ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 14 Juli 2022

Cuti Ayah: Langkah Penyetaraan Upah Antargender

 

Oleh:

Gideon1 & Ellyana Dwi Farisandy2

1Program Studi Psikologi, Universitas Kristen Krida Wacana

2Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Dunia saat ini sudah memasuki jaman modern, jaman di mana banyak masyarakat dianggap sudah berpikiran terbuka dan kritis. Salah satu keterbukaan pikiran yang dianggap dimiliki oleh masyarakat, termasuk di Indonesia, adalah kesetaraan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Jika dilihat sekilas memang rasanya laki-laki dan perempuan sudah mendapat kesetaraan, banyak apresiasi dan penghargaan sudah diberikan tanpa memandang perbedaan gender. Namun tahukah Anda bahwa sebenarnya dalam dunia kerja tidak seperti itu kenyataannya? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki tidak memiliki rata-rata pendapatan yang sama. Perempuan cenderung memiliki pendapatan/upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki di dunia pekerjaan. Berita dari kumparanBISNIS menunjukkan bahwa hingga tahun 2021 masih ada diskriminasi upah yang dialami pekerja perempuan di Indonesia (Ananda, 2021). Dosen Hukum Ketenagakerjaan UGM, Nabiyla Risfa Izzati dalam kumparan BISNIS menyatakan bahwa mayoritas pekerja perempuan Indonesia mendapat gaji 23 persen lebih rendah dari laki-laki (Ananda, 2021). Penelitian juga menemukan bahwa terdapat diskriminasi upah pekerja perempuan pada sektor manufaktur di mana pekerja perempuan mendapat upah yang lebih rendah meskipun memiliki tingkat produktivitas kerja yang setara atau lebih tinggi dibanding laki-laki (Laili & Damayanti, 2019).

 

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan diskriminasi upah antargender di Indonesia terjadi. Salah satu faktor terbesar yang menyebabkan diskriminasi tersebut adalah kurang diterapkannya perlindungan terhadap hak-hak ketenagakerjaan pada pekerja perempuan (Susiana, 2017). Di antara berbagai hak-hak ketenagakerjaan pekerja perempuan, hak cuti hamil (maternity leave) adalah salah satunya. Hak pekerja perempuan sudah diatur dalam beberapa peraturan seperti UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU nomor 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dan lain sebagainya. Salah satu penggolongan hak pekerja perempuan adalah hak atas cuti haid, cuti hamil dan keguguran, serta hak atas pemberian kesempatan menyusui (Rosalina, dalam Adityarani, 2020). Diskriminasi hak pekerja perempuan yang disoroti dalam kasus ini justru timbul dari adanya hak-hak di atas. Pekerja perempuan yang mengambil cuti haid, cuti hamil, dan cuti menyusui dianggap tidak profesional dan perlu diberikan penurunan upah (Ananda, 2021). Namun, di Indonesia ternyata juga sudah ada “cuti hamil dan melahirkan” untuk laki-laki. Istilah ini dikenal dengan “paternity leave” yang juga diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003. 

 

DEFINISI PATERNITY LEAVE (CUTI AYAH)

Maternity leave atau cuti hamil dan melahirkan sudah banyak didengar dan diketahui oleh masyarakat, namun tidak dengan paternity leave (cuti ayah). Cuti ayah di Indonesia belum banyak diketahui dan berujung pada sedikitnya pekerja laki-laki yang memanfaatkan hak cuti ayah mereka (Kurmala, 2020). Secara umum cuti ayah dapat diartikan sebagai sebuah periode singkat untuk mengambil cuti bekerja bagi para pekerja laki-laki tepat setelah kelahiran anak mereka (Turner, 2014). Dalam UU nomor 13 tahun 2003, pasal 93 ayat 4 huruf (e) dijelaskan bahwa pekerja laki-laki berhak mendapatkan cuti selama dua hari untuk menemani istrinya yang melahirkan atau keguguran. Meski sudah diatur di dalam Undang-Undang, kebijakan cuti ayah berbeda-beda di setiap perusahaan tergantung kebijakan yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Di berbagai negara, cuti ayah sudah banyak diterapkan dengan durasi cuti yang beragam mulai dari satu hari hingga 54 hari dengan bayaran penuh (Turner, 2014). 

 

SOLUSI YANG DITAWARKAN

Fakta bahwa masih terdapat diskriminasi upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antar gender di dunia pekerjaan. Salah satu pola pikir yang menumbuhkan diskriminasi upah tersebut adalah pola pikir yang menganggap bahwa mengambil cuti hamil bagi pekerja perempuan adalah sebuah keharusan dan dinilai tidak profesional. Pekerja perempuan dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu dapat mengurangi pendapatan mereka sebagai pekerja. Padahal peran pekerja laki-laki sebagai suami dan ayah dalam rumah tangga sama pentingnya dengan pekerja perempuan. Cuti ayah memberikan kesempatan bagi para pekerja laki-laki untuk membangun kelekatan sejak dini dengan anak mereka dan lebih terlibat aktif dalam proses tumbuh kembang anak (Ariyani, 2017). Hal tersebut tentunya dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan berkeluarga setiap pekerja baik laki-laki dan perempuan. Kehidupan berkeluarga yang baik dapat berpengaruh baik juga terhadap produktivitas setiap pekerja baik laki-laki maupun perempuan. 

 

Artikel ini ingin mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menyadari bahwa laki-laki juga berperan penting dalam proses tumbuh kembang anak-anak mereka. Pandangan mengenai ayah bertanggung jawab untuk bekerja dan ibu mengurus rumah tangga perlu dihilangkan. Peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam mengurus hal-hal rumah tangga. Perlu ditekankan dan digaungkan bahwa pengambilan cuti ayah bagi para pekerja laki-laki merupakan hal yang sangat wajar bahkan penting. Maka dari itu, solusi nyata yang dapat ditawarkan penulis adalah memperpanjang durasi cuti ayah yang dapat diambil oleh pekerja laki-laki dan mewajibkannya. Durasi cuti ayah yang semula hanya dua hari dapat diperpanjang menjadi 2 bulan, dengan pembagian 1 bulan sebelum istrinya melah Pihak pemerintah dapat memperbaharui kebijakan yang sudah ada dan tentunya didukung dengan keterlibatan pihak perusahaan terhadap kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan baru ini diharapkan dapat mengubah pandangan masyarakat luas bahwa sebenarnya memanfaatkan cuti ayah bagi pekerja laki-laki sama pentingnya dengan pekerja perempuan yang memanfaatkan cuti hamil dan melahirkan. Perubahan pandangan ini juga diharapkan dapat berujung pada tidak adanya kesenjangan upah antar gender di dunia pekerjaan di Indonesia.

 

 

REFERENSI

 

Adityarani, N. W. (2020). Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan Sebagai Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Dan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Di Indonesia. Jurnal Fundamental Justice1(1), 28–45. https://doi.org/10.30812/fundamental.v1i1.631

 

Ananda, F. R. (2021, Oktober 29). Masih Ada Diskriminasi, Gaji Pekerja Perempuan Lebih Rendah dari Laki-Laki. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanbisnis/masih-ada-diskriminasi-gaji-pekerja-perempuan-lebih-rendah-dari-laki-laki-1wocIyI0vy9/full

 

Ariyani, D. (2017). Paternity Leave (Cuti Ayah): Apa, Bagaimana dan untuk Apa? Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender Dan Anak12(2), 351–366. https://doi.org/10.24090/yinyang.v12i2.2017.pp351-366

 

Kurmala, A. (2020, Februari 29). Paternity leave offers opportunity for fathers to bond with newborns. Antarnews. https://en.antaranews.com/news/142514/paternity-leave-offers-opportunity-for-fathers-to-bond-with-newborns

 

Laili, M. H., & Damayanti, A. (2018). Kesenjangan Upah Antargender di Indonesia: Bukti Empiris di Sektor Manufaktur. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, 1–21. https://doi.org/10.21002/jepi.v0i0.1096

 

Susiana, S. (2017). Perlindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial8(2), 207–222.

 

Turner, J. (2014). Maternity and paternity leave. In Manager (Issue SUMMER). https://doi.org/10.4135/9781452206905.n430