ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 11 Juni 2022

Grief, Gangguan Mental, Dan Diagnosisnya Dalam DSM

 

Oleh:

Justinus Budi Santoso

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Grief atau dukacita dapat muncul dalam berbagai bentuk, baik dalam pikiran, perasaan, dan perilaku. Namun kesamaannya adalah grief muncul sebagai respon terhadap kehilangan atau loss (Worden, 2018). Kehilangan seringkali dikaitkan dengan kematian, tetapi terkadang dapat pula terjadi karena kehilangan lain seperti perpisahan atau berakhirnya hubungan dengan seseorang. Kehilangan hal-hal tersebut merupakan hal yang tak terhindarkan dalam hidup, demikian pula dengan grief yang muncul setelahnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pengalaman grief yang merupakan bagian dari kehidupan seseorang dapat meningkat sedemikian rupa hingga cukup untuk dikatakan sebagai masalah kesehatan mental, bahkan gangguan mental?

 

Untuk melihat keterkaitan antara grief dan gangguan mental, acuan yang dapat digunakan adalah panduan untuk mendiagnosis gangguan mental. Salah satu panduan yang umum digunakan adalah Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) dari American Psychiatric Association (APA). Sebagai catatan, DSM menggunakan istilah bereavement, yang seringkali didefinisikan sebagai situasi kehilangan yang menimbulkan respon emosional grief. Namun, untuk menghindari ambiguitas tulisan ini akan menggunakan istilah grief.

 

Sebagai sebuah panduan, DSM telah mengalami pembaruan dari edisi ke edisi. Sejak DSM-III hingga DSM-IV-TR grief disinggung dalam kriteria diagnosis episode depresi mayor (Major Depressive Episode atau MDE). Dalam edisi-edisi DSM tersebut disebutkan dengan jelas bahwa MDE tidak dapat didiagnosis dalam kurun waktu tertentu setelah peristiwa duka cita yang dialami seseorang (American Psychiatric Association, 1980; American Psychiatric Association 2000). Konsep ini disebut sebagai bereavement exclusion (BE).

 

Pada edisi berikutnya, DSM-5, terjadi perubahan cukup drastis. MDE dapat didiagnosis pada orang yang sedang mengalami kedukaan, tetapi dengan mempertimbangkan banyak hal (American Psychiatric Association, 2013). Hal yang terpenting untuk dipenuhi adalah individu yang bersangkutan harus memenuhi semua kriteria MDE. Selain itu DSM-5 juga memberikan sejumlah panduan untuk membedakan antara griefdan MDE, di antaranya sebagai berikut:

1.  Rasa sedih dan kehilangan lebih dominan pada grief; sedangkan perasaan depresi dan ketidakmampuan merasakan kebahagiaan lebih dominan pada MDE

2.    Kesedihan pada grief biasanya berangsur-angsur hilang; sedangkan perasaan pada MDE lebih menetap 

3.    Kesedihan dalam grief dapat diselingi emosi positif; tidak seperti ketidakbahagiaan dan penderitaan yang menyeluruh pada MDE

4.    Self-esteem pada orang yang mengalami grief biasanya tidak berubah; sedangkan pada MDE perasaan tidak berharga cukup sering ditemukan

Salah satu alasan perubahan ini dibuat adalah adanya temuan bahwa duka cita yang dialami seseorang dapat berkembang menjadi kondisi yang kronis dan dapat melumpuhkan seseorang (Shear et al., 2011). Selain itu ditemukan pula bahwa gejala depresi pada individu yang sedang berduka tidak berbeda dengan gejala depresi pada individu yang tidak sedang berduka (Zisook et al., 2012).

 

Ternyata tidak semua pihak dapat menerima perubahan di DSM-5. Salah satu kritik yang disampaikan adalah DSM-5 melabel orang-orang yang sedang berduka dengan gangguan mental (Dreher, 2013). Terdapat kekhawatiran bahwa akan terjadi pemberian diagnosis secara berlebihan (overdiagnosis) pada orang-orang yang sebenarnya masih sehat mental. Kritik lainnya adalah orang-orang yang seharusnya tidak butuh pengobatan akan diberi obat karena mereka diberi diagnosis gangguan mental. Situasi ini dikhawatirkan hanya akan menguntungkan produsen obat-obatan, dan bukan para klien (Frances, 2013).

 

Pendukung DSM-5 menanggapi kritik-kritik tersebut dengan menekankan bahwa DSM-5 tidak mengatakan bahwa seseorang yang sedang berduka serta-merta dapat diberi diagnosis MDE. Melainkan, orang yang sedang berduka dapat diberi diagnosis MDE, dan hanya jika gejala yang dialami cukup parah. Sebelum DSM-5, seseorang yang berduka dan mengalami depresi tidak bisa diberi diagnosis MDE sampai dengan kurun waktu dua bulan sehingga membatasi bantuan profesional (terutama pengobatan) yang sebenarnya mereka butuhkan. 

 

Saat tulisan ini dibuat edisi terbaru DSM sudah tersedia, yaitu DSM-5-TR. Dalam DSM-5-TR, kriteria diagnosis MDE secara umum tidak diubah. Selain itu, sebuah kategori diagnosis baru ditambahkan, yaitu Prolonged Grief Disorder. Karakteristik inti gangguan tersebut adalah adanya reaksi grief yang berkepanjangan (12 bulan, atau 6 bulan pada anak-anak dan remaja) setelah kehilangan seseorang (American Psychiatric Association, 2022). Perkembangan ini mengindikasikan bahwa APA tetap berpendapat bahwa gangguan mental dapat menyertai duka cita dan perlu ada sistem untuk mendiagnosis orang-orang tersebut. 

 

Melihat sejarah grief dalam penegakan diagnosis gangguan mental, pesan apa yang dapat diambil? Tampaknya terdapat pesan yang berbeda untuk kalangan profesional di bidang kesehatan mental (psikolog dan psikiater), serta untuk masyarakat awam. Bagi para profesional, risiko overdiagnosis selalu ada. Namun, siapa lagi yang paling dapat diandalkan untuk menggunakan panduan diagnosis secara tepat jika bukan para profesional? Untuk mengurangi risiko tersebut, pendidikan yang baik untuk calon profesional menjadi sangat penting. Para profesional yang sudah berkarya di masyarakat juga tetap perlu melakukan pengembangan diri secara berkelanjutan. Bagi masyarakat awam, pesannya sama dengan pesan umum terkait kesehatan mental. Kesadaran akan kesehatan mental penting, tetapi jangan melakukan diagnosis sendiri. Jika melihat adanya permasalahan pada diri sendiri atau orang lain yang sulit diatasi, carilah bantuan profesional yang sesuai. Baik ada gangguan mental maupun tidak, seorang profesional harusnya dapat membantu.

 

 

Referensi:

 

American Psychiatric Association. (1980). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (3rd ed.). Washington, DC: Author.

 

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., Text Revision). Washington, DC: Author.

 

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596

 

American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed., Text Revision). https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425787

 

Dreher, D. E. (18 Mei 2013). Grief and the DSM-5. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/your-personal-renaissance/201305/grief-and-the-dsm-5

 

Frances, A. J. (3 Januari 2013). Last plea to DSM-5: Save grief from the drug companies. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/dsm5-in-distress/201301/last-plea-dsm-5-save-grief-the-drug-companies

 

Shear, M. K., Simon, N., Wall, M., Zisook, S., Neimeyer, R., Duan N., Reynolds, C., Lebowitz, B., Sung, S., Ghesquiere, A., Gorscak, B., Clayton, P., Ito, M., Nakajima, S., Konishi, T., Melhem, N., Meert, K., Schiff, M., O’Connor, M., First, M., … Keshaviah, A. (2011). Complicated grief and related bereavement issues for DSM-5. Depression and Anxiety 28, 103-117.

 

Worden, J. W. (2018). Grief counseling and grief therapy: A handbook for the mental health practitioner (5thed.). Springer.

 

Zisook, S., Corruble, E., Duan, N., Iglewicz, A., Karam, E. G., Lanuoette, N., Lebowitz, B., Pies, R., Reynolds, C., Seay, K., Shear, M. K., Simon, N., & Young, I. T. (2012). The bereavement exclusion and DSM-5. Depression and Anxiety 29, 425-443.