ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 19 Oktober 2022
Bagaimana Kita Takut Kehilangan Momen?
Oleh:
Efrata Laura, Maria Quinina Kintary Dwanisephine Wijaya, & Laila Meiliyandrie Indah Wardani
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Istilah FOMO sudah tidak asing lagi didengar terutama pada abad ke-21 ini dengan perkembangan zaman yang canggih dan serba digital. FOMO sendiri merupakan istilah unik yang diperkenalkan pada tahun 2004 dan semakin banyak digunakan sejak tahun 2010 untuk menggambarkan sebuah fenomena yang banyak ditemukan di situs jejaring sosial. Perkembangan media sosial yang sangat pesat sejak tahun 2000an telah banyak mengakibatkan individu-individu mengalami masalah ini. Misalnya Facebook yang terbuka untuk umum pada tahun 2005 telah memiliki lebih dari 2 milyar pengguna aktif. Hal yang sama terjadi pada aplikasi Instagram yang diluncurkan pada tahun 2010 dan telah mencapai titik yang sama dengan Facebook pada tahun 2018. Seiring dengan perkembangan media sosial yang semakin banyak digunakan, ditemukan juga tingkat orang dewasa yang melaporkan gejala-gejala depresi mayor meningkat hinggal lebih dari 50%, terutama setelah masa pandemi yang semakin memperburuk keadaan kesehatan mental individu di dunia. Media sosial membesar-besarkan siapa kita namun tidak sebenarnya. Sehingga, media sosial dapat meningkatkan FOMO para penggunanya dengan justru menyiarkan semua yang kita lewatkan.
Apakah itu FOMO?
Para psikologis yang berasal dari Inggris mendefinisikan FOMO sebagai “perasaan ketakutan yang meluas bahwa orang lain mungkin mengalami pengalaman berharga sementara individu tersebut tidak mengalaminya” (Gupta & Sharma, 2021). FOMO juga dapat didefinisikan sebagai perasaan atau persepsi seseorang bahwa orang lain memiliki kehidupan yang lebih menyenangkan dan lebih baik, atau mendapatkan pengalaman yang lebih baik dibandingkan dirinya sendiri (Zhang et al, 2020). FOMO melingkupi perasaan iri yang mendalam dan dapat mempengaruhi harga diri seseorang tersebut. FOMO dapat ditandai dengan keinginan untuk tetap secara terus-menerus terhubung dengan apa yang dilakukan oleh orang lain.
Bagaimana FOMO terjadi?
Sejak perkembangan sosial media yang kini menjangkau seluruh belahan bumi, FOMO menjadi semakin terlihat nyata terjadi pada banyak orang. Kehidupan banyak orang yang dapat dengan mudah terlihat melalui sosial media menyebabkan kita lebih mudah untuk membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain yang kita lihat melalui media sosial. Sehingga, pandangan kita mengenai apa yang kita anggap sebagai kehidupan yang “normal” menjadi tergeser dan kita menganggap bahwa apa yang kita lakukan atau kehidupan kita lebih buruk dibandingkan kehidupan orang lain yang kita lihat di media sosial. Misalnya, ketika kita melihat foto atau story di Instagram yang diunggah oleh teman kita yang sedang berlibur dan terlihat sangat senang, atau ketika kita melihat postingan teman kita yang membagikan momen ketika dia mengikuti event atau konser dan terlihat sangat antusias, sementara kita hanya berdiam diri di kamar dan tidak punya momen apapun yang kita rasa sebanding dengan apa yang kita lihat dialami oleh teman-teman kita, hal ini menyebabkan kita merasa tertinggal dari kehidupan orang lain. Ketakutan akan terjadinya ketertinggalan terhadap momen yang dialami oleh orang lain adalah FOMO.
FOMO dari Teori Inferiority Complex
Teori “Inferiority Complex” merupakan teori yang diciptakan oleh psikologis asal Wina yang bernama Alfred Adler (1870-1937), salah satu dari sekian banyak psikoanalisis yang akhirnya meninggalkan teori Freud dan penekanannya yang berlebihan terhadap dorongan bawah sadar (libidinous) (Griffith & Maybel, 2020). Adler mempercayai bahwa kita diatur baik oleh kekuatan bawah sadar dan yang sadar (meliputi lingkungan sosial dan harapan terhadap masa depan). Hal ini mendorong Adler untuk mengembangkan psikologi Individu sebagai sebuah pendekatan psikoterapi yang mengakui individu sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan (Sweeney, 2019).
Adler menjelaskan bahwa dorongan utama dari umat manusia adalah kekuatan, yang bertujuan untuk mencapai pengakuan dan superioritas sosial (Adler, 2020). Manusia secara alami membandingkan dirinya dengan orang lain, dan berusaha untuk mencapai apa yang diyakini oleh masyarakat sebagai “berhasil”. Ketika seseorang merasa bahwa ia tidak dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap dirinya (atau apa yang diyakininya sebagai harapan masyarakat terhadapnya), disinilah kompleks inferioritas (Complex inferiority) muncul. Meskipun complex inferiorty terkesan negatif, namun sebenarnya complex inferiorityadalah sebuah mekanisme alami yang beroperasi dalam diri manusia dengan tujuan uantuk membawa individu tersebut menuju kemajuan. Namun demikian, jika complex inferiority terjadi pada harapan yang tidak realistis dan diabaikan, maka hal ini dapat menyebabkan suatu perilaku yang patologis.
Perasaan inferior bukanlah sebuah penyakit, namun berupa stimulan yang mendorong manusia untuk berusaha dan berkembang secara sehat dan normal. Perasaan inferioritas menjadi patologis apabila perasaan ini tidak terkendali sehingga alih-alih mendorong individu untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat, perasaan tersebut justru menimbulkan rasa tertekan dan tidak mampu berkembang (Hugo, Fouché, & Naidoo, 2020).
Perkembangan zaman yang diiringi oleh perkembangan tekonologi yang berkembang sangat pesat menyebabkan setiap orang dapat mengakses informasi dari belahan dunia manapun dengan cepat dan mudah. Sekarang, kita dapat melihat dengan mudah berita dimana seorang anak muda menjadi seorang miliuner di belahan bumi lain. Atau dengan kata lain, melalui berbagai platform media sosial yang ada, kita secara berulang-ulang terpapar oleh superioritas dalam berbagai cara. Mulai dari foto dan video orang-orang yang berlibur secara mewah, orang-orang yang memamerkan mobil mewahnya, orang-orang yang mengikuti konser musik dari penyanyi terkenal, hingga konten-konten mengenai orang-orang yang sangat sukses, keseluruhan konten ini dapat kita akses secara mudah.
Hal ini menjadikan kita merasa rendah diri, kita dipenuhi dengan kata-kata “seharusnya” dan merasa bahwa entah bagaimana kita dikucilkan oleh hal-hal baik yang dialami orang lain namun tidak kita alami dalam hidup. Otak kita masih terprogram untuk menganggap bahwa orang yang kita lihat kehidupannnya seharusnya sama dengan kita. Dengan setiap pengingat dari konten-konten “Superior” ini, kita semakin diyakinkan oleh perasaan inferior kita. Kita terkadang tidak memiliki kemampuan alami untuk memahami bahwa apa yang kita tidak selalu harus menjadi apa yang kita lihat dalam orang lain. Hal ini terutama diperburuk oleh adanya validasi sosial berupa likes, retweets, shares, dll yang semakin menyebarkan superioritas. Kita menjadi berpikir, “Jika orang lain berpikir bahwa A itu kaya, keren, dan bahagia dalam hidupnya karena membeli mobil mewah, bukan aku juga seharusnya membeli mobil mewah?” Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa complex inferiority yang bersifat patologis dapat mendorong fenomena FOMO semakin luas.
REFERENSI:
Adler, A. (2020). Understanding Human Nature: The Psychology Of Personality. General Press.
Griffith, J., & Maybell, S. A. (2020). Adler's original contributions to psychology. The Journal of Individual Psychology, 76(1), 21-30. Doi: 10.1353/jip.2020.0012
Gupta, M., & Sharma, A. (2021). Fear of missing out: A brief overview of origin, theoretical underpinnings and relationship with mental health. World Journal of Clinical Cases, 9(19), 4881. Doi: 10.12998/wjcc.v9.i19.4881
Hugo, Q., Fouché, P. J. P., & Naidoo, P. (2020). Eugène Nielen Marais: An Adlerian Psychobiography. Thesis for Master of Psychology, Department of Psychology, Faculty of The Humanities, University of the Free State.
Sweeney, T. J. (2019). Alderian Counseling and Psychotherapy. 6th Edition. Routledge. Doi: 10.4324/9781351038744.
Zhang, Z., Jiménez, F. R., & Cicala, J. E. (2020). Fear of missing out scale: A self‐concept perspective. Psychology & Marketing, 37(11), 1619-1634. Doi: 10.1002/mar.21406