ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 17 September 2022

Sayap Yang Patah: Proses Memulihkan Diri Dari Patah Hati Dengan Pemaafan 

 

Oleh:

Bahjatul Arafah & Fuad Nashori

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia

 

Kata patah hati kerap kali digaungkan ketika seseorang sedang mengalami putus cinta. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), putus cinta diartikan sebagai tidak ada hubungan lagi atau berpisah dengan orang yang dicintai. Salah satu tokoh yang mengalami patah hati dan menggambarkan dengan sangat indah dalam puisinya adalah Kahlil Gibran (2021). Hati terjatuh dan terluka/Merobek malam menoreh seribu duka/Kukepakkan sayap – sayap patahku/ Mengikuti hembusan angin yang berlalu/Menancapkan rindu/Di sudut hati yang beku/Dia retak, hancur bagai serpihan cermin/Berserakan/Sebelum hilang diterpa angin/Sambil terduduk lemah kucoba kembali mengais sisa hati/Bercampur baur dengan debu/ Ingin kurengkuh/ Kugapai kepingan di sudut hati/Hanya bayangan yang ku dapat/Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya. Seorang penyanyi Indonesia, Didi Kempot, menyebutnya dalam sebuah lagu dengan istilah yang sangat populer, yaitu ambyar (hancur berkeping-keping). Putus cinta atau juga kegagalan dalam menjalin suatu hubungan cinta disebabkan oleh beberapa hal, seperti ketidakcocokan, perbedaan visi-misi, masalah komunikasi, kehadiran orang ketiga, hingga ketidakinginan berkomitmen ke jenjang yang lebih serius. 

 

Putus cinta kadang dianggap hal yang wajar pada sebagian orang, sehingga seringkali orang-orang mengabaikan sisi psikologis individu yang sedang mengalami putus cinta. Padahal ketika individu tidak mampu mengolah emosinya, dampak yang dialami oleh putus cinta bisa sampai pada level depresi atau bahkan bunuh diri. Oleh karenanya ketika seseorang mengalami putus cinta mereka tidak boleh diabaikan sisi psikologisnya. Menurut Simpson (Collins & Gillath, 2012), kehilangan pasangan dalam suatu hubungan adalah salah satu peristiwa yang paling traumatis dan menyedihkan dalam hidup. 

 

Salah satu akibat putus cinta yang tidak bisa dihindari adalah jika salah seorang di antaranya sulit menerima perpisahan karena mempunyai kedalaman afeksi dalam hubungan romantisnya, mempunyai harapan yang tinggi dengan pasangan atau pemutusan secara sepihak. Gagal move on adalah kata yang akrab untuk menggambarkan keadaan di mana seseorang belum dapat melupakan orang yang pernah dekat dengannya (Rahardjo dkk, 2015). Proses untuk bangkit dari kegagalan cinta setiap individu berbeda-beda. Tidak semua kejadian yang kita alami dapat diterima dengan mudah. Rasa sakit kehilangan orang yang kita cintai menyebabkan kesedihan makin mendalam dan lebih rumit. Perpisahan bisa sangat menyakitkan karena itu mewakili kehilangan bukan hanya pada suatu hubungan tetapi juga impian dan komitmen yang telah dibagikan dengan pasangan.

 

Rumondor (2013) menyebutkan pemutusan hubungan intim terkait dengan grief dan rasa kehilangan akan dukungan emosional yang didapat dari hubungan. Oleh karena itu, proses putus cinta juga dapat ditinjau dari proses grieving. Salah satu teori yang populer dalam menjelaskan proses grieving adalah teori Elisabeth Kubler-Ross. Kübler-Ross (1988) mengembangkan teori mengenai lima tahapan kesedihan (five stages of grief). Tahapan ini awalnya dikembangkan dari kehilangan seseorang karena kematian. Teori ini diperluas sehingga dapat menjelaskan kehilangan pasangan akibat putus hubungan cinta. Tahapan-tahapan ini tidak selalu berurutan dan tidak harus selalu ada. Beberapa orang tidak mengalami tahap tertentu. Perasaan yang berkaitan dengan kelima tahap dapat dialami secara berganti-ganti. 

 

Kubler-Ross (1988) menjelaskan lima tahapan kesedihan. Tahap pertama, penyangkalan (denial), yaitu saat seseorang menyangkal bahwa hubungannya sudah berakhir. Tahap kedua, marah (anger), yaitu ketika penyangkalan sudah tidak tertahankan, akan digantikan dengan rasa marah, gusar, cemburu dan benci. Timbul pertanyaan “kenapa aku?” dan mudah tersinggung oleh perilaku orang lain di sekitarnya. Tahap ketiga, tawar-menawar (bargaining). Pada tahap ini, seseorang meninggalkan kemarahan dan menggantinya dengan strategi lain, yaitu dengan menukar perilaku baik dengan keadaan yang baik. Bentuk menawar biasanya merupakan perjanjian dengan Tuhan. Tahap keempat, depresi (depression), yaitu saat seseorang menyadari bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari pemutusan hubungan yang terjadi. Kesadaran ini biasanya diikuti dengan bukti bahwa hubungan tidak dapat diselamatkan. Pada tahap ini biasanya seseorang merasa sulit makan, sulit memusatkan perhatian dan menghindari situasi yang tidak nyaman. Tahap kelima, penerimaan (acceptance), yaitu ketika individu merasa terlalu lemah untuk marah dan sudah terbiasa dengan pikiran mengenai patah hati sehingga tidak merasa depresi. Pada tahap ini seseorang merasa damai dan menggunakan waktunya untuk berbagai kegiatan baru. Tahapan-tahapan ini tidak selalu dialami secara berurutan. Beberapa orang tidak pernah mengalami tahap tertentu. Semua perasaan yang berkaitan dengan kelima tahap tersebut dapat dialami secara berganti-ganti, misalnya seorang yang sedang marah juga dapat mengalami penyangkalan.

 

Serangkaian proses memulihkan dari patah hati tentunya tidak lepas dari rasa dendam, marah kecewa dan emosi negatif lainnya. Pemaafan adalah salah satu alternatif untuk menyembuhkan luka hati akibat putus cinta. Rahmasari (2020) menyatakan bahwa forgiveness memiliki manfaat untuk melepaskan rasa marah, dendam dan nyeri akibat perlakukan orang lain. Worthington dkk (2005) juga menunjukkan pemaafan menjadikan orang tidak mudah tersinggung. Beberapa hal yang dilepaskan pada proses forgiveness merupakan emosi negatif yang dimiliki individu. Hal ini menunjukkan forgiveness dilakukan dengan tujuan untuk melepaskan emosi negatif akibat konflik dengan orang lain. Ketika individu mampu menjauhkan diri secara psikologis dari pengalaman tidak menyenangkan, maka hal-hal yang mampu menimbulkan kenangan bisa menjadi berkurang (Noreen & MacLeod, 2020). Individu akan menjadi lebih optimal ketika fokus ke aktivitas lain yang menjadi tanggung jawabnya.

 

 

REFERENSI:

 

Collins, J., T.& Gillath, O. (2012) Attachment, breakup strategies, and associated outcomes: The effects of security enhancement on the selection of breakup strategies. Journal of Research in Personality 46, 210–222.

 

Gibran, K. (2021). Sayap-sayap patah. Gramedia.

 

Kubler-Ross, E. (1998). On death and dying: Kematian sebagai bagian kehidupan. Gramedia Pustaka Utama.

 

Noreen S. & MacLeod, D. M. (2020). Moving on or deciding to let go? A pathway exploring the relationship between emotional and decisional forgiveness and intentional forgetting. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 47(2), 295–315. 

 

Rahardjo., W. Nurshafitri, D., Atlanti, F., Karim, I., Afiatin, M., & Desima, N. (2015). Tak Bisa Pindah Ke Lain Hati: Peran Orientasi Perspektif Waktu Masalalu Negatif Pada Individu yang Pernah Terlibat Hubungan Romantis. Prosiding PESAT (Psikologi, Ekonomi. Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil). Universitas Gunadarma. Vol. 6, Oktober ISSN: 1858-2559

 

Rahmasari, D. (2020). Self-Healing Is Knowing Your Own Self. Unesa University Press

 

Rumondor. B. C. Pingkan (2013). Gambaran Proses Putus Cinta Pada Wanita Dewasa Muda Di Jakarta: Sebuah Studi Kasus. Humaniora, 4(1), 28-36

 

Worthington Jr, E.L, van Oyen, C., Lerner, A.J., & Scherer, M. (2005). Forgiveness in Health Research and Medical Practice. Explore, 1(3), 169-176.