ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 12 Juni 2022

Is Gender Inequality The Main Reason? ─ Education Rights On Girls And Women

 

Oleh:

Aulia Diaz Kinanti dan Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Pendidikan menjadi hal penting bagi setiap orang sejak lama. Namun sayangnya, pendidikan bagi perempuan masih menjadi bias dan dianggap sebuah privilege hingga saat ini. Berdasarkan data perkiraan yang dikeluarkan oleh UNESCO, sebanyak 129 juta anak perempuan mengalami putus sekolah di seluruh dunia (The World Bank, 2022). Angka tersebut mencakup 32 juta perempuan putus sekolah di usia sekolah dasar, 30 juta perempuan usia sekolah menegah pertama, dan 67 juta perempuan usia sekolah menegah atas. Di Indonesia, berdasarkan pada data tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan bahwa rata-rata perempuan di Indonesia masih memiliki pendidikan yang rendah (KPPPA, 2016). Data tersebut menggambarkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Namun, berdasarkan data Gender Parity Index (GPI) tahun 2019, sebenarnya Indonesia telah mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan (Yarrow & Afkar, 2020). Lantas, apa yang menjadi penyebab rendahnya pendidikan perempuan di Indonesia?

 

GIRLS AND WOMEN’S RIGHT ON EDUCATION

Menurut UNICEF (2022), pendidikan pada anak perempuan mampu memperkuat perekonomian. Hal ini dikarenakan adanya kontribusi yang lebih stabil pada masyarakat karena adanya pemberian kesempatan yang sama pada setiap individu. Hak perempuan untuk mengenyam pendidikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (KPPPA, 2020). Di dalam Undang-Undang tersebut tertulis bahwa setiap perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran di berbagai jenis, jenjang, dan jalur pendidikan dengan tetap menyesuaikan persyaratan yang ada. Hal ini seharusnya dapat terlaksana dengan baik. Sayangnya, masih banyak anak perempuan di Indonesia yang tidak bersekolah sama sekali maupun putus sekolah. Padahal, pendidikan bagi perempuan sudah diperjuangkan sejak dulu.

 

WHAT ARE THE CAUSES?

1.  Gender-Biased and Stereotyping

Indonesia menjadi salah satu negara yang masih memiliki bias gender dan stereotyping cukup kuat hingga saat ini. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Habib et al. (2020) menunjukkan adanya stereotipe dalam buku Bahasa Inggris Sekolah Menengah Pertama yang dipublikasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya beragam stereotipe terkait gender dalam materi baik berbentuk teks maupun gambar.

 

2.  Socioeconomic Status

Kondisi ekonomi menjadi alasan utama anak-anak, terutama perempuan, untuk tidak bersekolah. Berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2012, ditemukan bahwa alasan anak-anak tidak menduduki bangku pendidikan mayoritas dikarenakan adanya kekurangan dalam segi finansial keluarga (UNFPA, 2015). Kebanyakan anak-anak dengan kondisi ekonomi keluarga rendah dipaksa untuk bekerja dan membantu pemasukan keluarga.

 

3.  Child Marriage

Pernikahan anak usia dini saat ini masih banyak terjadi di Indonesia. Data SUSENAS 2012 mendapati alasan terbesar kedua mengapa anak perempuan tidak bersekolah adalah karena menikah dan memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga (UNFPA, 2015). Rata-rata perempuan, terutama di pedesaan dan daerah kecil, menikah pada usia remaja dan putus sekolah.

 

4.  Violence Against Girls

Bullying yang terjadi di sekolah bukanlah lagi hal tabu. Kekerasan lain di sekolah juga dirasakan bagi anak-anak, terutama perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh The International Center for Research on Women (ICRW) mengungkapkan bahwa 84% anak-anak usia sekolah di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik di sekolah, saat menju ke sekolah, maupun di rumah ("ICRW: 84% of School-Aged Indonesian Children Experiences Violence", 2018). Kekerasan tersebut berupa kekerasan berbasis gender, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, hingga ancaman dalam bentuk kekerasan.

 

IS THERE ANY SOLUTION?

1.  Giving Scholarship

Berdasarkan UNFPA (2015), salah satu cara agar anak tetap bersekolah adalah dengan memberikan beasiswa kepada keluarga yang membutuhkan bantuan ekonomi. Saat ini, masih sedikit beasiswa yang diberikan kepada anak-anak dengan keluarga ekonomi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma et al. (2017) menunjukkan bahwa pemberian beasiswa pada anak-anak keluarga kurang mampu dapat meningkatkan pencapaian pendidikannya secara efektif. Selain itu, pemberian beasiswa ini juga dinilai mampu mengurangi kemungkinan drop-out.

 

2.  Applying Gender Equality in School

Berdasarkan analisis Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) (2013), salah satu cara terbaik untuk menerapkan gender equality di sekolah adalah dengan melakukan revisi pada kurikulum pendidikan. Revisi ini dilakukan tekait materi yang terdapat pada buku pembelajaran, yakni dengan memasukkan bahan-bahan materi yang tidak bersifat gender-sensitive dan mengandung perspektif gender tertentu, serta menghapus materi yang mengandung gender stereotypes. Selain itu, UNICEF (2022) juga menilai bahwa dengan adanya penerapan sistem pendidikan dengan kesetaraan gender, maka sumber daya akan lebih berkembang. Hal ini dikarenakan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, dapat mampu melakukan pengembangan keterampilan hidup yang sebelumnya terhalangi.

 

3.  Improving School Safety for Girls

Peningkatan keamanan sekolah terkait kekerasan dalam bentuk apapun pada anak-anak wajib untuk ditingkatkan. Menurut National Center on Safe Supportive Learning Environments (2022), sekolah yang aman adalah sekolah yang mampu memberikan perlindungan dari kekerasan, ancaman, pencurian, hingga bullying bagi para siswanya. Hal ini dinilai mampu meningkatkan kredibilitas siswa dan sekolah.

 

 

 

Referensi:

 

ACDP. (2013). Gender Equality Goes Beyond Access: Gender Responsive Teaching & Learning Approaches. Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, 1–5. www.acdp-indonesia.orgHabib, F. A., Wija Putra, B. A., & Setyono, B. (2020). Gender Stereotypes Portrayed in a Senior High School English Textbook Published by Indonesia Ministry of Education and Culture. Jurnal Edukasi7(3), 22. https://doi.org/10.19184/jukasi.v7i3.21602

ICRW: 84% of School-Aged Indonesian Children Experiences Violence. (2018, October 19). Tempo.Co. https://en.tempo.co/read/647110/icrw-84-of-school-aged-indonesian-children-experiences-violence

Kharisma, B., Satriawan, E., & Arsyad, L. (2017). The impact of social safety net scholarships program to school dropout rates in Indonesia: The intention-to-treat analysis. The Journal of Developing Areas51(4), 303–316. https://doi.org/10.1353/jda.2017.0103

KPPPA. (2016). Potret Ketimpangan Gender dalam Ekonomi. In Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

KPPPA. (2020). Profil Perempuan Indonesia. In Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

National Center on Safe Supportive Learning Environments. (2022). Safety. https://safesupportivelearning.ed.gov/topic-research/safety

The World Bank. (2022). Girls’ education. Worldbank.Org. https://www.worldbank.org/en/topic/girlseducation#1

UNFPA. (2015). Women and Girls in Indonesia: Progress and Challanges. In United Nations Funds for Population Activities (Vol. 118, Issue 5).

UNICEF. (2022). Girls’ education: Gender equality in education benefits every child.

Yarrow, N., & Afkar, R. (2020). Gender and education in Indonesia: Progress with more work to be done. Blogs.Worldbank.Org. https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/gender-and-education-indonesia-progress-more-work-be-done