ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 12 Juni 2022
Memproses Duka Kematian Mendadak
Oleh:
Sandra Handayani Sutanto
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Selama ini kita selalu mengasumsikan bahwa kematian akan datang kepada kita dengan cara perlahan seperti sakit yang cukup lama atau tutup usia karena lanjut usia. Tidak pernah terpikirkan atau jarang sekali kita membayangkan bahwa kematian akan datang secara mendadak, walaupun pada dasarnya kita tahu bahwa kita semua akan meninggal. Singkatnya kita tidak pernah disiapkan untuk kondisi kematian orang yang kita kasihi secara mendadak.
Kematian mendadak
Kehilangan orang yang dikasihi dengan cara mendadak selalu menimbulkan shock, perasaan tidak percaya. Ambil contoh (dari pengalaman penulis pribadi) bahwa almarhum ayah yang satu jam lalu berbicara dengan penulis, mendadak berpulang karena serangan jantung. Contoh lain, almarhum ibu yang tadi pagi mengantarkan anak ke sekolah, tidak bisa ditemui lagi di sore hari karena kecelakaan. Banyak pertanyaan yang mungkin timbul karena kematian mendadak ini, terutama pertanyaan “mengapa ini terjadi?’
Knittel (2016) menjelaskan tanda-tanda seseorang mengalami duka. Pertama tidak percaya dan shock, dan berharap hal ini tidak terjadi. Tanda yang kedua berupa kesedihan. Menerima kematian selalu dibarengi dengan kesedihan yang mendalam bagi orang yang ditinggalkan. Tanda ketiga berupa kemarahan pada orang yang meninggal atau kepada Tuhan, merasa bahwa hal yang dialami merupakan suatu yang tidak adil. Tanda yang keempat berupa perasaan bersalah, untuk ucapan atau perilaku yang kita ucapkan/lakukan atau tidak kita lakukan/ucapkan selama masa hidup orang yang kini meninggal.
Tahapan Berduka
Kubler Ross (dalam Grover, 2020) mengidentifikasi lima tahapan berduka mulai dari menyangkal hingga menerima. Berikut adalah tahapannya :
1. Penyangkalan. Saat mendapatkan kabar bahwa orang yang kita kasihi meninggal atau mendadak meninggal, rasa shock juga diiringi dengan mati rasa, perasaan terlepas, dan melakukan disosiasi. Kita berusaha untuk mengalihkan perhatian kita dengan sibuk untuk menghindari rasa sakit karena kehilangan.
2. Marah. Kemarahan muncul dan kita mulai menyalahkan berbagai pihak, diri sendiri, Tuhan, bahkan almarhum karena meninggalkan kita. Setelah menyalahkan, rasa sakit karena kehilangan tetap saja muncul. Kematian mendadak mungkin akan memunculkan rasa bersalah yang lebih besar bagi orang yang ditinggalkan.
3. Tawar menawar. Untuk meringankan rasa sakit karena kehilangan, kita akan melakukan proses tawar menawar seperti : saya akan berubah menjadi pribadi yang baik, asal saya diberikan kesempatan untuk berjumpa lagi dengan almarhum.
4. Depresi. Setelah melalui proses menyangkal, marah dan tawar menawar, rasa sakit yang sebenarnya muncul dalam tahapan depresi, di mana kita merasa semua yang dilakukan sia-sia, hingga melakukan kebiasaan merusak, menarik diri untuk mengurangi rasa sakit.
5. Menerima. Tahapan terakhir, saat kita menyadari bahwa ada hal yang berubah karena kehilangan yang kita alami namun hidup harus terus berjalan. Sebagian besar orang memilih untuk melihat kenangan bersama almarhum dengan cara yang baru.
Tahapan berduka bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, termasuk waktu yang diperlukan untuk memproses duka karena kematian mendadak. Kedekatan antara orang yang ditinggalkan dengan orang yang berpulang juga menentukan prosesnya. Bagi yang memiliki kedekatan emosional dan rasa bersalah, proses berduka memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan yang tidak dekat secara emosional.
Bantuan Melalui Proses Duka
Ferentz (2015) menjelaskan hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang yang mengalami kematian mendadak atau pihak yang memberikan dukungan pada orang yang ditinggalkan sebagai berikut :
· Memvalidasi perasaan shock dan tidak percaya yang dialami. Cobalah untuk menjadi mindful dengan situasi dan kondisi yang dialami.
· Menciptakan ruang yang aman dan penerimaan agar kemarahan karena kehilangan orang yang dikasihi bisa diekspresikan dan ditenangkan sebelum menyentuh rasa sedih yang sedang dialami.
· Memahami bahwa sebagian besar orang akan berusaha mencari jawaban mengapa peristiwa sedih ini terjadi. Bagi praktisi klinis atau tenaga profesional, penting untuk mengobservasi agar upaya pencarian jawaban—karena menyalahkan diri-- tidak berujung pada kegiatan yang merugikan.
· Belajar menerima bahwa tidak ada hal/usaha yang mereka bisa lakukan untuk mencegah kematian orang yang dikasihi. Kadangkala perilaku menyalahkan diri membuat orang yang ditinggalkan merasa bahwa seharusnya mereka bisa melakukan sesuatu untuk mencegah kepergian almarhum.
· Secara perlahan, menemukan makna dari peristiwa sedih tersebut, termasuk bersyukur untuk kesempatan hidup yang diberikan dan kebersamaan yang pernah dilalui dengan almarhum.
Sebagai kesimpulan, menjalani proses berduka karena kematian mendadak memang tidak mudah. Akan ada penyesalan, rasa sedih, pertanyaan yang muncul, namun pada akhirnya jika ditangani dan diproses dengan tepat, kita bisa sampai pada titik menerima.
Something the best thing you can do is not think, not wonder, not imagine, not obsess. Just breathe and have faith that everything will work out for the best.
-unknown-
Referensi:
Ferentz, L. (2015, Apr 6). Dealing with unexpected loss. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/healing-trauma-s-wounds/201504/dealing-unexpected-loss
Grover, S. (2020, Mar 2). Death shock : How to recover when a loved one dies suddenly. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/when-kids-call-the-shots/202003/death-shock-how-recover-when-loved-one-dies-suddenly
Knittel, M. (2016, Oct 4). Grief following sudden death of a loved one. Psychology Today.https://www.psychologytoday.com/us/blog/how-help-friend/201610/grief-following-sudden-death-loved-one