ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 11 Juni 2022

Hidup Dalam Dua Dunia

 

Oleh:

Ancella Suci Wongso, Cindi Kristanti, Desi R Vevayosa Ginting & Dhani Irmawan

Falkutas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Saat ini Ketika perkembangan teknologi semakin maju, semua masyarakat saat ini bebas mengakses internet dimanapun mereka berada untuk mendapatkan informasi atau berbagi informasi mengenai dirinya. Bahkan internet dapat menciptakan “dunia” sendiri dan saat ini perkembangan teknologi dalam media dunia maya sudah tidak terpisahkan dan menjadi erat dalam kehidupan manusia. Internet memang menjadi sebuah teknologi yang dapat diakses tanpa batas ruang dan waktu. Kita dapat terkoneksi dengan internet untuk mendukung komunikasi sehingga dapat melakukan percakapan (Chatting) dengan seseorang dari jarak jauh. 

 

Banyak munculnya media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok. Beberapa aplikasi chatting seperti WhatsApp, Messenger, Line, dan beberapa applikasi dating apps ini yang membuat perubahan cara komunikasi dan interaksi manusia hanya melalui internet yang dapat diakses dalam waktu 24 jam. Keberadaan Smartphone membuat para pengguna dapat berinteraksi walau dari jarak jauh dengan akses internet dan sudah tidak seperti dahulu dimana handphone hanya dapat mengirim SMS dan untuk menelepon saja. Melalui dunia maya orang-orang dapat berbagi mengenai dirinya sendiri seperti foto, video, dan hobi di akun media sosial miliknya sendiri, bahkan kita juga dapat mengunjungi akun media sosial milik orang lain hanya untuk melihat segala aktifitas yang orang lain lakukan dalam dunia nyata. 

 

Tetapi, apakah yang kita bagi dalam dunia maya seperti video, foto dan perkataan, sesuai dengan dunia nyata? Mungkin sering kita melihat akun media sosial orang lain yang hidup di lingkungan kota-kota besar, mengunggah/posting segala bentuk kegiatan membeli barang dan jasa bukan dilihat dari kebutuhan akan manfaat tetapi untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidup mereka demi konsumsi publik. Masyarakat sudah memasuki era yang disebut sebagai era post-modernisme, yang dimana era ini keinginan dan kebutuhan telah menjadi suatu yang baru, tidak cair, tidak jelas dan semakin sulit dibedakan (Salamoon, 2013). Di dalam era ini, menciptakan perubahan kebutuhan-kebutuhan psikis baru yang harus dipenuhi seperti adanya keinginan untuk lebih dihargai dan seseorang didorong oleh gengsi dan harga diri agar terlihat eksis jika memiliki status sosial lebih tinggi dari orang lain yang status sosial di bawahnya. 

 

Sebagian besar masyarakat tidak ingin ketinggalan informasi tentang produk-produk terbaru yang sedang viral untuk dibeli dan dipamerkan kepada teman-temannya melalui media sosial seperti Instagram. Tanpa disadari kehidupan di media sosial yang penuh kemewahan dengan dunia nyata sangat jauh berbeda. Terlalu nyaman dengan dunia maya, sampai lupa dengan dunia nyata. Contoh pada anak remaja yang kurang mampu secara finansial untuk mengikuti kemajuan zaman, namun tetap mengikuti teman-teman nya mulai dari membeli Smartphone merek terbaru, membeli tas mahal, berkunjung ke tempat wisata yang hits, dan memasuki lingkungan pertemanan yang rata-rata memiliki ekonomi menengah ke atas. Akhirnya berdampak pada keluarga mau tidak mau harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan anaknya. Mengakui bahwa ia merupakan keluarga yang berstatus sosial tinggi dan merubah fakta menjadi sebuah rekayasa. Kita dapat mengikuti life style sesuai perkembangan zaman, namun harus mampu menyeimbangkan pada kondisi ekonominya sendiri maupun keluarga agar tidak terjerumus akan kehidupan yang seharusnya belum mampu diikuti. 

 

Seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan (want), dari pada kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (Sumartono, 2002). Iri melihat barang-barang bermerek orang lain atau ingin memiliki barang-barang yang sedang kekinian menimbulkan hasrat negatif dan membuat kita melakukan hal apapun demi memiliki barang tersebut. Barang bermerek disini bukan hanya sekedar produk biasa melainkan mampu menandai status sosial seseorang. Sampai beberapa orang membeli barang ternama versi tiruan (KW) dan memposting ke media sosial agar mendapatkan sebuah pengakuan dari teman-temannya.  

 

Social Climbing atau panjat sosial banyak dilakukan individu tertentu untuk menaikkan status sosialnya melalui media sosialPelaku panjat sosial atau Social Climber, dalam kenyataannya akan mati-matian melakukan tindakan apapun juga agar dirinya dapat masuk ke dalam lingkaran masyarakat kelas atas, walaupun hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaannya yang sesungguhnya (Nugroho, 2017 dalam Fauziah (2020)). Salah satu tindakannya yaitu mengunggah foto-foto dirinya di tempat-tempat mewah, barang mewah yang mungkin bukan miliknya, hanya pinjaman atau rekayasa agar pengguna jejaring sosial yang melihatnya, menganggap dirinya adalah bagian dari individu kelas atas.

 

Penilaian sosial yang baik dan tidak baik dari para pengguna jejaring social pun bermunculan. Menurut Sheriff dalam teori penilaian sosialnya yang disebut sebagai social judgement theory adalah teori yang memberikan perhatian mengenai bagaimana individu lain memberikan penilaian tentang segala hal, baik itu berupa informasi maupun pernyataan yang didengarnya (dalam Safitri dkk, 2021), beliau juga memperkirakan bagaimana orang menilai pesan dan penilaian yang dibuat tersebut dapat mempengaruhi sistem kepercayaan yang telah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010 dalam Safitri dkk, 2021). 

 

Pengguna media sosial harus lebih berhati-hati dalam mengunggah foto-foto yang mengumbar kemewahan, yang dapat mengancam keselamatan mereka. Adapun beberapa milyuner yang juga mengunggah kemewahan dan menyalakan fitur lokasi mereka, menyebabkan kediaman yang ditinggalkannya dirampok saat dirinya tidak berada di rumah. Hal ini dialami oleh selebgram muda asal Inggris, yaitu Kieran Hamilton yang menjadi target perampokan brutal di kediamannya sendiri dan menyebabkan dirinya terluka, karena sering mengunggah kemewahan di media sosial (Bagas, 2020). Karena itu, marilah bertindak secara bijak dalam berinteraksi dan mengunggah segala sesuatu di akun media sosial kita agar tidak merugikan diri sendiri maupun pihak lain di dunia nyata.

 

 

Referensi:

 

Bagas R. (2020). HAI-Online.com. Daily Mail, 5 Juni 2020. https://hai.grid.id/read/072182208/sering-pamer-harta-di-media-sosial-selebgram-ini-dirampok?page=all

 

Fauziah, M. (2020). Perancangan Webcomic “Queen of Bee” Mengenai Fenomena Social Climber Untuk Remaja. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Universitas Negeri Padang.

 

Safitri, A. A., Rahmadhany, A., Irwansyah, I. (2021). Penerapan Teori Penetrasi Sosial pada Media Sosial: Pengaruh Pengungkapan Jati Diri melalui TikTok Terhadap Penilaian Sosial. Jurnal Teknologi dan informasi Bisnis. Vol.3 no. 1.

 

Salamoon, D.K. (2013). Instagram, Ketika Foto Menjadi Mediator Komunikasi Lintas Budaya di Dunia Maya.Surabaya: Universitas Kristen Petra.

 

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung: Alfabeta.