ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 16 Agustus 2022

Gender Dan Kebebasan Berekspresi

 

Oleh:

Chyntia Maharani & Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

"Bebas! Bebas! Bebas!", ungkapan yang sudah tidak asing lagi dan sering kali kita dengar. Namun, apakah makna dari kata tersebut telah dapat kita peroleh sepenuhnya? Tanah air kita, Indonesia sudah merdeka dan terbebas dari belenggu penjajah sejak lama. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa seluruh kalangan masyarakat telah dapat merasakan apa yang benar-benar dinamakan "Kebebasan" itu. Kebebasan ini mencakup hal yang luas, mulai dari kebebasan dari rasa takut, hingga kebebasan dalam berekspresi. Berkaitan dengan hal ini, salah satu isu yang masih banyak ditemui serta dialami oleh masyarakat, baik kaum perempuan maupun laki-laki adalah kesulitan untuk memperoleh "Kebebasan berekspresi". Ketika mereka mencoba untuk memperoleh hal tersebut, maka tantangan seperti pelanggaran hak atas kebebasan bereskpresi pun turut hadir menghalangi. Menurut Ari Pramuditya, seorang peneliti Amnesty Internasional Indonesia, menyatakan bahwa 132 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi telah tercatat di sepanjang tahun 2020 (Pramuditya, dalam Yahya, 2021).

 

Freedom of Expression

Menurut John Locke (disitat dalam Olivia, 2020), kebebasan berekspresi atau freedom of expressionmerupakan suatu upaya untuk mencari kebenaran. Upaya ini seperti menerima, menyebarluaskan informasi hingga kemudian mendiskusikan informasi tersebut dengan orang lain, juga seperti mencari sesuatu secara bebas. Upaya penerimaan hingga pendiskusian informasi yang dilakukan sebelumnya adalah wujud dari penghilangan keraguan-keraguan yang dirasakan oleh seseorang (Olivia, 2020). Kebebasan ini sulit untuk diperoleh oleh para perempuan, juga para laki-laki. Mengapa demikian? Hal ini mungkin saja dikarenakan karakteristik ataupun kecenderungan masyarakat yang masih sukar untuk mau mendengarkan atau menerima seseorang apabila orang tersebut ternyata "Berbeda". Konteks berbeda di sini dapat berupa bagaimana seseorang ketika menyampaikan sebuah opini, berpenampilan, hingga bersikap sesuai dengan jati dirinya. Dengan demikian, berikut ini terdapat beberapa cara yang sebenarnya mungkin saja merupakan ungkapan, baik tersembunyi maupun terbuka dari seseorang untuk mengekspresikan dirinya kepada dunia luar. Simak dengan baik agar kita bisa saling "Bebas" berekspresi, yuk!

 

Don't Judge Me By My Clothes!

Berpakaian tentu saja dapat menjadi salah satu pencerminan dari hal-hal yang kita gemari. Seseorang yang sering kali berpakaian chic style mungkin saja digambarkan sebagai orang yang menyukai hal-hal sederhana, tetapi berkelas. Respon dan penilaian dari masyarakat pun cenderung positif apabila melihat seseorang dengan gaya berpakaian ini yang sudah terbilang cukup umum. Namun, masyarakat akan cenderung merespon dan menilai secara berbeda (negatif) terhadap sesuatu yang menurut mereka tidak "Lumrah". Seperti pada laki-laki yang berpakaian androgini sering dilabeli bahwa dia tidak gentle hanya karena berpenampilan yang cenderung mengarah ke feminim. 

 

Wijayakusuma (2020) menjelaskan bahwa androgini adalah suatu ekspresi di mana gender dari seseorang tidak hanya terkunci pada satu jenis kelamin, melainkan berada antarkeduanya. Pengekspresian ini dapat dilihat dari gestur, minat dan bakat, cara berbicara, emosi, hingga cara berpakaian seseorang. Seorang laki-laki yang berekspresi androgini akan tetap mengakui dirinya sebagai laki-laki terlepas dari sisi feminim yang dimilikinya (Wijayakusuma, 2020), begitu pula sebaliknya pada seorang perempuan yang berekspresi androgini. Bagaimana masyarakat menilai sosok seseorang hanya berdasarkan penampilan ini termasuk ke dalam persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan situasi di mana kita membentuk kesan dan membuat kesimpulan terhadap orang lain tanpa membutuhkan lebih banyak waktu untuk berkenalan dengan orang yang bersangkutan (Aronson et al., 2015). 

 

Don't Treat Me Different Just Because “I'm Different”

Jati diri seseorang akan sulit untuk diungkapkan oleh sebagian orang ke dunia luar. Walaupun demikian, tidak sedikit pula dari beberapa orang yang pada akhirnya berani untuk speak up  atau mengungkapkan jati diri dia yang sebenarnya. Coming out pun menjadi salah satu opsi bagi beberapa orang dalam mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya. Pistella et al. (2016) menjelaskan bahwa coming out (CO) merupakan suatu proses di mana individu dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) memilih untuk mengungkapkan orientasi seksual mereka ke orang lain. Seseorang yang telah melakukan CO tentu saja akan mendapatkan berbagai macam reaksi dari orang-orang sekitarnya. Bahkan ketika CO dilakukan secara terbuka kepada publik, maka respon dari masyarakat pun juga tak jarang yang mengarah ke negatif. 

 

Individu dengan LGBT termasuk ke dalam kelompok minoritas sehingga sering kali mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat. Adanya tindakan atau pengungkapan dari seseorang bahwa dirinya merupakan individu dengan LGBT, nyatanya tetap direspon dan dipandang oleh (mayoritas) masyarakat kita sebagai sesuatu yang sangat tidak bermoral. Hal ini tentunya termasuk ke dalam salah satu bentuk dari diskriminasi. Diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak setara terhadap kelompok yang berbeda, seperti kelompok minoritas; penyandang disabilitas, maupun individu dengan LGBT (Kalat, 2017).

 

Solusi dan Simpulan

Berkaitan dengan cara mencegah pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi, maka pemerintah pun turut aktif mendukung beberapa revisi dalam Undang-Undang, salah satunya adalah UU No. 11 Tahun 2008. Hal ini dilakukan sekaligus sebagai bentuk perlindungan hak atas kebebasan dan berekspresi. Adapun revisi ini dilakukan dengan mengacu pada SNP (Standar Norma Pengaturan) hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, di mana SNP ini sebagai pedoman bagi abdi negara dalam menjamin bahwa tidak ada kebijakan dan tindakan pelanggaran atau pembatasan pada hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi (Demi Perlindungan Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Komnas HAM Dukung Revisi ITE, 2021).

 

SNP juga mampu dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat (individu pun kelompok) dalam memahami perilaku yang melanggar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini guna menghindari perilaku diskriminatif dan menjamin hak asasi yang dimilikinya terlindungi (Demi Perlindungan Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Komnas HAM Dukung Revisi ITE, 2021). Kemudian, hal lain yang dapat kita lakukan untuk saling mendukung adalah bersedia untuk mendengarkan, bahkan menerima diri mereka yang apa adanya ketika "Berekspresi".

 

Kebebasan berekspresi merupakan hak dari setiap orang. Seseorang sudah sepatutnya dapat mengeluarkan pendapat maupun mengekspresikan diri mereka secara bebas tanpa dibatasi atau dikekang oleh siapa pun. Oleh karena itu, agar kita dapat saling "Bebas berekspresi", maka kita juga harus memberikan "Kebebasan" kepada orang lain untuk mengungkapkan ekspresinya.

 

 

REFERENSI:

 

Aronson, E., Wilson, T. D., Akert, R. M., & Sommers, S. R. (2015). Social Psychology (9th ed.). Pearson Education.

Demi perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, komnas ham dukung revisi ITE. (2021). Komnasham.Go.Id. https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/3/17/1713/demi-perlindungan-hak-atas-kebebasan-berpendapat-dan-berekspresi-komnas-ham-dukung-revisi-uu-ite.html

Kalat, J. W. (2017). Introduction to Psychology (11th ed.). Cengage Learning.

Olivia, D. (2020). Hakikat Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia. Rio Law Jurnal1(2). https://doi.org/10.36355/rlj.v1i2.409

Pistella, J., Salvati, M., Ioverno, S., Laghi, F., & Baiocco, R. (2016). Coming-Out to Family Members and Internalized Sexual Stigma in Bisexual, Lesbian and Gay People. Journal of Child and Family Studies25(12), 3694–3701. https://doi.org/10.1007/s10826-016-0528-0

Wijayakusuma, P. K. F. (2020). Less Masculine, More Feminine dan Less Feminine, More Masculine: Laki-laki Mengekspresikan Androgini Melalui Fashion. Emik3(2), 137–159. https://doi.org/10.46918/emik.v3i2.662

Yahya, A. N. (2021). Laporan amnesty, 132 pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi sepanjang 2020. KOMPAS.Com. https://nasional.kompas.com/read/2021/04/08/09392371/laporan-amnesty-132-pelanggaran-hak-atas-kebebasan-berekspresi-sepanjang