ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 15 Agustus 2022

Mengembalikan Bentuk Tubuh Seperti Sebelum Kehamilan, Ekspektasi atau Realita? 

 

Oleh:

Calista Victoria Mayadhyanie & Nanda Rossalia

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Hamil vs pascamelahirkan

Perubahan fisik maupun psikologis dapat memberikan makna yang beragam pada ibu pascamelahirkan. Selama kehamilan, ibu akan mengalami berbagai perubahan fisik seperti perut yang membesar seiring berkembangnya janin, muncul garis kehamilan, areola semakin menggelap, jerawat, rambut rontok, maupun stretch mark pada kulit (Cunningham et al., 2010; Carroll, 2019). Berlanjut pada periode pascamelahirkan, sebagian ibu diperhadapkan dengan kondisi bahwa perutnya belum kembali ramping atau dikenal sebagai post baby bump. Tentunya proses pemulihan badan akan berbeda pada setiap ibu, namun apabila ibu pascamelahirkan kurang bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut maka hal itu dapat menimbulkan ketidaknyamanan. 

 

Citra tubuh pada ibu pascamelahirkan

Perubahan fisik berkontribusi kepada cara ibu pascamelahirkan menilai dan memperhatikan tubuhnya. Cash (2011) mendefinisikan citra tubuh sebagai konstruk multidimensi yang meliputi sikap dan persepsi individu akan tubuhnya, termasuk pikiran, keyakinan, perasaan, dan perilaku. Nyatanya, citra tubuh ini tidak sekedar terbatas kepada cara individu menilai tubuhnya tetapi memengaruhi kepercayaan diri, relasi sosial, maupun ketahanan diri. Dengan kata lain, citra tubuh erat kaitannya dengan kesejahteraan psikologis maupun kesehatan pada ibu pascamelahirkan (Skouteris, 2011). 

 

Beda budaya, beda konsep tubuh ideal

Tidak dapat dipungkiri bahwa umumnya masyarakat melihat wanita dari penampilan fisik (Cash, 2011). Dengan demikian, penampilan menjadi salah satu faktor yang penting bagi sebagian wanita. Berdasarkan studi terdahulu oleh Nash (2012) menunjukkan bahwa sebagian ibu pascamelahirkan di Australia merasa kurang puas, asing, dan khawatir tidak bisa mengembalikan bentuk tubuh seperti semula. Bahkan istilah ‘Yummy Mummy’ sempat terkenal dan digunakan untuk menggambarkan ibu yang atraktif. Grogan (2017) mengungkapkan bahwa periode pascamelahirkan rentan akan ketidakpuasan tubuh. Namun yang menjadi menarik adalah hasil penelitian tidak selalu konsisten karena beberapa ibu pascamelahirkan ada yang menunjukkan citra tubuh positif meski penampilannya berubah. Hasil penelitian Ridwan et al. (2017) menunjukkan bahwa sebesar 67% ibu pascamelahirkan di Jakarta mempunyai citra tubuh positif dan 83% harga diri yang tinggi. Berdasarkan berbagai studi terdahulu, budaya menjadi salah satu faktor yang memengaruhi standar tubuh ideal pada setiap negara. Grogan (2017) melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mayoritas wanita di budaya Barat memandang bahwa standar yang ideal meliputi tubuh langsing, sementara Lee (dalam Chang et al., 2006) mengungkapkan bahwa budaya China tradisional mempercayai bahwa tubuh gemuk atau ‘pon-peing’ mengindikasikan kemakmuran. 

 

Gambaran beserta faktor yang berkontribusi terhadap perubahan tubuh  pascamelahirkan

Hasil penelitian kepada dua primipara dan satu multipara yang telah melewati 1-2 tahun pascapersalinan sesar menunjukkan bahwa kedua partisipan membentuk penilaian negatif dan memandang tubuhnya tidak menarik pascamelahirkan. Sementara satu ibu primipara memandang tubuhnya menarik dan percaya diri dengan penampilannya. Meskipun mereka mengalami perubahan pada rambut, lengan, dan aspek tubuh lainnya, mereka memberikan perhatian khusus pada bentuk tubuh dan perut. Namun seiring waktu, mereka memfokuskan perhatian kepada kebutuhan anak. Terdapat enam tema yang menggambarkan citra tubuh ibu pascamelahirkan: 

1.    Berat badan dan bentuk tubuh 

Sebelum melahirkan, partisipan mempunyai perkiraan dan harapan bahwa berat badannya akan turun drastis pascamelahirkan. Namun sesaat setelah melahirkan, mereka menerima realita bahwa berat badannya belum turun drastis. Oleh karena itu, mereka mempunyai persepsi bahwa tubuhnya terlihat gemuk. Saat menjalani peran sebagai ibu yang merawat anak dan berkurangnya waktu beristirahat, mereka mengalami penurunan berat badan di enam bulan pascamelahirkan. Padahal mereka tidak menjalani diet atau olahraga. Namun setelah anaknya memasuki usia 1 tahun dan frekuensi memberikan ASI berkurang, partisipan menyadari bahwa berat badannya bertambah.  

2.    Post baby bump

Partisipan merasa nyaman dan bahagia dengan perut yang membuncit (baby bump) seiring berkembangnya usia kandungan. Beberapa minggu pascamelahirkan, mereka mampu menerima realita bahwa perutnya masih membuncit. Akan tetapi setelah 3-6 bulan pascamelahirkan, mereka mulai mempertanyakan perut yang bergelambir, post baby bump, stretch marks, dan luka bekas jahitan operasi sesar yang tidak kunjung hilang. Alhasil, perubahan tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan mereka menyiasatinya dengan pemilihan pakaian maupun krim anti stretch mark.  

3.    Menyusui 

Salah satu pertimbangan ibu pascamelahirkan adalah menyusui anaknya sehingga belum bisa menjalani diet. Mereka menyadari bahwa nutrisi dan gizi yang dikonsumsi oleh ibu berdampak kepada kualitas ASI yang dibutuhkan bayinya. Selain ASI, payudara juga mengalami perubahan tetapi mereka berusaha menyiasati dengan pemilihan pakaian yang tidak ketat dan berfokus kepada kemampuan tubuhnya untuk memproduksi ASI.  

4.    Perbandingan sosial dengan sesama ibu pascamelahirkan 

Partisipan menyadari bahwa konsep tubuh ideal ibu pascamelahirkan terbentuk dari peran media sosial maupun orang di lingkungan sekitar. Pada kenyataannya, setiap individu mempunyai karakteristik fisik sehingga dibutuhkan proses dan tidak semua individu dapat kembali ke tubuh seperti sebelum hamil. Terlepas dari perasaan minder dan mempertanyakan cara mencapai bentuk tubuh yang diharapkan, ibu pascamelahirkan melihat dari sudut pandang lain dan berfokus kepada penerimaan diri.   

5.    Penilaian diri sendiri

Ketidaknyamanan akan perubahan tubuh pascamelahirkan umumnya dirasakan ketika memandang refleksi diri di cermin. Setiap individu mempunyai standar tubuh ideal yang ingin dicapai sehingga hal tersebut berkontribusi terhadap citra tubuh. Yang menjadi kekhawatiran adalah apabila terdapat kesenjangan antara standar tubuh ideal dan realitanya. Namun partisipan penelitian mempunyai harapan yang realistis dan meyakini bahwa penampilan fisik maupun perawatan khusus pascamelahirkan bukan menjadi prioritas karena teralihkan dengan anak, keluarga, maupun pekerjaan.  

6.    Dukungan sosial

Evaluasi dan dukungan dari orang lain berkontribusi terhadap pembentukan citra tubuh. Apabila suami tidak memberikan penilaian negatif dan harapan, maka ibu pascamelahirkan cenderung berpikir bahwa kondisinya wajar dan mengembangkan penilaian positif. Sementara apabila terdapat harapan, maka ibu pascamelahirkan cenderung mengembangkan penilaian negatif dan perasaan tidak nyaman.  

 

Bagaimana solusinya? 

Tentunya perubahan fisik merupakan hal yang wajar dan tidak bisa dihindari, namun ibu pascamelahirkan dapat melakukan beberapa cara untuk berdamai dan menerima perubahan tubuh. Perlu diingat bahwa tidak ada salahnya bagi ibu pascamelahirkan menyempatkan waktu untuk diri sendiri, seperti melakukan perawatan wajah maupun aktivitas yang disukai. Ibu pascamelahirkan dapat mengomunikasikan secara asertif mengenai kebutuhan, perasaan, maupun pikiran kepada pasangan atau orang di lingkungan sekitar. Sementara untuk significant other maupun masyarakat dapat memberikan dukungan kepada ibu pascamelahirkan yang sudah melewati berbagai perubahan fisik, psikologis, dan beradaptasi dengan peran baru.

 

Accepting your new, postpartum body can be a struggle, but strive to avoid negative self-talk — and remember that self-care is not selfish.

Alexandra Sacks, M.D.

 

 

Referensi:

 

Carroll, J. L. (2019). Sexuality now: Embracing diversity (6th ed.). Cengage Learning.

 

Cash, T. F. (2011). Cognitive-behavioral perspectives on body image. In. T. F. Cash & Smolak, L (Eds.), Body image: A handbook of science, practice, and prevention (2nd ed, pp.39-47). The Guilford Press. 

 

Chang, S. R., Chao, Y. M., Kenney, N. J. (2006). I am a woman and I’m pregnant: Body image of women in Taiwan during the third trimester of pregnancy. Birth, 33(2), 147-153. 

 

Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong, C. Y. (2010). Williams obstetrics (23rd ed.). McGraw-Hill. 

 

Grogan, S. (2017). Body image: Understanding body dissatisfaction in men, women, and children (3rd ed.). Routledge. 

 

Nash, M. (2012). Making ‘postmodern’ mothers: Pregnant embodiment, baby bumps, and body image. Palgrave Macmillan. 

 

Ridwan, K., Febriani, Z., & Marhamah, S. (2017). Hubungan antara body image dengan self esteem pada wanita dewasa muda pascamelahirkan di Jakarta serta tinjauannya dalam islam. Jurnal Psikogenesis, 5 (1).  

 

Skouteris, H. (2011). Body image issues in obstetrics and gynecology. In T. F. Cash & L. Smolak (Eds.), Body image: A handbook of science, practice, and prevention (2nd ed, pp. 342-349). The Guilford Press.