ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 19 Oktober 2022
Tiga Pendekatan Dalam Teori Emotional Inteligence
Oleh:
Aries Yulianto
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Emotional intelligence atau kecerdasan emosional merupakan konsep telah muncul di tahun 1990-an dan masih sering diteliti hingga sekarang. Emotional intelligence telah banyak didefinisikan oleh sejumlah ahli. Blickle et al., (2011) mengatakan topik kecerdasan emosional semakin populer diantara praktisi seperti Dainel Goleman dan diantara peneliti (misalnya Salovey dan Mayer). Meskipun sebenarnya konsep emotional intelligence telah dikemukakan oleh Wayne Payne di tahun 1986 melalui disertasi doktoralnya yang berjudul “A study of emotion, developing emotional intelligence: self-integration; relating to fear, pain,and desire” (Ashkanasy & Daus, 2005). Higgs (2004) membagi tiga pendekatan terhadap kecerdasan emosional, yaitu kemampuan (oleh Mayer dkk), kompetensi (oleh Goleman), dan faktor personal (oleh Bar-On, serta Dulewicz dan Higgs). Perbedaan pendekatan ini membuat perdebatan yang memanas diantara pendukung masing-masing pihak (Higgs, 2004). Berikut ini pemaparan singkat mengenai masing-masing pendekatan.
1. Kecerdasan emosional sebagai kemampuan
Salovey dan Mayer dianggap yang pertama kali memperkenalkan konsep kecerdasan emosional di tahun 1990 sebagai sebuah kemampuan yang menjadi bagian dari social intelligence. Salovey dan Mayer (1990)mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang untuk memonitor perasaan serta emosi diri sendiri dan orang lain, untuk mendiskriminasi emosi-emosi tersebut, dan untuk menggunakan informasi tersebut untuk mengarahkan pikiran dan tindakannya. Dari definisi ini diketahui ada tiga domain kemampuan yang terpisah namun terkait satu sama lain, yaitu evaluasi dan ekspresi emosi, regulasi emosi, dan menggunakan emosi dalam pengambilan keputusan. Mayer et al. (2008) mendefinisikan kembali kecerdasan emosional dengan memberikan penekanan kepada penalaran mengenai emosi, yaitu “as an ability to carry out accurate reasoning about emotions and the ability to use emotions and emotional knowledge to enhance thought”. Menurut (Mayer et al., 2008), kecerdasan emotional memiliki empat dimensi, yaitu: (a) perceiving emotion, (b) using emotions to facilitate thought, (c) understanding emotion, dan (d) managing emotion. Alat ukur yang paling terkemuka dan komprehensif untuk mengukur kecerdasan emosional sebagai kemampuan adalah Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test – MSCEIT (Siegling et al., 2015). Pada MSCEIT, misalnya pengukuran dimensi perceiving emotion dengan memberikan sejumlah foto wajah lalu peserta diminta untuk menentukan emosi apa yang ditampilkan pada wajah tersebut.
2. Kecerdasan emosional sebagai kompetensi
Tidak lama setelah publikasi Salovey dan Mayer pada tahun 1990, Daniel Goleman menerbitkan buku “Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ” pada tahun 1995 (Ashkanasy & Daus, 2005). Goleman mempopulerkan istilah kecerdasan emosional di bidang manajemen organisasi. Meskipun mengajukan definisi yang mirip dengan Salovey dan Mayer, Goleman melihat kecerdasan sebagai sebuah kompetensi (Richter, 2006). Menurut Goleman, (1998), kecerdasan emosional merupakan “the capacity for organizing our own feelings dan those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions well in ourselves and in our relationships”. Untuk pengukuran kecerdasan emosional sebagai kompetensi digunakan Emotional Competence Inventory – ECI (Conte, 2005). Pengukuran ECI dilakukan dengan 360 derajat, melalui self-rating dan other rating, yang mengukur kecerdasan emosional ke dalam klaster, yaitu: self-awareness, self-management, social awareness, dan relationship management (Hay Group & McClelland Center for Research and Innovation, 2005). Namun, sejumlah peneliti menemukan adanya tumpang tindih antara isi dari ECI dengan empat dimensi dari big five personality (Conte, 2005).
3. Kecerdasan emosional sebagai kepribadian
Berbeda dengan Salovey dan Mayer serta Goleman, Bar-On melihat kecerdasan emosional berkaitan dengan sejumlah kemampuan atau keahlian non kognitif yang mempengaruhi kapasitas seseorang untuk menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Konsep Bar-On ini diperkenalkan pada tahun 1997. Sebenarnya pemikiran Bar-On didasari oleh konsep Goleman mengenai kecerdasan emosional (Ashkanasy & Daus, 2005). Bar-On mengatakan “emotional-social intelligence is a cross-section of interrelated emotional and social competencies, skills and facilitators that determine how effectively we understand and express ourselves, understand others and relate with them, and cope with daily demands” (Bar-On, 2006). Pendekatan Bar-on ini disebut juga mixed model (Blickle et al., 2011). Emotional Quotient Inventory (EQ-i)merupakan alat ukur yang didasarkan oleh pendekatan Bar-On yang mengukur kecerdasan emosional ke dalam lima klaster, yaitu: Intrapersonal, Interpersonal, Stress Management, Adaptability, dan General Mood. EQ-i terdiri dari 133 pernyataan lapor diri dengan skala Likert dari nilai 1 - not true for me hingga 5 - true of me (Bar-On, 2006).
Dengan pendekatan yang sama, Dulewicz dan Higgs (2000) menyatakan ada tujuh karakteristik atau faktor pribadi dari kecerdasan emosional, yaitu self-awareness, emotional resilience, motivation, inter-personal sensitivity, influence, intuitiveness, dan conscientiouness. Pengukuran konsep ini menggunakan Emotional Intelligence Questionnaire (EIQ) yang mengukur ketujuh karakteristik tersebut melalui self-report (Dulewicz et al., 2003).
Pendekatan kecerdasan emosional yang lebih baru diajukan oleh Petrides yang mengatakan bahwa “trait emotional intelligence refers to a constellation of emotion-related self-perceptions and dispositions located at the lower levels of personality hierarchies” (Petrides et al., 2007). Konsep ini disebut juga trait emotional self-efficacy karena mengenai persepsi diri individu mengenai kemampuan emosional mereka (Siegling et al., 2015). Pengukuran menggunakan Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue) yang mengukur empat faktor, yaitu: Emotionality, Sociability, Self-control, dan Well-being.
Kesimpulan
Demikian pemaparan tiga pendekatan dalam kecerdasan emosional. Bagi peneliti yang hendak meneliti mengenai kecerdasan emosional agar dapat memilih salah satu dari pendekatan tersebut agar konsep dan pengukuran yang digunakan tidak keliru. Misalnya, menggunakan pendekatan kemampuan dalam kecerdasan emosional menuru Salovey dan Mayer, namun mengunakan pengukuran dengan self-report. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan tambahan informasi mengenai pendekatan dalam kecerdasan emosional.
Referensi:
Ashkanasy, N. M., & Daus, C. S. (2005). Rumors of the death of emotional intelligence in organizational behavior are vastly exaggerated. Journal of Organizational Behavior, 26(4), 441–452. https://doi.org/10.1002/job.320
Bar-On, R. (2006). The Bar-On model of emotional-social intelligence (ESI). Psicothema, 18, 13–25. https://www.psicothema.com/pdf/3271.pdf
Blickle, G., Momm, T., Liu, Y., Witzki, A., & Steinmayr, R. (2011). Construct Validation of the Test of Emotional Intelligence (TEMINT). European Journal of Psychological Assessment, 27(4), 282–289. https://doi.org/10.1027/1015-5759/a000075
Conte, J. M. (2005). A review and critique of emotional intelligence measures. Journal of Organizational Behavior, 26(4), 433–440. https://doi.org/10.1002/job.319
Dulewicz, V., & Higgs, M. (2000). Emotional intelligence – A review and evaluation study. Journal of Managerial Psychology, 15(4), 341–372. https://doi.org/10.1108/02683940010330993
Dulewicz, V., Higgs, M., & Slaski, M. (2003). Measuring emotional intelligence: content, construct and criterion‐related validity. Journal of Managerial Psychology, 18(5), 405–420. https://doi.org/10.1108/02683940310484017
Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence. Bloomsbury.
Hay Group, & McClelland Center for Research and Innovation. (2005). Emotional Competence Inventory (ECI): Technical manual. https://www.eiconsortium.org/pdf/ECI_2_0_Technical_Manual_v2.pdf
Higgs, M. (2004). A study of the relationship between emotional intelligence and performance in UK call centres. Journal of Managerial Psychology, 19(4), 442–454. https://doi.org/10.1108/02683940410537972
Mayer, J. D., Roberts, R. D., & Barsade, S. G. (2008). Human Abilities: Emotional Intelligence. Annual Review of Psychology, 59(1), 507–536. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.59.103006.093646
Petrides, K. V., Pérez-González, J. C., & Furnham, A. (2007). On the criterion and incremental validity of trait emotional intelligence. Cognition and Emotion, 21, 26–55.
Richter, L. (2006). Emotional intelligence at work: An interview with Daniel Goleman. Public Libraries, 45(1), 24–28.
Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional Intelligence. Imagination, Cognition and Personality, 9(3), 185–211. https://doi.org/10.2190/DUGG-P24E-52WK-6CDG
Siegling, A. B., Saklofske, D. H., & Petrides, K. V. (2015). Measures of Ability and Trait Emotional Intelligence. In Measures of Personality and Social Psychological Constructs (pp. 381–414). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-386915-9.00014-0