra (2021) menyatakan bahwa mereka cenderung merasa tidak layak mendapatkan prestasi  atau penghargaan tinggi yang telah mereka dapatkan. Selain itu, individu yang mengalami  impostor syndrome bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi harapan atau labeling yang  diberikan kepada mereka serta mencegah orang lain mengenali kekurangan atau  kegagalannya. Biasanya, individu dengan impostor syndrome memang cenderung  merupakan seseorang yang menunjukkan kinerja baik sehingga labeling yang diberikan  merupakan label seperti “cerdas”, “kompeten”, dan semacamnya. Bagi sebagian orang,  sindrom ini dapat memacu motivasi untuk berjuang mencapai sesuatu. Namun, sering kali  akhirnya datang dalam bentuk takut gagal dan rasa cemas yang terus-menerus mengenai  performa atau kinerjanya. Bahkan, individu tersebut juga cukup sensitif tidak hanya dengan  saran dan kritik, melainkan juga pada umpan balik positif atau pujian. 

 

Kendala yang sering dialami seseorang dengan sindrom ini adalah pengalaman  melakukan sesuatu dengan baik pun tidak serta-merta dapat langsung mengubah  kepercayaannya tersebut (Cuncic, 2021). Ditambah lagi, penelitian (dalam Sakulku, 2011) menunjukkan bahwa sekitar 70 sampai 80 persen masyarakat mengalami impostor syndrome atau impostor feeling pada beberapa titik dalam kehidupan mereka. Lantas, setelah  mengetahui impostor syndrome, terdapat beberapa langkah praktis yang dapat kita lakukan  untuk mengatasinya menurut Cuncic (2021), yakni: 

 

1. Membagikan Perasaan Kita 

Langkah pertama adalah membagikan perasaan kita dengan orang lain. Haden (2021)  menjelaskan bahwa individu dengan impostor syndrome cenderung memiliki pemahaman yang salah mengenai kesuksesan. Mereka merasa orang yang sukses cenderung memiliki  kualitas yang tidak dimiliki oleh dirinya seperti contohnya kepintaran, talenta, wawasan,  kemampuan, atau pun karena mereka memang “spesial”. Dengan bercerita, kita dapat  menemukan pemahaman yang salah tersebut atau setidaknya, kita tidak merasa seolah-olah  sendiri atau terisolasi dari lingkungan sekitar kita. Bercerita juga bisa membuat kita merasa  lebih lega dan meredakan kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2016) pada anak  pra-sekolah yang menjalani hospitalisasi menemukan bahwa terapi bercerita berdampak  sangat signifikan pada menurunnya tingkat kecemasan dan stres yang dialami. 

 

2. Kenali dan Hargai Kemampuan Diri 

Langkah kedua ialah mengenali dan menghargai kemampuan diri. Seseorang dengan  impostor syndrome cenderung mengevaluasi diri secara subyektif dengan menitikberatkan  hanya pada kelemahan dan pengalaman gagalnya. Dengan mulai mengenali diri dengan  obyektif, kita bisa belajar tidak hanya melihat kelemahan atau kegagalan saja namun  menyadari kelebihan dan kemampuan kita juga. Menurut Ika (2020), beberapa cara yang  dapat dilakukan oleh individu dengan impostor syndrome untuk mulai memutus rantai  pikiran yang meragukan kemampuan dirinya adalah dengan menuliskan hal-hal yang sudah berhasil dilakukan dan memberikan apresiasi terhadap diri (self-reward) sesederhana apa pun  pencapaiannya. Membicarakan perasaan ragu terkait keberhasilan dan ketidakmampuan diri  pada mentor atau orang yang dapat dipercaya pun bisa menjadi alternatif yang baik. 

 

3. Berhenti Membandingkan Diri 

Langkah berikutnya adalah berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Saripalli  (2021) menjelaskan bahwa individu dengan sindrom ini cenderung merasa perlu dan harus  berhasil dalam setiap tugas yang ia lakukan. Padahal, kenyataannya ialah setiap individu  tentunya memiliki keunikan masing-masing dan mustahil untuk bisa sempurna dalam segala  hal. Bahkan ketika orang lain tampak terlihat cakap dalam segala hal, seringkali ada kisah-kisah perjuangan yang tidak kita ketahui. Karena itu, kita bisa memberikan ruang penerimaan  diri untuk mempelajari suatu hal baru secara perlahan-lahan dengan memutuskan memaafkan diri kita atas pengalaman gagal yang kita rasakan atau memberikan apresiasi terhadap diri  pada setiap pencapaian target-target sederhana sekali pun. 

 

4. Jika Gangguan Mulai Signifikan, Cari Bantuan 

Meskipun tidak termasuk dalam klasifikasi gangguan jiwa, gejala impostor syndrome yang kuat sangat mungkin berdampak meluas pada area fungsi mental lainnya dan memicu  dikembangkannya gangguan mental lainnya seperti gangguan kecemasan, depresi, dan  lainnya (Winahyu, 2020). Karena itu, jangan ragu menghubungi psikolog untuk menerima  pertolongan lebih lanjut apabila sampai mengganggu aspek kehidupan sehari-hari. Nuning  (dalam Ika, 2020) menyatakan bahwa pemikiran keliru impostor syndrome yang kuat  memerlukan intervensi psikologis terstruktur seperti terapi kognitif behavioral yang  bertujuan memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan. Hal terpenting  yang perlu dipahami oleh setiap individu dengan impostor syndrome adalah pemahaman  bahwa hal yang paling utama bukan lah kesempurnaan melainkan melakukan yang terbaik  dalam segala hal. 

 

Penutup 

Perasaan cemas dan takut gagal sudah cukup umum dirasakan oleh sebagian besar  orang setidaknya pada beberapa titik dalam kehidupan mereka. Hal ini sering kali dipicu oleh adanya ekspektasi serta tuntutan secara langsung atau tidak langsung yang hanya lebih berfokus pada hasil akhir yakni keberhasilan bahkan kesempurnaan. Ketika individu sudah mulai meragukan, mempertanyakan, bahkan meremehkan kemampuannya walaupun sudah  berupaya melakukan yang terbaik sehingga merasa cemas dan takut gagal – beberapa tanda  dari impostor syndrome, ekspektasi dan tuntutan ini bisa menjadi begitu menyeramkan dan  menyiksa. Jika sedang berada dalam kondisi tersebut, carilah dukungan, kenali serta hargai  kemampuan kita, serta berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Ketika gangguan dirasa mulai signifikan, jangan ragu mencari pertolongan lebih lanjut kepada ahli atau  psikolog.

 

 

Referensi:

 

Bravata, D. M., Madhusudhan, D. K., Boroff, M., & Cokley, K. O. (2020). Commentary:  prevalence, predictors, and treatment of imposter syndrome: a systematic review. Diunduh dari https://www.mentalhealthjournal.org/articles/commentary-prevalence predictors-and-treatment-of-imposter-syndrome-a-systematic review.html#:~:text=Imposter%20syndrome%20is%20a%20condition,a%20fraud%20or%20imposter1.  

Cuncic, A. (2021). What is impostor syndrome?. Diunduh dari  https://www.verywellmind.com/imposter-syndrome-and-social-anxiety-disorder 4156469

Ginanti, A. R. (2018). Sejak tahun 2007, 11 murid meninggal karena UN. Depresi lalu bunuh  diri penyebab terbanyak. Diunduh dari  https://cewekbanget.grid.id/read/06864884/sejak-tahun-2007-11-murid-meninggal karena-un-depresi-lalu-bunuh-diri-penyebab-terbanyak?page=all

Ika. (2020). Psikolog UGM paparkan fakta impostor syndrome. Diunduh dari  https://www.ugm.ac.id/id/berita/20226-psikolog-ugm-paparkan-fakta-impostor syndrome

Putra, D. Y. M. (2021). Buat lo yang suka merasa gak pantes (cara mengatasi impostor  syndrome). Diunduh dari https://satupersen.net/blog/sering-merasa-gak-pantes impostor-syndrome

Putra, I. G. Y. (2016). Terapi bercerita berpengaruh terhadap kecemasan akibat hospitalisasi  pada anak pra sekolah. Jurnal Gema Keperawatan, 9(1), 1-8. 

Sakulku, J. (2011). The impostor phenomenon. The Journal of Behavioral Science, 6(1), 75– 97. 

Saripalli, V. (2021). You’re not a fraud. Here’s how to recognize and overcome imposter  syndrome. Diunduh dari https://www.healthline.com/health/mental-health/imposter syndrome

Tim BBC News Indonesia. (2019). Ujian sekolah yang menimbulkan korban jiwa di  berbagai negara dunia karena siswa yang ‘stres’. Diunduh dari  https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49005368

Tim CNN Indonesia. (2019). Saat siswa singapura stres karena tekanan akademik. Diunduh  dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190709105636-284-410417/saat siswa-singapura-stres-karena-tekanan-akademik\

Winahyu, A. I. (2020). Ini kata pakar tentang impostor syndrome. Diunduh dari  https://mediaindonesia.com/humaniora/354362/ini-kata-pakar-tentang-impostor syndrome