ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 19 Oktober 2022

Game Of Thrones Di Menara Gading: Faktor Kekuasaan Dalam Praktik Akademik Di Universitas

 

Oleh:

Made Syanesti Adishesa

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Universitas adalah sebuah organisasi. Sebuah organisasi memiliki struktur, yang artinya ada pembagian kekuasaan dan wewenang. Meski pernyataan ini terkesan kentara, dampaknya sering kali terlupakan dalam pengelolaan universitas. Tidak jarang pembicaraan tentang kekuasaan, politik, dan hubungan atasan-bawahan, dianggap sebagai topik yang tidak nyaman didiskusikan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, mungkin saja kita merasa sebagai orang-orang 'spesial' yang berpikiran terbuka, menjunjung tinggi sistem merit-based, dan nilai-nilai egaliterianisme. Tidak banyak literatur ilmiah yang membahas mengenai nuansa politik dalam pengelolaan universitas (Ordorika, 2003). Oleh karena itu, pembicaraan mengenai politik dan kekuasaan seharusnya dipisahkan dari dunia akademik. Tapi benarkah demikian?

 

Dalam sejarah pendiriannya, sebuah universitas sendiri tidak lepas dari pengaruh politik. Sejak dulu, universitas memiliki andil besar dalam membuat perubahan sosial dan reformasi (Ordorika, 2003). Mengingat potensi dampak yang dimiliki oleh sebuah universitas, maka tidak heran pimpinan universitas sebagai pemegang kuasa tertinggi dapat menjadi posisi yang menguntungkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pihak-pihak yang berambisi tinggi dan menyalahgunakan kekuasaan tentu dapat memanfaatkan celah dalam sistem. Sebagai sebuah organisasi, universitas juga tidak luput dari insiden penyalahgunaan kekuasaan. Dalam praktik akademik yang menjunjung tinggi kebenaran pun, kekuasaan dapat digunakan untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Beberapa orang kolega dan saya berkolaborasi dalam sebuah penelitian analisis diskursus mengenai faktor kekuasaan dalam penyangkalan tuduhan plagiarisme (Putra, Jazilah, Adishesa, et al, 2022). Kami menemukan bahwa di ketiga kasus yang kami pelajari, tuduhan plagiarisme muncul saat situasi perebutan kekuasaan (pemilihan rektor). Selain itu, kekuasaan juga pernah digunakan untuk membuat investigasi terpisah yang akhirnya menguntungkan pihak tertuduh. Dari hasil penelitian ini kami menyimpulkan bahwa meski praktik academic misconduct seperti plagiarisme pun tidak luput dari diskusi tentang kekuasaan dan politik.

 

Pembicaraan tentang politik di dunia kampus juga tidak saya dengar dalam konteks publikasi saja, melainkan juga dalam konteks kenaikan jabatan. Sering kali dibicarakan dengan berbisik dan tersembunyi, banyak rumor beredar di kalangan para akademisi bahwa kenaikan jabatan akademik dan penilaian kinerja dosen turut dipengaruhi oleh kekuasaan politik. Di tahun 2019 misalnya, beredar berita seorang dosen yang ditolak kenaikan jabatannya karena merasa ada pihak pimpinan universitas yang tidak menyukai pandangan politiknya (Nurita, 2019). Terlepas dari investigasi yang masih berlangsung, hal ini membuktikan bahwa para anggota akademisi sendiri berpandangan bahwa politik dan kekuasaan merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan universitas.

 

Lantas apa yang dapat dilakukan oleh para akademisi di tengah situasi ini? Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa politik dan kekuasaan merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan universitas. Banyak yang bisa kita pelajari dari proses yang transparan dan akuntabel seperti diterapkan dalam lembaga pemerintahan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih lagi kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan transparansi dan pencatatan resmi dalam sistem. Sebagai contoh, baru-baru ini sistem kenaikan jabatan akademik tidak lagi diproses oleh pimpinan universitas melainkan langsung dilaporkan melalui sistem yang terintegrasi dengan kementrian melalui SIJALI (Sistem Informasi Jabatan Akademik LLDIKTI Wilayah III). Meski belum diberlakukan di seluruh Indonesia, sistem seperti ini dapat meningkatkan transparansi dan meminimalisasi kemungkinan pengaruh politik dalam kenaikan jabatan. 

 

Demikian pula dengan proses investigasi plagiarisme. Meski secara de facto telah ada peraturan hukum yang mendefinisikan plagiarisme dan menjelaskan sanksinya, hal ini perlu diimbangi dengan keberadaan tim investigasi independen yang tidak dapat diganggu gugat keputusannya. Tentu saja hal ini perlu diimbangi dengan kesadaran dari kita sendiri, para penulis akademik, sebagai ujung tombak dari inovasi dan progres, 

 

 

Referensi:

 

Nurita, D. (2019, August 1). Ade Armando Klaim Ditolak Jadi Guru Besar Ui Karena soal etika. Tempo. Retrieved October 4, 2022, from https://nasional.tempo.co/read/1230956/ade-armando-klaim-ditolak-jadi-guru-besar-ui-karena-soal-etika

 

Ordorika, Imanol. (2003). Power and Politics in University Governance: Organization and Change at the Universidad Nacional Autónoma de Mexico. RoutledgeFalmer: New York. 10.13140/2.1.1825.1046.

 

Putra, I.E., Jazilah, N.I., Adishesa, M.S. et al. Denying the accusation of plagiarism: power relations at play in dictating plagiarism as academic misconduct. Higher Education (2022). https://doi.org/10.1007/s10734-022-00875-z