ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 16 Agustus 2022
Ghosting dalam Perspektif Psikologi: Penyebab, Faktor Pendorong, dan Dampak Psikologis
Oleh:
Peni Nur Rizki & Hesty Yuliasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Belakangan ini istilah “ghosting” semakin sering digunakan atau diucapkan oleh banyak orang terutama oleh kawula muda (Fauziyah, 2021). Fenomena ghosting sering diartikan sebagai suatu tindakan meninggalkan atau pemutusan hubungan secara sepihak yang biasanya terjadi pada hubungan yang belum jelas statusnya atau terjadi pada saat masa pendekatan dan bisa terjadi juga pada hubungan yang sudah memiliki status yang jelas. Dalam konteks masa kini ghosting lebih sering dikaitkan dengan masalah percintaan (Rahmatin, Sari, Ramadhani, Insani, & Apriani, 2021).
Menurut LeFebvre (dalam Freedman, Powell, Le, & Williams, 2019), ghosting berbeda dengan pemutusan hubungan lainnya karena korban atau orang yang di-ghosting tidak secara langsung mengetahui pemutusan hubungan tersebut dan terlihat seperti hanya ada komunikasi yang berkurang dan terjadi secara ambigu. Pendapat tersebut sejalan dengan pengertian istilah ghosting pada Collins English Dictionary yang berarti memutuskan seluruh komunikasi tanpa memberi peringatan yang jelas (Fauziyah, 2021). Memutuskan hubungan dengan memutus kontak mungkin sudah ada sejak lama, namun dengan adanya perkembangan teknologi membuat ghosting menjadi strategi pemutusan hubungan yang terlihat lebih menonjol. Ghostingkemudian pada dasarnya menjadi metode tindakan menghindari berkomunikasi dengan individu tertentu (LeFebvre dalam Freedman et al., 2019).
Ilmu psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang juga mempelajari perilaku manusia, tidak terkecuali fenomena perilaku ghosting ini. Seperti pendapat seorang psikolog bernama Jennice Vilhauer mengungkapkan bahwa ghosting adalah salah satu silent treatment yang dipandang sebagai kekejaman emosional dalam dunia psikologi (Rahmatin et al., 2021). Fenomena ghosting ini dapat dijelaskan penyebab, faktor pendorong, dan dampaknya bagi korban melalui perspektif psikologi.
Mulai dari penyebab-penyebab seseorang melakukan ghosting tersebut yang pertama yaitu karena seseorang tersebut takut untuk berkomitmen. Penelitian yang dilakukan oleh Koesler et al. (Dzilhaq, 2021), menyebutkan perilaku ghosting ditunjukan sebagai ketidaksanggupan individu dalam memertahankan komitmen dalam hubungan interpersonal. Adapun penyebab lainnya yaitu karena adanya masalah attachment style. Lancer (dalam Dzilhaq, 2021), menyebutkan bahwa orang yang ghosting memiliki masalah pada attachment style. avoidant attachment style adalah gaya keterikatan seseorang yang tidak nyaman jika berhubungan terlalu dekat dan terikat oleh orang lain. Gaya ini cenderung muncul pada individu yang semasa kecil kurang mendapat kasih sayang (Ainsworth & Wittig dalam Taft, 2020). Adapun penyebab lain yaitu kesibukan dan depresi pada seseorang. Orang yang terlalu sibuk mungkin akan melupakan beberapa hal yang dirasa kurang penting jika dibandingkan dengan kesibukannya (Dzilhaq, 2021). Sedangkan depresi, orang yang depresi memiliki ciri salah satunya yaitu menarik diri dari kehidupan sosial dan kurangnya gairah hidup. Jadi, permasalahan hidup yang membuat seseorang depresi dapat menjadi sebab orang tersebut secara tiba-tiba melakukan ghosting (Soong dalam Dzilhaq, 2021).
Selain penyebab, Adapun faktor pendorong seseorang melakukan ghosting (Grande, 2018). Faktor yang pertama yaitu untuk menghindari konfrontasi. Seseorang menghindari konfrontasi dapat terjadi karena tidak menginginkan adanya konflik atau berdebat. Terkadang juga karena takut dan menghindari tanggapan emosional seperti menangis atau marah. Faktor selanjutnya yaitu takut pada keintiman emosional. Ketakutan untuk benar-benar membiarkan orang lain untuk sangat peduli dengan diri individu. Orang tersebut dapat menjalin hubungan dengan seseorang asalkan mampu menjaga jarak emosionalnya. Takut akan keintiman merupakan masalah jangka panjang, sulit diatasi, dan memerlukan kesadaran diri serta usaha untuk mengatasi. Faktor lainnya yaitu terkait gaya kepribadian narsistik. Salah satu ciri kepribadian orang narsistik adalah kurangnya empati. Orang narsistik tidak akan berempati dengan rasa sakit emosional orang lain, salah satunya yaitu kamungkinan mereka untuk melakukan ghosting. Takut pada reaksi kekerasan juga dapat menjadi penyebab seseorang melakukan ghosting. Dengan anggapan orang yang berhubungan dengannya akan melakukan suatu kekerasan terhadap dirinya, dapat menjadi faktor pendorong seseorang tiba-tiba menghindar atau ghosting.
Kemudian ghosting juga memiliki dampak buruk bagi korbannya. Menurut Vilhauer (Rahmatin et al., 2021) ada beberapa dampak buruk yang mungkin akan dialami ghostee, beberapa diantaranya seperti korban akan merasa kebingungan dalam memahami kondisi yang sedang terjadi. Selanjutya korban merasa rendah diri karena kesulitan mentolerir rasa sakit akibat ditinggalkan. Kemudian korban bisa saja akan menyalahkan diri sendiri karena tidak mengetahui alasan yang jelas sebab mereka ditinggalkan. Serta masih banyak lagi dampak psikologis seperti kemarahan, merasa kehilangan harapan, malu, dan harga diri yang menurun (Fauziyah, 2021). Mereka yang memiliki kepercayaan diri yang rendah akan lebih sulit bangkit dari dampak buruk tersebut (Rahmatin, et al., 2021). Keadaan buruk atau duka cita yang mungkin dialami oleh sebagian ghostee dapat dipahami melalui tahapan-tahapan kesedihan yang ada pada Model Kubler-Ross (Perkins dalam Dzilhaq, 2021).
Perkins (2018) menjelaskan lebih detail mengenai tahapan-tahapan kesedihan Model Kubler-Ross ini yang terdiri dari lima tahap yaitu, Denial atau penolakan ketika individu menduga-duga adanya hal negatif namun berusaha melakukan penolakan dengan berusaha berpikir positif terhadap dugaan dan perasaan yang buruk tersebut. Anger, tahap kedua ini individu mulai tidak terima dengan keadaan dan menyalahkan pelaku. Bargaining, tahap selanjutnya berupa tawar-menawar dengan kondisi yang terjadi, individu yang merasa sedih akibat ghosting mungkin akan berkata untuk mendapatkan hal buruk lainnya dibanding harus menerima ghosting yang dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Selanjutnya ghostee akan melalui tahap Depression, keadaan ketika individu sadar dirinya benar-benar di-ghosting. Individu akan merasakan kesedihan dan sering merenungi kenyataan yang terjadi. Dengan berjalannya waktu serta faktor lainnya ghostee akan sampai pada tahap Acceptance. Merupakan tahap penerimaan, individu menyadari yang terjadi tidak dapat diulang atau diubah. Individu berpikir bahwa tidak ada gunanya menunggu atau meratapi.
Dengan demikian, masyarakat diharapkan tidak mudah memberikan judgment kepada pelaku ghostingkarena banyak hal yang melatar-belakangi seseorang melakukan hal tersebut, seperti attachment style yang dapat dipengaruhi oleh masa kecilnya yang berarti tidak sepenuhnya adalah kesalahannya. Akan tetapi masyarakat juga diharapkan untuk tidak mudah melakukan ghosting karena tentunya akan berdampak buruk bagi korban.
Referensi:
Dzilhaq N. C. (2021, Maret 11). Ghosting: Penyebab, Dampak, dan Tips Menghadapinya. Diambil dari: https://kampuspsikologi.com/ghosting-penyebab-dampak-dan-tips-menghadapinya/?amp.
Fauziyah, J. A. (2021, Maret 15). Mengulik Fenomena Ghosting dari Perspektif Psikolog. Diambil dari: https://linikampus.com/2021/03/15/mengulik-fenomena-ghosting-dari-perspektif-psikologi/.
Freedman, G., Powell D. N., Le, B., & Williams K. D. (2019). Ghosting and destiny: Implicit theories of relationships predict beliefs about ghosting. Journal of Social and Personal Relationship, 36 (3), 905-924. doi: 10.1177/0265407517748791.
Grande, D. (2018, April 3). 4 Reasons People Ghost Their Way Out of Relationships. Diambil dari: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/in-it-together/201804/4-reasons-people-ghost-their-way-out-relationships.
Perkins, J. (2018, Oktober 4). The 5 Stages of Ghosting. Diambil dari: https://www.dailycal.org/2018/10/05/the-5-stages-of-ghosting/
Rahmatin, S. U., Sari, N.S.Y.E., Ramadhanti, R., Insani, N. N., Apriani, N. (2021). Dinamika Psikologis Resiliensi Pada Korban Ghosting. ACADEMIA journal of mulitidisciplinary studies, 5 (2), 239-258.Diambil dari: https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/academica/article/view/4109/1399.
Taft, T. (2020, November 11). What is avoidant attachment?. Diambil dari: https://www.medicalnewstoday.com/articles/avoidant-attachment.