ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 11 Juni 2022

Belajar Mengenai Penolakan: Sebuah Refleksi

 

Oleh:

Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Ilustrasi

Kasus pertama, A, seorang remaja usia 16 tahun, kelas 10, mengalami penolakan sejak kelas 3 SD hingga saat ini. Ia selalu dijauhi oleh kawan-kawannya dan menjadi korban perundungan di kelas 7. Sekalinya A memiliki satu orang kawan di kelas 10, kawannya tersebut pada akhirnya memilih kawan yang lain dan meninggalkan A. Perasaan ditinggalkan oleh kawan secara terus menerus mendorong A untuk pergi konseling karena ia merasa ada yang salah dengan dirinya yang tertolak terus menerus. 

 

B, karyawan swasta, usia 23 tahun, gagal menjalani wawancara dengan calon atasan di perusahaan yang diminatinya sebanyak dua kali dalam waktu dua bulan. Ia merasa gagal tapi tidak memerlukan waktu yang lama bagi B untuk melakukan introspeksi diri dan membuat strategi agar bisa berhasil dalam proses rekrutmen berikutnya.

Kedua kasus tersebut memiliki benang merah yang sama, penolakan. Namun ada respon yang berbeda, sehingga kita bertanya, apa yang membedakan dan bagaimana kita menyikapi penolakan?

 

Penolakan

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pernah mengalami penolakan dalam berbagai bentuk, mulai dari gagal wawancara kerja, manuskrip publikasi yang ditolak, gagal masuk jurusan yang dicita-citakan, cinta ditolak oleh orang yang kita taksir, tidak mendapat persetujuan orang tua untuk hubungan, dll. Martin (2021) mendefinisikan penolakan sebagai bentuk perasaan ketika kita tidak diikutsertakan, tidak diterima dan tidak disetujui. Penolakan juga bisa lebih luas daripada itu, termasuk ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Bagi remaja, penolakan dan penerimaan dari orang tua dan kawan sebaya menjadi hal yang signifikan dalam hidup. Penolakan dari kawan sebaya dan orang tua berhubungan dengan ketidaksesuaian emosional yang berujung pada depresi, agresi dan kecenderungan bunuh diri (Sentse et al., 2010).

 

Perbandingan Kasus A dan B

Lalu apa yang membedakan antara kasus A dan B pada ilustrasi di atas? Hal yang mungkin membedakan antara kasus A dan B adalah jumlah penolakan dan juga durasi yang dialami. A mengalami penolakan dari teman sebaya selama bertahun-tahun, dalam jumlah yang cukup banyak, dikucilkan dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan yang dilakukan. Winch (2017) menyatakan bahwa penolakan memunculkan ruminasi, rasa bersalah dan ketidaknyamanan dalam bersikap. Akibatnya, perasaan dan pikiran negatif muncul, seperti merasa dirinya tidak cukup baik, mempersepsikan diri sama sekali tidak berharga, sehingga memilih untuk menarik diri dari pergaulan. 

 

B, mengalami penolakan dalam dua kali wawancara kerja, pada kurun waktu dua bulan, sehingga bisa diasumsikan frekuensi penolakan lebih sedikit dan tidak memiliki efek yang destruktif seperti A (yang sudah bertahun-tahun). Peluang B untuk bangkit dan mempersepsi penolakan akan lebih positif, dibanding A.

Berdasarkan kasus A dan B, bisa disimpulkan penolakan yang terus menerus dan pada kurun waktu yang lebih lama menimbulkan efek yang lebih besar bagi harga diri dan kesehatan mental.

 

Bagaimana Menyikapi Penolakan

Setelah menganalisis kasus A dan B, kita bisa mempelajari berbagai hal, sebagai orang yang ditolak atau individu yang—tanpa sengaja—melakukan penolakan sebagai berikut:

1.   Akui rasa sakit yang muncul karena penolakan. Berikan waktu bagi diri kita untuk memproses perasaan yang timbul karena penolakan. Beranikan diri untuk mengakui perasaan sakit dan sedih yang dialami.

2.    Berhenti menyalahkan diri sendiri. Penolakan menjadi sesuatu yang wajar dialami dalam hidup, dan berhentilah menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang tidak bisa kita kontrol sepenuhnya seperti pemikiran kawan kita mengenai diri kita atau keputusan calon atasan yang akan merekrut karyawan.

3.   Introspeksi, lalu buat strategi. Larut dalam emosi sedih terus menerus akan lebih merugikan diri, sehingga kita perlu belajar menarik hal yang bermakna dari penolakan dan membuat strategi yang lebih baik agar lebih bisa berhasil. Gunakan resiliensi sebagai salah satu cara untuk bangkit kembali dari penolakan.

4.   Jeda, berhenti dan mengatur nafas. Rose (2019) bahkan menyarankan untuk berdoa (jika kita nyaman dengan hal tersebut) saat mengalami penolakan.

5.   Ketika sudah mencoba berbagai cara dan masih menyisakan efek dari penolakan, silakan menghubungi tenaga profesional kesehatan mental untuk berkonsultasi lebih lanjut.

6.    Berhati-hati dengan ucapan dan tindakan. Penolakan merupakan sesuatu yang menyakitkan, sehingga kita—yang berpotensi sebagai pelaku—perlu menjaga perilaku dan ucapan kita agar tidak menyakiti orang lain.

 

Penutup

Penolakan adalah hal yang tidak terelakkan dalam hidup. Sikap dan pilihan kita terhadap penolakan akan menentukan kesejahteraan mental kita di saat ini dan esok hari.

 

Rejection doesn’t mean you aren’t good enough;

It means the other person failed to notice what you have to offer.

-Unknown

 

 

Referensi:

Martin, S. (2021, Jun 14). 4 strategies to cope with rejection. Psychology Todayhttps://www.psychologytoday.com/us/blog/conquering-codependency/202106/4-strategies-cope-rejection

 

Rose, H. (2019, Jun 23). Facing rejection. Psychology Todayhttps://www.psychologytoday.com/us/blog/working-through-shame/201906/facing-rejection

 

Sentse, M., Lindenberg, S., Omvlee, A., Ormel, J., & Veenstra, R. (2010). Rejection and acceptance across contexts: Parents and peers as risks and buffers for early adolescent psychopathology. The TRAILS study. Journal of Abnormal Child Psychology38(1), 119–130.

 

Winch, G. (2017). Pertolongan Pertama pada Emosi Anda: Panduan Mengobati Kegagalan, Penolakan, Rasa Bersalah, dan Cedera Psikologis Sehari-hari Lainnya. Pustaka Alvabet.