ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 11 Juni 2022

Membela Idola Di Media Sosial: Identitas Sosial Dalam Fandom K-Pop

 

Oleh:

Made Syanesti Adishesa 

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Baru-baru ini, sebuah pertikaian di Twitter menjadi viral hingga masuk ke pemberitaan nasional (Pratiwi, 2022). Singkat cerita, seorang penggemar K-Pop (Korean Pop) dengan nama pengguna 'Safa' mengidolakan salah seorang anggota grup band. Ia mengungkapkan kesukaannya pada anggota tersebut dan beberapa pandangan negatif tentang anggota lain. Penggemar lain merasa tidak terima dengan cuitan-cuitan tersebut, sehingga terjadilah konflik antara 'Safa' dengan beberapa orang penggemar lain. Kedua kubu kemudian memutuskan berkomunikasi melalui panggilan video yang perbincangannya meliputi pengakuan sebagai ibu dari para anggota band, desakan permintaan maaf berisi tanda tangan orang tua dan materai, pengancaman tuntutan hukum, hingga intimidasi melalui kenalan salah satu kubu yang merupakan kader partai (Ilham, 2022). Isi percakapan yang unik tersebut membuat rekaman panggilan video ini menjadi bahan pembicaraan netizen.

 

Menurut pengamatan pribadi, sudut pandang yang diambil oleh para netizen dalam mendiskusikan fenomena cukup beragam. Beberapa orang menganggap perilaku kedua kubu berlebihan karena sampai membawa ranah hukum. Hal ini disebut sendiri oleh salah satu kubu yang mempersilakan kubu lawan untuk mengadukan ke polisi, karena hanya akan ditertawakan. Ada pula kelompok yang mengeluhkan fandom yang dianggap terlalu fanatik. Beberapa netizen merasa bahwa panggilan video tersebut termasuk perundungan karena beberapa orang dewasa (berusia di atas 18 tahun) berkumpul memarahi seorang anak remaja yang dianggap "belum tahu benar dan salah". Selain itu, tidak sedikit orang yang menjadikan fenomena ini sebagai inspirasi humor melalui meme. 

 

Mudah sekali bagi kita untuk menganggap bahwa perilaku membela idola sampai bertengkar dengan orang lain merupakan perilaku janggal. Mengapa berbuat sejauh itu hanya untuk artis yang bahkan belum tentu mengetahui keberadaan kita di dunia? Beberapa orang bahkan menyebutkan bahwa perilaku kedua kubu merupakan gejala gangguan psikologis yang membuat seseorang mengidolakan secara berlebihan hingga menyerupai obsesi. Akan tetapi, ilmu psikologi memberi tahu kita bahwa banyak perilaku kita yang didasari akan bias pribadi alih-alih pertimbangan rasional. Benarkah perilaku para penggemar yang terlibat dalam konflik tersebut menunjukkan sebuah 'obsesi' atau fanatisme? 

 

Berdasarkan sudut pandang psikologi, seorang penggemar K-pop dapat didefinisikan sebagai seseorang yang setia, antusias, dan pengagum berat dari budaya K-pop (Schroy et al, 2016). Dalam literatur mengenai perilaku pengidolaan, kita dapat membedakan antara fanship dan fandom. Fanship adalah keterikatan psikologis seorang penggemar terhadap idolanya (Schroy et al, 2016), sedangkan fandom adalah keterikatan psikologis seorang penggemar dengan penggemar lain (Reysen & Branscombe, 2010). Penelitian mengenai perilaku penggemar dalam konteks olahraga menunjukkan bahwa penggemar suatu klub olahraga menganggap "penggemar klub" sebagai bagian dari identitas dirinya (Reysen & Branscombe, 2010). Dalam teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1979), hal ini disebut sebagai self-categorization. Begitu kita telah mengkategorisasikan diri sebagai "anggota kelompok X", maka muncul pula kecenderungan untuk menganggap orang-orang di luar "X" sebagai sesuatu yang 'lain', 'berbeda', dan 'asing'. Bersama hal ini, muncul pula kecenderungan untuk menganggap bahwa kelompok kita lah yang paling baik (in-group favoritism). Selama kelompok tersebut memiliki citra yang positif, maka kita sebagai anggotanya juga turut merasa memiliki citra yang positif. Hal ini pula yang keanggotaan kita dalam kelompok, termasuk kelompok penggemar band K-pop, dapat memberikan kebahagiaan, kepercayaan diri, dan perasaan terhubung dengan lingkungan atau social connectedness (Laffan, 2020). 

 

Dalam teori identitas sosial, dikenal pula istilah social identification atau identifikasi sosialSemakin seseorang merasakan identifikasi yang kuat dengan kelompoknya, maka semakin tinggi pula ikatan emosional terhadap identitasnya sebagai anggota kelompok tersebut. Perilakunya pun menjadi selaras dengan pandangannya mengenai bagaimana seharusnya anggota kelompok tersebut bertindak. Sebagai contoh, semakin seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai "penggemar band X" atau "penggemar idola Y", maka ia akan semakin berperilaku seperti pandangannya tentang penggemar band X yang tipikal. Jika penggemar band X dikenal berdedikasi dan protektif terhadap idolanya, maka ia akan berperilaku demikian. Lebih jauh lagi social identification juga membuat kita menggantungkan kepercayaan diri kita dari keanggotaan dalam kelompok tersebut. Jika seseorang dianggap menghina kelompoknya, misalnya, maka ia akan berekasi seolah-olah dirinya lah yang dihina. 

 

Pemaparan di atas memang belum tentu sepenuhnya menjelaskan apa yang membuat Safa dan para penggemar lain bertikai di media sosial. Akan tetapi, pemahaman tentang identitas sosial, hubungan antar kelompok, menggantungkan kepercayaan diri dari keanggotaan kelompok, dapat membantu kita memahami konflik dalam kehidupan sehari-hari. Identitas sosial merupakan bagian penting dari identitas diri kita, sehingga tidak mengherankan bahwa setiap orang punya sumber masing-masing. Beberapa orang mungkin merasa paling mengidentifikasi diri sebagai penggemar band K-Pop "X", sedangkan orang lain merasa paling mengidentifikasi diri sebagai pendukung partai "Y", atau bisa juga sebagai anggota kelompok etnis "Z". 

 

Apapun sumbernya, identitas sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas, kepercayaan diri, dan perasaan terhubung dalam diri kita semua. Dalam situasi ketika kita sedang berusaha membela kelompok kita, mari sama-sama berefleksi. Apakah kita sedang membela kepentingan kelompok, ataukah kompensasi self-esteem dengan cara merendahkan kelompok lain? 

 

 

Referensi:

 

Indriani, R. M. D. (2022, May 19). Bak CV, Deretan Pernyataan Fans Kpop di Safa Space yang Jadi Gunjingan Warganet. SUARA.com. Retrieved May 23, 2022, from https://www.suara.com/news/2022/05/19/150655/bak-cv-deretan-pernyataan-fans-kpop-di-safa-space-yang-jadi-gunjingan-warganet?page=all

Laffan, D. (2020). Positive Psychosocial Outcomes and Fanship in K-Pop Fans: A Social Identity Theory Perspective. Psychological Reports, 124 (5), 2272-2285.

Pratiwi, I. E. (2022, May 20). Viral soal safa space di twitter, Mengapa Seseorang Bisa Begitu Fanatik Mengidolakan Orang Lain?. KOMPAS.com. Retrieved May 23, 2022, from https://www.kompas.com/tren/read/2022/05/20/210941365/viral-soal-safa-space-di-twitter-mengapa-seseorang-bisa-begitu-fanatik?page=all

Reysen, S., Branscombe, N. R. (2010). Fanship and fandom: Comparisons between sport fans and non-sport fans. Journal of Sport Behavior, 33, 176–193. https://doi.org/10.13072/midss.472

Schroy, C., Plante, C. N., Reysen, S., Roberts, S. E., Gerbasi, K. C. (2016). Different motivations as predictors of psychological connection to fan interest and fan groups in Anime, Furry, and Fantasy Sport fandoms. The Phoenix Papers, 2, 148–167.

Tajfel, H. & Turner, J.C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin, & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (pp. 33-37). Monterey, CA: Brooks/Cole.