ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 16 Agustus 2022

Saatnya Mendorong Ilmuan Psikologi menjadi Inventor

 

Oleh:

Subhan El Hafiz

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

 

Jika anda berlatar belakang ilmu sosial, khususnya Psikologi, apa yang ada dalam benak anda jika diminta menjadi inventor atau penemu? Atau, adakah anda berminat mengembangkan robot? Jawaban anda mungkin berubah setelah membaca artikel ini.

 

Teknologi dan Penemuan

Sebuah artikel yang terbit di salah satu jurnal internasional yang cukup bergengsi (lihat referensi) memberi gambaran yang cukup menarik tentang konsep inventor ini, khususnya jika dikaitkan dengan pendidikan dalam ilmu sosial. Dalam artikel ini dijelaskan, bahwa konsep penemuan, inovasi, pembuatan produk, dan teknologi, jika di sandingkan dengan ilmu sosial seringkali berasosiasi dengan kata, “pemakai” atau “pengguna.” Padahal hal ini seharusnya tidak tepat.

 

Artikel ini mengawalinya dengan penjelasan bagaimana ilmuan Psikologi yang cukup terkenal pada abad 19, Sigmund Freud, adalah seorang penemu. Namun sayangnya, publikasi dan kajian yang berkembang hanya menjelaskan temuannya terkait teknik Psikoterapi. Sangat jarang publikasi yang menunjukkan bahwa sofa konseling yang digunakannya dalam Psikoterapi termasuk sebuah penemuan baru. Akhirnya, Psikologi lebih banyak membahas pada temuan yang tak nampak (intangible), seperti teknik konseling atau psikoterapi, dan sejenisnya. Sedangkan untuk produk yang nampak (tangible), hampir tidak dikaji kecuali yang berkaitan dengan alat tes Psikologi.

Artinya, ilmuan psikologi harus didorong untuk mengambil kesempatan menjadi penemu dalam bidang apapun, termasuk pengembangan teknologi dan robotik. Tentunya produk yang diciptakan juga perlu disesuaikan dengan latar belakang keilmuannya, yaitu untuk menyelesaikan masalah mental individu atau dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mentalnya. Hal ini sebenarnya sudah banyak dikaji dalam salah satu disiplin ilmu psikologi, yaitu Psikologi Lingkungan. Akan tetapi, karena cakupannya yang luas, bidang ilmu ini tidak fokus pada pengembangan kompetensi inventor.

 

Maker Education di Psikologi

Oleh karena itu, artikel tersebut menyarankan untuk pendidikan Psikologi turut mengembangkan Maker Education. Model pendidikan ini, Maker Education, adalah sistem pendidikan dimana siswa belajar melalui proses membuat barang yang nampak (tangible). Sistem pendidikan ini diyakini dapat mengembangkan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan penyelesaian masalah sehari-hari yang biasa dikenal dengan Do-It-Yourself (DIY). Tidak hanya itu, Maker Education juga mengembangkan berbagai meta-kompetensi, seperti kreatifitas, yang dibutuhkan di dunia kerja.

 

Tidak hanya menyampaikan wacana, artikel ini bahkan menunjukkan bagaimana Maker Education di implementasikan dalam kajian non-STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) yang biasa kita sebut dengan ilmu eksak. Dalam artikel tersebut dijelaskan mengenai proses belajar, kompetensi yang akan didapatkan siswa, bobot sks, bahkan sampai cara menilai dan mengevaluasinya. Menariknya, implementasi ini justru dikembangkan dan dilakukan di salah satu Universitas di Indonesia, tepatnya Fakultas Psikologi UHAMKA.

 

Mata kuliah yang ditawarkan diberi nama “Kreatif dan Inovatif” dan ketentuan untuk lulus dalam mata kuliah ini adalah siswa harus bisa membuat produk yang nampak (tangible) dan sudah di ujicobakan pada responden yang sesuai. Jadi, diakhir setiap periode perkuliahan ini, ada puluhan produk baru yang mereka ciptakan. Memang harus diakui bahwa sebagian besar produk yang dibuat, tidak sepenuhnya ide baru karena hanya melakukan beberapa modifikasi terhadap produk yang sudah ada. Namun kompetensi yang ingin dilatih bukan terbatas pada “membuat” namun juga mengembangkan soft-skill saat proses pembuatannya.

 

Dalam artikel tersebut dijelaskan kalau mahasiswa belajar berkolaborasi, berkontribusi, kreatif, kerjasama, hingga kepemimpinan. Sebagaimana konsep Maker Education, proses belajar juga tetap terjadi walaupun dirinya dan kelompoknya tidak berhasil membuat produknya. Misalnya, mereka belajar bagaimana komunikasi yang buruk dalam kelompok menyebabkan produk tidak bisa dibuat dengan baik walaupun diawal idenya sudah bagus. Jadi, produk yang dihasilkan dibuat bukanlah satu-satunya penilaian untuk capaian kompetensi mahasiswa dalam mata kuliah ini.

 

Langkah ke depan

Artikel ini memberi pemahaman kepada kita bahwa Psikologi memiliki wilayah kajian yang luas dan masih banyak area yang belum dikembangkan, salah satunya terkait dengan Maker Education ini. Sebagaimana judul artikelnya, Maker Education Challenge in Social Sciences: An Insight From Psychology diharapkan menjadi inspirasi untuk dapat dikembangkan pada ilmu-ilmu lain selain STEM. Dengan demikian, setiap bidang ilmu dapat memikul beban tanggungjawab yang sama untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi untuk masa depan umat manusia yang lebih baik.

 

Bagaimana dengan kampus anda, sudah siap?

 

 

Referensi:

 

El Hafiz, S., Widiasih, P. A., & Eryandra, A. (2022). Maker Education Challenge in Social Sciences: An Insight From Psychology. International Journal of Online Pedagogy and Course Design (IJOPCD)12(3), 1-11.