ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 17 September 2022
Kekerasan Seksual pada Perempuan: Salah siapa?
Oleh:
Dyah Anggi Syahputri & Ellyana Dwi Farisandy
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Di era sekarang ini semakin marak terjadinya kasus kekerasan seksual di Indonesia, baik dari lingkungan terdekat seperti keluarga ataupun teman. Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kini menarik perhatian banyak orang. Hingga saat ini, perempuan melihat kembali apakah mereka telah menerima hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan, dan mencapai kesetaraan gender?Untuk itu, kita perlu meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan seksualkarena kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan atau disepelekan sekalipun.
DEFINISI KEKERASAN SEKSUAL
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang mengarah pada seksualitas terhadap seseorang yang dilakukan secara paksa oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban baik dalam keluarga maupun lingkungan kerja (Suhita et al., 2021). Ada beberapa bentuk kekerasan seksual (Salamor et al., 2020), yakni:
1. Pelecehan seksual verbal, yakni pelecehan yang dilakukan melalui sebuah ucapan atau komentar seperti menyindir, melempar candaan, menggoda, atau pertanyaan yang bersifat seksualitas sehinggamembuat korban merasa tidak nyaman.
2. Pelecehan seksual non verbal, yakni pelecehan yang dilakukan dengan memperlihatkan sebuah isyarat yang membuat ketidaknyamanan pada korban, contohnya seperti menatap penuh nafsu pada suatu bagian tubuh korban ataupun menunjukan alat kelamin.
3. Pelecehan seksual secara fisik, yakni pelecehan yang dilakukan dengan melakukan kontak fisik, misalnya seperti memeluk, mencium, meraba-raba tubuh korban tanpa izin hingga melakukanpemerkosaan.
Kekerasan seksual bisa dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Pada tahun 2021, Simfoni PPA mencatat korban dari kasus kekerasan seksual pada laki-laki sebesar 5.376 sedangkan perempuan sebesar 21.753 kasus (Simfoni-PPA, 2021). Artinya, perempuan lebih rentan dan beresiko menjadi korban kekerasan seksual. Dari hal tersebut, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di tempat-tempat yang akrab bagi para korban, seperti di rumah mereka sendiri, tempat mereka bekerja atau belajar. Tidak hanya itu, kekerasan terhadap perempuan seperti pelecehan dan penyerangan seksual juga terjadi di tempat umum, misalnya di transportasi umum, jalanan umum, tempat kerja dan sekolah.
Menurut dari situs Databoks, Komnas Perempuan mencatat bahwa laporan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan meningkat sekitar 50 persen dari laporan tahun 2020 yang terdapat 226.062 kasus dan sedangkan sepanjang tahun 2021 tercatat ada 338.496 kasus (Dihni, 2022). Komnas Perempuan mencatat aduan kekerasan seksual sebanyak 4.500 dari bulan Januari hingga Oktober 2021(Safitri, 2021). Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sangat banyak, sehingga perlu ditindaklanjuti agar jumlah kasus kekerasan seksual menurun.
KEKERASAN SEKSUAL DAN PAKAIAN
Beberapa dari kasus kekerasan seksual seringkali yang disalahkan adalah korban dari kekerasan seksual itu sendiri. Biasanya, masyarakat menyalahkan cara berpakaian yang terbuka sehingga mengundang hawa nafsu lawan jenis. Hal ini disebut dengan victim blaming. Victim blaming adalah sebuah tindakan dimana seseorang cenderung menuduh dan menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku merupakan akibat dari tingkah laku korban (Ihsani, 2021). Misalnya pada saat seorang wanita yang mengalami kekerasan seksual, sebagian orang masih ada yang menganggap bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh korban itu sendiri, seperti tidak menggunakan pakaian yang tertutup atau menggunakan pakaian yang menggoda lawan jenis. Selain itu, victim blaming memiliki dampak pada korban seperti merasa bersalah, merasa malu, merasa tidak aman, dan trauma yang dapat merusak kesehatan mentalnya hingga jangka panjang (Wulandari & Krisnani, 2021).
Rika Rosvianti melakukan sebuah survei mengenai gaya berpakaian yang dikenakan oleh perempuan saat terkena kekerasan seksual yang diikuti sebanyak 32.341 responden yang pernah mengalami kekerasan seksual (Damarjati, 2019). Mereka menyimpulkan bahwa pakaian bukanlah penyebab terjadinya kekerasan seksual. Sebagian besar korban dari kekerasan seksual di ruang publik tidak memakai pakaian yang terbuka, melainkan memakai baju lengan panjang (16%), hijab (17%), dan celana atau rok panjang (18%)(Juliantara et al., 2021). Hasil dari survei tersebut menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kekerasan seksual dengan pakaian yang dikenakan oleh korban. Dari hal tersebut, apakah pakaian menjadi tolok ukur seorang perempuan mengalami kekerasan seksual? Ini sudah terlihat dengan jelas bahwa sebenarnya bukan pakaian korban yang seharusnya disalahkan melainkan pikiran dan perilaku pelaku.
BUKAN SALAH KORBAN
Terdapat kasus mengenai seorang guru pesantren yang telah memperkosa 12 santrinya hingga melahirkan sembilan anak dari tujuh santri akibat dari aksinya yang telah dilakukan (Firdaus, 2021). Dari kasus tersebut, peran guru seharusnya mendidik dan memberi contoh yang baik kepada para muridnya, dan bukan memperlihatkan perilaku yang tidak senonoh seperti kekerasan seksual. Selain itu, terdapat data dari Simfoni PPA pada tahun 2021, yaitu jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tempat kejadian. Pertama, tempat tertinggi adalah rumah tangga (57.7%), kedua, tempat lainnya (25.1%), ketiga, fasilitas umum (11.6%), keempat, sekolah (3.9%), kelima, tempat kerja (1.5%), serta keenam, lembaga pendidikan kilat (0.1%) (Simfoni-PPA, 2021). Jika dilihat dari data tersebut, mau ditempat manapun seperti tempat umum, tempat kerja, dan tempat pendidikan sekalipun tetap saja yang salah adalah pikiran dan perilaku pelaku, hingga rasanya seperti tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi perempuan.
LALU, APA YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL?
Menurut Hosking, faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap korban secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor individu yang berkaitan dengan kecenderungan individu untuk melakukan kekerasan, misalnya dari sisi psikologis, motivasi utama melakukan tindakan kekerasan adalah tidak mampu menahan hawa nafsu, bahkan ungkapan perasaan. Kemudian kedua, faktor sosial budaya yang berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan (Suhita et al., 2021).
Selama beberapa dekade, perempuan telah memperjuangkan hak-hak mereka atas keadilan sosial, kesetaraan gender, dan perlindungan dari kekerasan. Untuk itu, solusi dalam mencegah dan mengatasi dari adanya kekerasan seksual bisa dengan melalui dua metode, yaitu metode kuratif dan metode preventif.
1. Metode kuratif merupakan metode yang dilakukan dengan upaya menangani dan mengatasi suatu masalah yang sedang dialami oleh individu (Surianti, 2019). Salah satu caranya adalah dengan memberikan konseling oleh tenaga profesional untuk membantu memulihkan psikologis korban dari kondisi traumatis akibat kekerasan seksual (Fadilah, 2020).
2. Metode preventif merupakan metode yang dilakukan dengan upaya memberi penyuluhan sehingga mencegah permasalahan pada suatu individu (Surianti, 2019).
a. Memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai kekerasan seksual. Hal tersebut berupaya untuk dapat melakukan pencegahan secara mandiri agar individu sadar dan tetap waspada pada saat mengalami kekerasan seksual (Effendi, 2021).
b. Memberikan pendidikan seksual sejak dini. Adanya pendidikan seksual sejak dini berupaya untuk memberikan pemahaman dan penyadaran mengenai bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh dan mana yang boleh disentuh. Selain itu, pendidikan seksual juga mengajarkan cara melindungi diri jika terjadinya kekerasan seksual pun mengajarkan anak untuk menghargai diri dan orang lain. Jika seorang anak tumbuh dewasa membawa bekal ilmu mengenai batas-batasan mana yang benar dan mana yang salah, diharapkan akan menjadi individu yang baik dan terhindar dari perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual. Dengan hal ini, penting memberikan pengetahuan tentang pendidikan seksual yang berdasar pada norma agamanya masing-masing dan moral Susila agar anak dapat melindungi diri dari kekerasan seksual (Surianti, 2019).
SIMPULAN
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang mengarah pada seksualitas terhadap seseorang yang dilakukan secara paksa dan dapat terjadi pada siapa saja. Namun, mayoritas korban kasus kekerasan seksual adalah perempuan. Di setiap adanya kasus kekerasan seksual, seringkali perempuan (selaku korban) disalahkan karena tindakan dalam cara berpakaiannya yang menggoda lawan jenis. Hal ini terjadi bukan salah korban, melainkan niat dan perilaku dari sang pelaku itu sendiri. Terdapat solusi yakni kuratif dan preventif untuk mengatasi kekerasan seksual. Penting untuk memberikan edukasi dan kesadaran kepada masyarakat mengenai kekerasan seksual agar mereka dapat menambah pengetahuan dan dapat melakukan pencegahan secara mandiri sehingga mampu mengurangi angka kekerasan seksual tiap tahunnya.
Referensi:
Damarjati, D. (2019). Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-relasi-pelecehan-seksual-dengan-pakaian
Dihni, V. A. (2022). Tahun Kedua Pandemi, Kekerasan terhadap Perempuan Naik 50% | Databoks. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/08/tahun-kedua-pandemi-kekerasan-terhadap-perempuan-naik-50
Effendi, D. I. (2021). Upaya Preventif Kekerasan Seksual di Kampus. UIN Digital Library. http://digilib.uinsgd.ac.id/38221/
Fadilah, K. (2020). Pemulihan Trauma Psikososial Pada Perempuan Korban Kekerasan Seksual Di Yayasan Pulih. EMPATI: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 7(2), 145–156. https://doi.org/10.15408/empati.v7i2.11423
Firdaus, R. F. (2021). Ini Sosok Guru yang Hamili 12 Santri hingga Hamil dan Melahirkan 9 Anak | merdeka.com. Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-sosok-guru-yang-hamili-12-santri-hingga-hamil-dan-melahirkan-9-anak.html
Juliantara, D., Thofly, H., & Aunuh, N. (2021). Analisis Viktimologis Pelecehan Seksual Verbal di Wilayah Hukum Kota Malang (Studi di Polresta Kota Malang). Indonesia Law Reform Journal, 1(3), 442–453. https://doi.org/https://doi.org/10.22219/ilrej.v1i3.17754
Safitri, E. (2021). Komnas Perempuan Terima 4.500 Aduan Kekerasan Seksual di Januari-Oktober 2021. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-5843373/komnas-perempuan-terima-4500-aduan-kekerasan-seksual-di-januari-oktober-2021
Salamor, A. M., Mahmud, A. N. F., Corputty, P., & Salamor, Y. B. (2020). Child Grooming Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Anak Melalui Aplikasi Permainan Daring. Sasi, 26(4), 490. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i4.381
Simfoni-PPA. (2021). Jumlah Kasus Kekerasan Seksual 2021. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Suhita, B. M., Ratih, N., & Priyanto, K. E. (2021). Psychological Impact On Victims of Sexual Violence: Literature Review. STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10(1), 1412–1423. https://doi.org/10.30994/sjik.v10i1.825
Surianti. (2019). Metode Preventif Kuratif Dalam Menangani Penyimpangan Seksual Remaja Perspektif Konseling Islam. Jurnal Mimbar: Media Intelektual Muslim Dan Bimbingan Rohani, 5(1), 26–34. https://doi.org/10.47435/mimbar.v5i1.75
Wulandari, E. P., & Krisnani, H. (2021). Kecenderungan Menyalahkan Korban (Victim-Blaming) Dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan Atribusi. Share : Social Work Journal, 10(2), 187. https://doi.org/10.24198/share.v10i2.31408