ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 15 Agustus 2022

Stres dan Coping Stres pada Mahasiswa Rantau Tingkat Akhir selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

 

Oleh:

Shania Suryadinata & Mohammad Adi Ganjar Priadi

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Latar belakang pernasalahan

Situasi pandemi yang mulai menerpa Indonesia pada awal tahun 2020 memukul segala lini kehidupan tanpa terkecuali pendidikan tinggi. Meskipun pada aspek pendidikan tinggi, pelajar sudah dapat secara mandiri belajar dibandingkan dengan jenjang tingkat pendidikan lainnya, akan tetapi bukan berarti dalam pelaksanaannya dapat berjalan tanpa hambatan. Salah satu yang cukup sering dikeluhkan dalam pembelajaran jarak jauh, adalah beban perkuliahan yang justru semakin tidak terkendali, karena berkejaran dengan tanggung jawab urusan domestik, seperti melakukan pekerjaan tertentu di rumah maupun menyelesaikan tanggung jawab di luar urusan akademik. Hal ini juga tentunya dapat berkontribusi menimbulkan stres pada mahasiswa. Stres diartikan oleh Folkman (1984), sebagai sesuatu yang signifikan dan dinilai secara personal yakni ketika mendapat tuntutan yang melampaui sumber daya individu. Dalam konteks menuntut ilmu, tak jarang seseorang harus berpisah untuk sementara dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Hal ini kemudian berdampak pada timbulnya stres yang dirasakan, apalagi ketika individu dituntut untuk tetap menyelesaikan program pembelajarannya dibarengi dengan mengalami masa pandemi yang berkepanjangan. 

 

Definisi stres

Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres sebagai sebuah hubungan antara kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi lingkungan dengan penilaian kognitif individu terhadap tingkat dan tipe tantangan, kesulitan, kehilangan maupun ancaman (Grant, dkk, 2003). Harrington (2013) yang mengembangkan teori dari Lazarus mendeskripsikan stres sebagai kumpulan dari reaksi kognitif, emosional, fisiologis, dan perilaku yang sebuah organisme alami ketika ia menghadapi ancaman dan tantangan.

 

Serupa dengan penjelasan Lazarus dan Folkman, Sarafino dan Smith (2011) yang juga mengembangkan teori dari Lazarus dan Folkman menjelaskan bahwa stresor bisa datang dari dalam diri individu (sources within the person) termasuk ekspetasi yang ada, dari keluarga (sources in the family) satu sisi memberikan kenyamanan tapi sisi lain memberikan  konflik, dan dari komunitas dan masyarakat (sources in the community and society) misalnya tuntutan beban pekerjaan.

 

Definisi Coping Stress

Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai sebuah proses dalam mengatasi situasi atau kondisi yang dinilai dan dianggap oleh seseorang sebagai situasi yang melebihi sumber dayanya. atau kesejahteraannya. Lebih lanjut, Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) mengembangkan dimensi coping stress menjadi lebih spesifik yang diberi nama brief COPE, dengan tiga tipe pengelompokan yaitu problem-focused copingemotion-focused coping dan dysfunctional coping, yang terdiri dari 14 strategi coping

 

Metode penelitian 

Penelitian dilakukan kepada 5 partisipan secara kualitatif. Partisipan merupakan mahasiswa rantau S1 semester 5-7. Selama pandemi berlangsung, kelima partisipan memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan tinggal di tempat indekost masing-masing. Kelima partisipan tersebut terdiri dari 2 laki-laki dan 3 perempuan yang berasal dari lima fakultas dan kampus yang berbeda di Jawa. 

 

Hasil 

Salah satu hal yang membuat partisipan merasakan stres yakni timbulnya kekhawatiran mengenai kondisi orangtua mereka yang tinggal secara berjauhan. Dalam kondisi pandemi, selain karena pertemuan yang terbatas, partisipan juga merasakan sulitnya untuk tetap membina kontak secara intens dengan anggota keluarga. Banyaknya alternatif penggunaan media secara virtual juga dinilai tidak dapat menggantikan kualitas tatap muka secara langsung. Padahal partisipan merasa dukugan sosial amatlah berarti dalam kondisi pandemi, untuk melepaskan penat dari berlangsungnya pembelajaran jarak jauh. 

 

Kesimpulan

Pembelajaran jarak jauh merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari hingga saat ini. Meskipun demikian, beberapa institusi pendidikan mulai memberlakukan blended learning system dengan ketentuan melakukan kegiatan perkuliahan tatap muka 50%. Sistem ini juga diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk kembali optimal dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian, mahasiswa dapat memupuk harapan secara optimis akan situasi pandemi yang berangsur pulih dan berpusat pada coping ketika menghadapi stres yang terkait dengan pembelajaran jarak jauhSecara rinci, tiga dari lima partisipan menggunakan kombinasi strategi problem focused coping, emotion focused coping dan dysfunctional copingdalam mengelola stresor yang muncul. Pada emotion-focused coping, kelima partisipan menginterpretasikan stresor yang ada secara positif yang masuk ke dalam positive reframing. Artinya, saat sedang menghadapi tuntutan yang ada, partisipan akan berupaya melakukan refleksi diri. Pada dysfunctional coping, kelima partisipan melakukan self-distraction dalam rangka mencari distraksi diri dari tekanan yang ada.

 

 

Referensi:

Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub, J. K. (1989). Assessing coping strategies: A theoretically based approach. Journal Personality & Social Psychology, 56, 287-283.

 

Folkman, S. (1984). Personal control and stres and coping processes: A theoretical analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 839-852.

 

Grant, K.Z., Compas, B.C., Thurm, A.E., McMahon, S.D. & Gipson, P.Y. (2003). Stressors and child and adolescent psychopathology: Evidence of moderating and mediating effects. Clinical Psychology Review. 26, 257-283.

 

Harrington, R. (2013). Stress, health; and well-being: thriving in the 21st century. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

 

Sarafino, E.P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology: Biopsychosocial Interactions (7th Ed.). NY: John Wiley & Sons.