ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 15 Agustus 2022
Persepsi Masyarakat Pulau Jawa Terhadap Konseling Online
Oleh:
Noor Afifah, Yuniar Fairuza Putri, & Dewi Trihandayani
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Seiring berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi juga turut berkembang dan dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Sejalan dengan cepatnya perkembangan teknologi, proses konseling pun berkembang dengan metode baru. Tidak seperti sebagaimana konseling tatap muka, kini konseling dapat dilakukan secara jarak jauh menggunakan teknologi yang terhubung dengan internet, yang dikenal dengan istilah e-konseling, cyber counseling, virtual counseling, atau konseling online (Duniawati, 2019). Konseling online pertama kali muncul pada 1960-an dan 1970-an. Namun dikarenakan kondisi pandemi COVID-19 yang telah seluruh dunia termasuk Indonesia sejak Maret 2020, konseling online semakin marak dan dibutuhkan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan mental (Situmorang, 2020).
Dikutip dari hasil penelitian Kasmi & Nurjannah (2021) konseling online terbukti efektif dilakukan pada ODP (Orang Dalam Pengawasan) COVID-19 yang memiliki kecemasan berlebih. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ierardi, Bottini, & Crugnola (2022) menyebutkan intervensi konseling online untuk mahasiswa terbukti efektif untuk mengurangi tekanan psikopatologis dan dimensi psikopatologis lainnya selama pandemi COVID-19. Menurut Mallen & Vogel (dalam Aisa, 2020) kelebihan dari konseling online yaitu dapat diakses dan dilakukan dimana saja pada waktu yang telah ditentukan melalui perjanjian konselor dan klien. Hal ini menjadi suatu kemudahan dalam menjangkau individu yang menghadapi hambatan termasuk saat kondisi pandemi saat ini untuk mengakses layanan konseling. Senada dengan hasil survey yang diikuti oleh 213 masyarakat pulau Jawa, sebanyak 47.4% responden merasa bahwa fleksibel dan praktis dalam menentukan waktu dan tempat menjadi salah satu faktor keefektifan klien dalam menjangkau konselor.
Selain itu, kebanyakan klien lebih mudah dalam mencurahkan pikiran dan perasaan yang mereka rasakan melalui konseling online. Di sisi lain, sebanyak 52.6% responden memilih konseling online tidak efektik karena berpendapat pentingnya kedekatan fisik antara konselor dan klien yang akan membantu konselor dalam memahami gestur tubuh, ekspresi, dan kedekatan secara emosional dengan klien, hal ini akan mengakibatkan ketidakakuratan diagnosa dan memungkinkan pemberian intervensi yang tidak efektif dikarenakan kurangnya informasi non verbal klien yang merupakan kelemahan konseling online (Aisa, 2020). Selain itu jaringan internet yang berkendala juga menjadi alasan responden merasa konseling onlinetidak efektif.
Konseling online juga tidak cocok untuk diberikan kepada klien yang memiliki indikasi seperti keinginan bunuh diri dan depresi ekstrim. Besarnya keraguan tentang ketidakefektifan konseling online juga bisa terjadi dikarenakan responden belum pernah melakukan konseling online.
Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa responden terbanyak berpikir bahwa konseling online hanya memerlukan biaya berkisar Rp 50.000 – Rp 60.000 per jamnya dalam melakukan konseling online. Faktanya harga tersebut merupakan harga terendah yang bisa ditemukan melalui aplikasi kesehatan konseling online melalui live chat dengan psikolog selama 30 menit. Untuk mendapat jasa konseling onlinemelalui via telepon atau video call, biaya yang perlu dikeluarkan bisa sebesar Rp 250.000 – Rp 300.000 per jamnya (satupersen.net). hal ini bisa terjadi dikarenakan adanya ketidaktahuan responden mengenai biaya jasa konseling, atau harapan responden yang sebenarnya mengenai biaya konseling online.
Meski begitu, sebagian besar responden yang memilih untuk mencoba atau merekomendasikan konseling online sebanyak 77% dan 23% responden yang memilih untuk tidak merekomendasikan konseling online. Tingginya responden akan merekomendasikan konseling online ini kemungkinan merupakan dampak dari kelebihan-kelebihan konseling online yang lebih fleksibel dan efisien dibanding konseling tatap muka.
Referensi:
Aisa, A. (2020). Layanan Cybercounseling pada Masa Pandemi Covid-19. Edu Consilium: Jurnal Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam, 1(2), 35-47.
Duniawati, D. S. (2019). Pengembangan model konseling online: Studi deskriptif pada platform konseling online Ibunda. Id. Dissertation. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Hackney, H., & Cornier, L. S. (2005). The professional counselor: A process guide to helping. Pearson.
Ierardi, E., Bottini, M., & Riva Crugnola, C. (2022). Effectiveness of an online versus face-to-face psychodynamic counselling intervention for university students before and during the COVID-19 period. BMC psychology, 10(1), 1-10.
Kasmi, K., & Nurjannah, N. (2021). Penggunaan Konseling Online Dengan Teknik Relaksasi Pada Orang Dalam Pengawasan (ODP) Covid-19: Sebuah Studi Kualitatif [Using Online Counseling With Relaxation Technique For Person Under Surveillance Covid-19: A Qualitative Study]. Journal of Contemporary Islamic Counselling, 1(1).
Koutsonika, H. (2009). E-Counseling: the new modality. Online Career Counseling-a challenging opportunity for greek tertiary education.
Purwaningrum, R., Asrowi, A., Susilo, A. T., & Suryawati, C. T. (2021). Aplikasi konseling online pada masa pandemi Covid-19: systematic literature review. TERAPUTIK: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 5(2), 185-198.
Situmorang, D. D. B., (2020). Online/Cyber Counseling Services in the COVID-19 Outbreak: Are They Really New? Journal of Pastoral Care & Counseling, 74(3) 166–174 DOI: 10.1177/1542305020948170.