ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 13 Juli 2022
Dekat Di Mata, Jauh Di Hati:
Bagaimana Orang Tua Dapat Menjadi Sahabat Bagi Remaja?
Oleh:
Helsa
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Di dalam kehidupan manusia, salah satu fase perkembangan yang dilalui adalah fase remaja. Fase perkembangan remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Masa remaja sebenarnya merupakan masa yang menyenangkan. Hal ini dikarenakan remaja mulai mengeksplorasi lingkungan dengan lebih luas, seperti mengeksplorasi lebih dalam mengenai aktivitas yang diminati, tergabung dalam komunitas tertentu yang dapat memperluas pergaulan, munculnya ketertarikan dengan lawan jenis, dan lain sebagainya (Santrock, 2019).
Di sisi lain, masa remaja juga dikenal sebagai periode storm and stress. Proses kematangan fisik yang sedang berlangsung, antara lain berkembangnya bagian tubuh tertentu, berat badan yang meningkat, dan tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, dapat menjadi tantangan tersendiri bagi remaja. Adanya berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan remaja, seperti perubahan lingkungan dan pergaulan, serta gejolak emosi yang dirasakan, juga dapat membuat remaja semakin merasakan tantangan dalam kehidupannya.
Dalam melewati masa ini, orang tua tentunya ingin berperan untuk mendukung dan membantu anaknya. Akan tetapi, dalam pengamatan penulis, remaja seringkali ingin menyelesaikan permasalahannya sendiri, sehingga kurang mau menceritakannya kepada orang tua. Relasi yang tadinya intim, mungkin dapat menjadi lebih renggang ketika anak memasuki fase remaja. Hal ini dikarenakan mereka mulai menganggap bahwa mereka sudah dewasa, sehingga ingin berusaha mandiri dan ingin diakui oleh lingkungannya. Ketika masalah dapat terselesaikan, maka hal ini adalah hal yang baik karena remaja belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Lantas, bagaimana jika masalah berlarut terus, sehingga semakin mengganggu kehidupannya? Bagaimana sebaiknya orang tua merespon?
1. Menghargai privasinya.
Sebagai orang tua, kita terbiasa untuk terlibat penuh dalam mengatur kehidupan anak kita. Namun, seiring memasuki usia remaja, anak remaja kita semakin membutuhkan privasi. Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri. Oleh sebab itu, mereka memerlukan ruang untuk mengeksplorasi diri, termasuk saat menghadapi masalah. Selama masalah yang dialami tidak mengancam keselamatan jiwa anak maupun orang lain, berikanlah mereka ruang untuk berpikir dan mengeksplorasinya. Semakin kita memaksa mereka untuk bercerita, maka mereka akan semakin menolak untuk berbagi kepada kita.
2. Luangkan waktu secara konsisten.
Keterbukaan dalam bercerita sangat dipengaruhi oleh kualitas relasi orang tua dan anak remajanya. Bagaimana relasi yang selama ini dibangun? Pertanyaan ini mungkin perlu direnungkan juga oleh orang tua. Kenyamanan dan keterbukaan dalam relasi tidak bisa dibangun dalam satu malam saja. Dalam pengamatan penulis, orang tua seringkali baru menyadari untuk memberi waktu bagi anak remajanya ketika anak sudah mengalami masalah. Oleh sebab itu, mulailah dengan meluangkan waktu secara konsisten untuk remaja, misalnya dengan melakukan kegiatan bersama seperti membersihkan rumah, berbelanja, olahraga, dan lain sebagainya (McKee, 2014). Meski ini adalah proses yang membutuhkan waktu, perlahan-lahan anak remaja kita dapat melihat bahwa kita peduli padanya.
3. Menjadi pendengar yang baik.
Penulis mengamati bahwa alasan yang seringkali muncul dari remaja ketika menolak bercerita kepada orang tuanya adalah adanya kekhawatiran akan respon orang tua. Saat anak remaja kita mulai berbicara, kita seringkali ingin segera memberikan pendapat atau memberikan penilaian. Respon yang seperti ini biasanya akan membuat remaja kembali menutup diri. Oleh karena itu, terbukalah dengan apapun yang mereka katakan. Sekalipun hal tersebut membuat kita terkejut, berusahalah untuk tetap tenang dan tidak judgmental (McKee, 2014). Kita perlu melatih diri untuk berbicara dengan mereka tanpa membuatnya merasa terpojok atau diserang, sehingga mereka dapat merasa nyaman dengan kita.
4. Teruslah mencoba!
Ketika kita sudah beberapa kali mengusahakan hal-hal di atas, ada kemungkinan anak remaja kita tetap menolak untuk bercerita pada kita. Tidak apa-apa, teruslah mencoba!
Only when a child feels valued for who they are as an individual, can they fully open themselves up to trust and connection with caregivers, and connection is… everything.
-Angela Pruess-
Referensi:
McKee, J. (2014). Get your teenager talking: Everything you need to spark meaningful conversations. Minnesota: Bethany House Publishers.
Santrock, J.W. (2019). Adolescence (17th ed.). New York: McGraw-Hill.