ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 20 Oktober 2022

The Glass Ceiling Effect: Lagi-lagi Perempuan yang “Mengalah”

 

Thalia Lunaadhara Isril & Ellyana Dwi Farisandy 

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Bias gender di dunia kerja bukan merupakan hal yang baru dan mengejutkan. Isu ini terjadi berulang kali dan belum juga menemukan titik terang. Bahkan, diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja tak hanya nampak pada proses rekrutmen dan seleksi saja, tetapi juga terjadi dalam pengembangan karier. Tak heran, data yang diungkap oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hingga tahun 2021, perempuan yang berada di posisi manajerial di dalam dunia kerja di Indonesia adalah sebesar 32,5%. Dengan kata lain, kesempatan perempuan untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan di dunia kerja jauh lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Benson et al. (2021) menemukan bahwa rata-rata perempuan menerima peringkat kinerja lebih tinggi daripada laki-laki, tetapi menerima peringkat 8,3% lebih rendah untuk potensi dipromosikan dibandingkan dengan laki-laki. Dengan begitu, karyawan perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil sekitar 14% untuk dipromosikan dibandingkan dengan laki-laki (Benson et al., 2021).

 

Menurut Dessler (2013), salah satu faktor terjadinya bias gender di dunia kerja adalah kekeliruan kebanyakan manajer perekrutan dengan kepercayaan bahwa perempuan akan lebih baik bekerja di rumah dan tidak berkomitmen pada karier. Tak hanya itu, bias gender juga nampak terjadi dalam pemberian upah perempuan, di mana upah perempuan masih jauh lebih rendah daripada upah yang diperoleh laki-laki dengan kualifikasi serta jabatan yang sama. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan data yang dilontarkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia yang menunjukkan bahwa perempuan memperoleh gaji yang lebih rendah hingga 20% dibandingkan dengan laki-laki (Audriene, 2021). Mungkin, hal itu disebabkan oleh anggapan bahwa laki-laki membutuhkan upah dengan jumlah yang lebih besar untuk menjadi kepala rumah tangga. Padahal, data yang diungkap oleh Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2021, dari sebanyak 87 juta kepala rumah tangga di Indonesia, sekitar 12 juta (14,15%) adalah perempuan. Sudah banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mencoba mengeksplorasi keberadaan perempuan di dunia kerja, tetapi selalu menunjukkan hasil yang sama, lagi-lagi perempuan yang “mengalah”.

 

Glass Ceiling

Rupanya, fenomena tersebut juga dikenal dengan istilah “glass ceiling”. Menurut Babic dan Hansez (2021)glass ceiling mengacu pada diskriminasi vertikal yang paling sering terjadi terhadap perempuan di perusahaan. Lebih lanjut, Babic dan Hansez (2021) menyimpulkan dari berbagai penelitian mengenai diskriminasi perempuan di tempat kerja bahwa glass ceiling dapat didefinisikan sebagai hambatan-hambatan kecil, tetapi berlangsung secara terus-menerus, yang mencegah perempuan naik ke posisi kekuasaan atau tanggung jawab dengan posisi yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi hanya karena mereka perempuan. Glass ceiling akan menghambat perempuan untuk naik ke anak tangga organisasi yang lebih tinggi, bahkan jika perempuan tersebut dapat dikatakan berprestasi dan terampil (Hejase & Dah, 2014). Oleh karena itu, glass ceiling akan memengaruhi perempuan terlepas dari tingkat pendidikan, pengalaman, dan keterampilan yang mereka miliki. Lalu, bagaimana saja bentuk glass ceiling atau hambatan bagi perempuan yang sampai saat ini masih terjadi di dunia kerja?

 

Dessler (2013) menyebutkan bentuk hambatan yang menyebabkan perempuan masih mengalami pengembangan karier yang relatif lebih sedikit dalam organisasi, diantaranya adalah perempuan yang dipromosikan harus mencapai peringkat kinerja yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memperoleh standar promosi yang lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, perempuan harus lebih proaktif daripada laki-laki hanya untuk dipertimbangkan untuk tugas-tugas yang lebih kompleks atau untuk dipromosikan. Lebih lanjut, kurangnya pendampingan terhadap karyawan perempuan dibandingkan dengan karyawan laki-laki juga menjadi salah satu bentuk glass ceilingyang terjadi di dunia kerja (Fosuah et al., 2017).

 

Dampak Glass Ceiling terhadap Perempuan

Sebagai fenomena yang terjadi secara langsung pada perempuan, maka dampak glass ceiling terhadap perempuan diantaranya adalah:

1.  Menyebabkan kelelahan mental pada perempuan di dunia kerja (Cox, 2021).

2.  Menurunkan self-esteem perempuan di dunia kerja (Tran, dalam Fosuah et al., 2017).

3.  Menurunkan kesejahteraan dan kepuasan kerja perempuan (Babic & Hansez, 2021; Fosuah et al., 2017).

4.  Menghentikan minat perempuan untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan organisasi (Fosuah et al., 2017).

5.  Memicu keinginan untuk berhenti bekerja dan berhenti berkomitmen pada organisasi (Babic & Hansez, 2021; Fosuah et al., 2017).

 

Tindakan yang Dapat Dilakukan

Berdasarkan dampak glass ceiling yang berpengaruh pada kesejahteraan perempuan di dunia kerja, berikut ini adalah beberapa tindakan yang dapat dilakukan:

 

1.      Perusahaan

Perusahaan dapat mengusahakan untuk menghilangkan anggapan-anggapan yang keliru mengenai stereotip terkait dengan kepemimpinan perempuan di dunia kerja, seperti perempuan lebih baik untuk bekerja di rumah dan tidak berkomitmen di organisasi (Somers, 2022). Selain itu, perusahaan juga dapat menciptakan dan memelihara lingkungan perusahaan yang mendorong perempuan untuk bercita-cita mencapai tingkat karier yang lebih tinggi dalam organisasi (Fosuah et al., 2017). Selanjutnya, perusahaan dapat membantu karyawan perempuan menemukan mentor untuk dijadikan panutan dan pendukung yang mereka butuhkan untuk membantu membimbing karier mereka (Dessler, 2013). Dan yang terpenting, perusahaan harus selalu mematuhi semua aturan dan/atau regulasi anti diskriminasi yang ada dalam proses promosi karyawan (Dessler, 2013).

 

2.      Pemerintah

Perusahaan juga dapat mempertegas aturan dan/atau regulasi terkait dengan anti diskriminasi, bias gender, dan perempuan di dunia kerja. Dengan begitu, maka pemerintah dapat bertindak tegas pada perusahaan yang masih melakukan glass ceiling pada perempuan (Dessler, 2013; Fosuah et al., 2017).

 

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fenomena glass ceiling masih kerap terjadi pada organisasi di Indonesia. Glass ceiling yang berdampak pada keberadaan perempuan di dunia kerja biasanya terjadi dalam bentuk hambatan-hambatan yang mempersulit perempuan untuk mengembangkan kariernya di organisasi. Tak hanya mempersulit perempuan, glass ceiling juga berdampak pada kelemahan mental perempuan, hingga memicu keinginan perempuan untuk berhenti bekerja. Oleh karena itu, mengacu pada banyaknya glass ceiling yang masih kerap terjadi pada perusahaan di Indonesia, maka perusahaan harus lebih sadar akan aturan dan/atau regulasi mengenai perempuan dan anti diskriminasi, dan juga mengusahakan untuk menghilangkan anggapan-anggapan keliru mengenai kepemimpinan perempuan di perusahaan. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan penegasan terkait dengan aturan dan/atau regulasi terkait dengan keberadaan perempuan di dunia kerja.

 

 

REFERENSI:

 

Audriene, D. (2021, March 14). Sri Mulyani: Gaji perempuan lebih rendah 20 persen dari pria. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210314091722-532-617188/sri-mulyani-gaji-perempuan-lebih-rendah-20-persen-dari-pria

Babic, A., & Hansez, I. (2021). The glass ceiling for women managers: Antecedents and consequences for work-family interface and well-being at work. Frontiers in Psychology12(March), 1–17. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.618250

Badan Pusat Statistik. (2021a). Persentase rumah tangga menurut provinsi, daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin kepala rumah tangga, 2009-2021. https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/19/1604/persentase-rumah-tangga-menurut-provinsi-daerah-tempat-tinggal-dan-jenis-kelamin-kepala-rumah-tangga-2009-2021.html

Badan Pusat Statistik. (2021b). Tingkat proporsi perempuan yang berada di posisi managerial menurut provinsi 2019-2021. https://www.bps.go.id/indicator/40/2003/1/tingkat-proporsi-perempuan-yang-berada-di-posisi-managerial-menurut-provinsi.html

Benson, A., Li, D., & Shue, K. (2021). “Potential” and the gender promotion gap (Vol. 31). https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjfmsGb8477AhUsBLcAHQxcBFgQFnoECA8QAQ&url=https%3A%2F%2Fdanielle-li.github.io%2Fassets%2Fdocs%2FPotentialAndTheGenderPromotionGap.pdf&usg=AOvVaw0bYMPdcsWFxSNtJmzCQsHa

Cox, J. (2021, October 9). Sejumlah alasan di balik tren perempuan yang lebih berpotensi alami kelelahan mental ketimbang laki-laki. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-58839304

Dessler, G. (2013). Human resource management (13th ed.). Pearson.

Fosuah, J., Agyedu, G. O., & Gyamfi, E. O. (2017). Causes and effects of “glass ceiling” for women in public institutions of the Ashanti Region, Ghana. The International Journal of Business & Management5(10). https://www.researchgate.net/publication/320857047_Causes_and_Effects_of_%27Glass_Ceiling%27_for_Women_in_Public_Institutions_of_the_Ashanti_Region_Ghana

Hejase, A., & Dah, A. (2014). An assessment of the impact of sticky floors and glass ceilings in Lebanon. Procedia - Social and Behavioral Sciences109(2012), 954–964. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.571

Somers, M. (2022). Women are less likely than men to be promoted. Here’s one reason why. Management Sloan School. https://mitsloan.mit.edu/ideas-made-to-matter/women-are-less-likely-men-to-be-promoted-heres-one-reason-why