ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 14 Juli 2022

Tatap Muka Suara Virtual: Seberapa Atentif?

 

Oleh:

Rachel Aksana Vedherova Siagian, Wiwit Puspitasari Dewi

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Semenjak pandemi, segala pertemuan secara daring menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Dimulai dari bekerja daring, belajar daring, bahkan sampai kepada seminar daring dan pelatihan daring. Di situasi yang membatasi interaksi secara langsung ini, membuat manusia perlu kreatif dalam menanggapinya. Tatap muka secara langsung dikemas secara apik menjadi tatap muka virtual melalui dukungan teknologi yang semakin canggih.

 

Sayangnya, kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Tatap muka virtual yang diharapkan ternyata berubah menjadi fenomena layar hitam yang kerap menghiasi layar monitor, yang disebabkan karena ada orang-orang yang lebih memilih untuk tidak menyalakan kameranya. Istilah ‘tatap suara virtual’ agaknya lebih sesuai untuk keadaan yang tengah dihadapi para pelaku kegiatan virtual. Apa penyebabnya? kita tidak pernah tahu secara pasti. Semua orang memiliki alibinya tersendiri. Mungkin saja karena ia pemalu, merasa tidak nyaman, atau karena kamera dari perangkat yang ia gunakan sedang rusak.

 

Meski demikian, apapun alasan dan situasinya, tidak bisa dipungkiri bahwa menyalakan kamera memiliki kepentingan tersendiri. Secara rasional, dapat dikatakan bahwa dengan menyalakan kamera akan memungkinkan partisipan saling menatap satu sama lainnya. Dengan demikian, partisipan dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di seberang sana, di sisi partisipan lainnya. Selain bentuk menghargai, menyalakan kamera membantu masing-masing partisipan merasakan kebersamaan dan keberadaan nyata orang lain dalam pertemuan tersebut. Hal ini didukung oleh sebuah webcam survey berjudul “Exhausted or Engage? Meeting on Camera During Pandemic” yang dilakukan oleh Virtira Consulting terhadap 2.500 eksekutif, manajer, dan karyawan di berbagai jenis WFH, dimana survei terseut menunjukan bahwa 60% partisipan merasakan keterlibatan dan 65% partisipan merasa terkoneksi dengan timnya ketika menyalakan kamera (Virtira, 2021).

 

Namun, benarkah menyalakan kamera merupakan hal yang penting kita lakukan? Sebagai contoh, kita cenderung merasa bahwa dengan menyalakan kamera akan menjaga kita tetap atentif. Sayangnya, hasil survei menyatakan sebaliknya. Survei yang sama pada penjelasan sebelumnya menunjukan bahwa 32% partisipan merasa dengan menyalakan kamera dapat mendistraksi atensi mereka (Virtira, 2021). Hal ini disebabkan karena partisipan kesulitan berkonsentrasi ketika terlalu banyak input sensori pada layar, atau ketika mereka menjadi sadar akan dirinya sendiri (Virtira, 2021). Hal ini juga selaras jika kita mengacu pada definisi atensi, yaitu ketika kita secara aktif memproses informasi secara terbatas dari sejumlah besar informasi yang tersedia (Sternberg & Sternberg, 2016). Jika kita sedang mengikuti tatap muka virtual, ada begitu banyak informasi yang tersedia, dimulai dari suara pembicara, fitur chat meeting, sampai kepada visual teman-teman lainnya yang terus bergerak dalam satu layar yang sama. Sehingga, tidak heran jika dengan menyalakan kamera memunculkan problema pada atensi kita, yaitu memunculkan distraksi dalam bentuk input sensori visual. Sementara, jika kita kembali mengingat tatap muka yang sebenarnya, hal-hal seperti pergerakan teman kita memang mungkin mendistraksi, namun cukup dengan meluruskan kepala kita untuk menatap pembicara, kita sudah dapat terbantu untuk tetap fokus. Lain hal nya dengan tatap muka virtual, dimana semua informasi bersumber pada 1 perangkat yang sama, dan pada layar yang sama. Padahal, kita perlu memusatkan atensi kita mengingat keterbatasan yang kita miliki sebagai manusia. Maka dari itu, memang lebih baik untuk tidak menyalakan kamera agar kita tetap atentif.

 

Dalam membahas pertemuan virtual ini, perasaan keterlibatan dan atensi merupakan dua hal penting yang tak dapat diabaikan begitu saja. Namun, jika kita mengingat-ingat lagi, bukankah dalam setiap pertemuan virtual memiliki timeline tersendiri? Pada umumnya, akan ada sesi bertegur sapa di awal atau akhir pertemuan, maka benar adanya jika kita memperhatikan aspek engagement di sini. Sehingga, menyalakan kamera menjadi hal yang patut untuk diterapkan. Di lain sisi, ada sesi yang menuntut kita untuk berkonsentrasi ketika pertemuan berada pada intinya, seperti sesi materi pada seminar daring, atau kegiatan belajar-mengajar dalam belajar daring. Di saat itulah, agaknya bukan masalah jika kita memilih untuk mematikan kamera, ketika kita merasa sudah mulai terdistraksi.

 

Pada akhirnya, setiap kita perlu untuk memahami situasi.  Jika kita merupakan orang yang memiliki kontrol atas pertemuan yang sedang berlangsung, maka tugas kitalah untuk lebih peka terhadap situasi ini. Kita dapat mengajak partisipan untuk menyalakan kamera di awal atau akhir pertemuan, atau di sesi-sesi tertentu yang lebih menekankan keterlibatan partisipan. Sebaliknya, kita bisa menghimbau partisipan untuk mematikan kameranya pada sesi materi, atau sesi-sesi tertentu yang tidak terlalu menekankan keterlibatan partisipan dan lebih memerlukan atensi. Kalaupun kita hanya partisipan saja, kita juga bisa mengambil langkah dengan menyampaikan situasi kita pada para rekan, teman, atau partisipan lainnya, kemudian menyalakan ataupun mematikan kamera kita.

 

 

Referensi

 

Sternberg, R. J., & Sternberg, K. (2016). Cognitive Psychology (6th ed.). Cengage Learning.

 

Virtira. (2021). Exhausted or Engage? Meeting on Camera During the Pandemic. The Webcam Surveyhttps://info.virtira.com/webcam-survey