ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 16 Agustus 2022

Empati Sebagai Pintu Membangun Relasi

 

Oleh

Krishervina Rani Lidiawati

Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan

 

Siapakah di dunia ini yang dapat hidup sendiri tanpa orang lain? Bukan hanya karena kita makhluk sosial yang memang membutuhkan orang lain, namun keberadaan orang lain membuat kita dapat bertahan hidup. Misalnya saja adanya profesi pedagang, petani yang menopang ketahanan pangan. Dalam bidang kesehatan tentu kita membutuhkan dokter dan para ahli medis lainnya yang menciptakan obat sehingga berguna menyembuhkan penyakit yang kita alami. Demikian pula antar profesi saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Jika manusia saling membutuhkan lalu mengapa menjadi sulit untuk memahami bahwa sejatinya perbedaan itu biasa dan memang dibutuhkan?

 

Di dalam berelasi dengan orang lain yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, suku, agama, pekerjaan, pemikiran dan perbedaan lainnya kerap kali menjadi kendala bahkan memicu pertikaian. Namun, sadarkah dengan keberagaman itu kita juga dapat bertahan hidup. Jika memang keberagaman ini ada dan memang perlu ada lalu apa yang bisa dilakukan? Tentu penting untuk menyadari bahwa kita sedang berbicara, membangun relasi dengan orang yang memiliki perbedaan dalam banyak hal, entah dari apa yang dirasakan, dipikirkan dan keputusan yang akan diambil. Oleh karena itu, penting sekali bahwa manusia memiliki kesadaran sosial (social awareness). Kesadaran sosial ini merupakan bagian dari kecerdasan emosi (Goleman, 2009). 

 

Salah satu bentuk dari kesadaran sosial ini adalah sikap empati (Jeon, 2020). Empati merupakan sikap memahami merupakan kemampuan memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain sehingga membantu bertindak penuh dengan belas kasih kepada orang lain. Seseorang yang memiliki empat dapat menempatkan diri dan berusaha untuk belajar memiliki perspektif yang lebih objektif. Hal ini tentu menunjukkan empati membantu menghapus prasangka dalam diri. Karena seseorang belajar untuk melihat dari sudut pandang yang lain dan tidak melulu menyalahkan orang lain. Andaikata dalam menghadapi perbedaan pendapat, peristiwa buruk atau kejadian yang tidak nyaman lainnya individu-individu mampu memiliki empati maka tentunya relasi antara satu dengan yang lain dapat terjaga dengan baik.

 

 

Berdasarkan pemaparan diatas menunjukkan adanya empati merupakan salah satu pintu untuk membangun relasi dengan orang lain Adanya empati membantu manusia untuk dapat belajar memahami orang lain dan menempatkan diri untuk berpikir tidak egois. Bayangkan jika dalam berelasi dengan teman atau rekan kerja anda lalu dia tidak mengerti perasaan anda? Apakah anda akan tetap berteman dengannya? Saya berpendapat bahwa kita akan lebih senang berteman dengan orang yang mampu memahami apa yang sedang kita rasakan dan turut berempati atas apa yang terjadi dengan kita. Kita cenderung lebih mudah berteman dengan orang-orang yang pengertian dan perhatian dibandingkan orang yang mementingkan diri sendiri bahkan mengabaikan perasaan orang lain, bukan? Empati juga dapat memprediksi perilaku altruism kepada orang lain (Goleman, 2009). 

 

Lalu bagaimana membangun empati itu? Empati merupakan keterampilan, artinya kemampuan ini dapat dikembangkan terus menerus dan membutuhkan waktu dan proses. Langkah awal dalam mengembangkan kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain dengan membangun kesadaran terhadap apa yang dirasakan diri sendiri terlebih dahulu. Pertama, kenalilah perasaan diri sendiri. Langkah pertama ini adalah menerima apa yang dirasakan diri sehingga membantu kita lebih peka dan belajar menerima apa yang dirasakan orang lain. Karena kita kerapkali mengabaikan apa yang kita rasakan dan terlihat memikirkan orang lain. Padahal sejatinya kita perlu untuk menguatkan diri kita sebelum kita menolong orang lain. 

 

Kedua, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengasah empati kepada diri sendiri “apa yang sebenarnya dirasakan orang tersebut? Mengapa dia melakukan itu? Saya yakin bahwa munculnya sebuah perilaku karena memiliki alasan. Sebagai teman, atau orang lain tentu kita akan menjadi sulit untuk memahami jika tidak menempatkan diri dan berpikir kritis dengan mempertanyakan “mengapa?”. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana jika anda di posisi orang tersebut? Ingat pertanyaan ini kadang menjebak, bisa saja anda berpikir saya tidak akan seperti itu, namun bukankah manusia kerap melakukan kesalahan? Sadarilah bahwa manusia membutuhkan pengalaman salah untuk menjadi lebih baik. Berikan dan bukalah hati anda untuk menerima bahkan memaafkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena kelak dikemudian hari dalam situasi yang serupa anda pun membutuhkan empati dari orang lain atas apa yang anda alami. 

 

“Perlakukan orang lain seperti anda ingin diperlakukan, jika pun tidak bisa belajarlah untuk memperlakukan orang lain dengan baik karena anda manusia yang berhati mulia.” _KRL_

 

References 

Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bloomsbury.

Jeon, H. J. (2020). The Mechanism of Empathy and Relationship Commitment Through Emojis: Path to Perspective Taking, Inner Imitation, Emotional Empathy, and Relationship Commitment. SAGE Open10(4). https://doi.org/10.1177/2158244020969675