ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 11 Juni 2022

The Goodbye Soup:

A Recipe for Introducing Death to Children

 

Oleh:

Chrysan Gomargana dan Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan.

 

 

Angka kematian Covid di Indonesia hingga Desember lalu melebihi angka kematian di dunia (Azizah, 2020). Orang-orang yang meninggal karena Covid ini bisa berperan sebagai orang tua, sanak saudara, guru dan berbagai peran sosial selama ia hidup. Bagi yang ditinggalkan, kematian mendatangkan luka, perasaan tidak percaya, termasuk kepada anak-anak. Bagaimana menjelaskan konsep kematian kepada anak? Apakah mereka bisa memahami seperti orang dewasa memahami kematian?

 

Kematian

Kematian secara singkat didefinisikan sebagai kondisi tidak bernyawa, akhir dari kehidupan (Oxford Dictionary, 2020). Orang dewasa seringkali berasumsi bahwa anak-anak tidak merasa kehilangan atau berduka ketika terdapat peristiwa kematian yang terjadi di lingkungan mereka. Namun, anak-anak sebenarnya merasakan rasa kehilangan yang tidak kalah kuatnya jika dibandingkan dengan orang dewasa. Yang membedakan anak-anak dan orang dewasa ketika dihadapkan dengan topik kematian adalah cara mereka memahami kematian dan reaksi mereka terhadap peristiwa tersebut. Bagaimana menjelaskan konsep kematian kepada anak-anak?

 

Menjelaskan Konsep Kematian kepada Anak-anak

Terdapat 4 konsep dasar tentang kematian yang dapat dijelaskan kepada anak-anak untuk membantu mereka memahami peristiwa kematian (Schonfeld & Quackenbush, 2009). Sejauh mana anak akan mampu memahami konsep ini tentunya akan bervariasi tergantung usia dan tahap perkembangan mereka. Namun, secara garis besar berikut adalah beberapa prinsip yang dapat membantu orang dewasa dalam menjelaskan kematian kepada anak:

 

1.    Kematian bersifat permanen: Seringkali anak-anak menganggap bahwa kematian bersifat temporer. Anggapan ini didukung pula oleh penjelasan orang dewasa terkait individu yang sudah meninggal sedang melakukan ‘perjalanan ke tempat lain'. Hal ini dapat membuat anak berpikir bahwa individu yang sudah meninggal tersebut dapat kembali lagi, layaknya ketika mereka melakukan perjalanan dan kembali pulang. Walaupun hal ini dapat membantu anak mengalihkan fokusnya terhadap kehilangan yang dialami, tetapi pengalihan ini bersifat sementara. Orang dewasa harus membantu anak memahami bahwa kematian bersifat permanen. Individu yang meninggal tidak akan pernah kembali lagi.

 

2.    Setelah meninggal, seseorang tidak akan dapat berfungsi lagi: Anak-anak seringkali beranggapan bahwa semua hal yang ia temui merupakan benda hidup, bahkan mainan. Akibatnya mereka sulit membedakan karakteristik hal-hal yang hidup dan -tidak hidup. Orang dewasa perlu membantu mereka untuk mengidentifikasi perbedaan antara karakteristik pada benda mati dan hidup terlebih dahulu. Kemudian menggunakannya sebagai analogi untuk menjelaskan karakteristik individu yang sudah meninggal dan apa yang berubah saat mereka sudah meninggal.

 

3.    Semua hal yang bernyawa pada akhirnya akan meninggal: Anak-anak seringkali juga beranggapan bahwa manusia dapat hidup selamanya. Kita perlu menjelaskan bahwa kematian merupakan bagian yang pasti akan terjadi kepada seseorang. Mulailah dengan menjelaskan contoh-contoh sederhana dari alam,seperti tanaman yang tumbuh, berkembang, lalu mati atau bagaimana musim selalu akan berganti. Bagian ini seringkali membuat anak-anak merasa cemas, sehingga-penting bagi kita untuk memberikan jaminan sebelum memberikan penjelasan ini. Jaminan bahwa saat ini kita baik-baik saja, dan kita telah berusaha untuk menjaga kesehatan kita. Hal ini akan membantu anak-anak untuk tidak merasa takut atau cemas.

 

4.    Terdapat kondisi fisik yang dapat menyebabkan seseorang meninggal: Anak-anak juga perlu mengetahui alasan mengapa orang yang ia kenal meninggal. Jika mereka tidak mendapatkan penjelasan yang jelas, mereka akan terjebak dalam fantasi atau asumsi bahwa kematian ini mungkin disebabkan oleh mereka. Penjelasan singkat dan sederhana sangatlah diperlukan. Berikan kesempatan bagi anak untuk bertanya. Penjelasan detail mungkin tidak diperlukan, apalagi jika mengandung unsur-unsur kekerasan.

 

 

Respons Anak terhadap kematian

Setelah menjelaskan kepada mereka, reaksi anak-anak akan sangat bervariasi dan membingungkan bagi orang dewasa. Berikut adalah beberapa reaksi umum yang mungkin muncul:

 

1.   Reaksi umum yang muncul didefinisikan sebagai “puddle jumping” dimana anak-anak dapat merasa senang dan aktif bermain pada beberapa waktu, lalu secara tiba-tiba mereka menjadi sedih, marah, menangis, ataupun mengisolasi diri mereka sendiri (Stuber, Hovesepian, & Mersrkhani, 2001).

 

2. Anak-anak yang belum bersekolah mungkin mengalami masa dimana mereka memiliki pemikiran ajaib dimana mereka menganggap bahwa orang yang sudah meninggal dapat kembali hidup lagi (Piaget, 1953). Pada usia ini, mereka seringkali merasa kesulitan untuk memahami bahwa kematian bersifat permanen (Furman, 1974).

 

3.  Anak-anak yang sudah mulai memasuki usia bersekolah dapat mengalami masa dimana mereka memiliki sejuta pertanyaan (American Academy of Pediatrics, 2000), dan mereka akan melontarkan banyak sekali pertanyaan terkait kematian seperti, “Kemana perginya seseorang setelah meninggal?”, “Apa yang terjadi kepada tubuh orang yang sudah meninggal?”, dll.

 

4.   Anak-anak yang sudah lebih dewasa seringkali sudah mampu memahami konsep kematian seutuhnya, dan mereka juga mulai sadar dan mengerti dengan apa yang dialami oleh orang-orang di sekitar mereka setelah peristiwa kematian terjadi (Schonfeld & Quackenbush, 2009). Mereka seringkali menjadi tertutup dan menghindari diskusi terkait kematian karena mereka sadar bahwa orang-orang di sekitar mereka merasa tidak nyaman membicarakan hal tersebut (Schonfeld & Quackenbush, 2009). 

 

5.  Kasus khusus muncul ketika anak-anak juga dihadapkan dengan acara pemakaman, mereka mungkin bingung dan memiliki banyak pertanyaan terkait acara-acara serupa (Schonfeld & Quackenbush, 2009).

 

Apa yang harus dilakukan?

Dalam memberikan penjelasan ini, jangan mengasumsikan bahwa anak-anak yang lebih tua lebih dapat mengerti ataupun sebaliknya. Penting untuk mengkomunikasikan konsep tersebut secara dua arah. Libatkan anak dengan memberikan mereka kesempatan untuk bertanya, membagikan ide, pemikiran, dan juga perasaan yang muncul saat mereka mendengar penjelasan Anda. Hal lain yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

 

1.    Sebagai orang dewasa, berikan mereka informasi bahwa kita mengerti apa yang mereka rasakan,walaupun perasaan mereka berubah dan sangatlah fluktuatif. Dorong mereka untuk melakukan aktivitas bermain, atau aktivitas positif lainnya, seperti berjalan-jalan di taman bersama, memasak bersama, dll. Dalam tahap ini, penting bagi kita untuk membuat batasan terkait perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima, misalnya menyakiti diri mereka atau orang lain atau terlibat dalam situasi yang berbahaya (Stuber, Hovesepian, & Mersrkhani, 2001).

 

2.    Memberikan informasi bahwa anggapan mereka tentang yang meninggal akan kembali tidaklah benar.  Gunakan contoh-contoh cerita ataupun analogi sederhana. Informasikan juga bahwa saat ini mereka aman dan kita akan selalu menjaga mereka (Goldman, 2000). Gunakanlah kata-kata sesederhana mungkin. Berikan mereka dorongan untuk tetap terlibat dalam aktivitas bermain dan aktivitas fisik lainnya juga dapat dilakukan agar mereka dapat mengalihkan fokus mereka ke aktivitas lainnya (Schonfedl & Quackenbush, 2009).

 

3.   Memberikan mereka jaminan secara berkala. Berikan mereka penjelasan terkait kematian. Ceritakan juga tentang apa yang Anda rasakan paska peristiwa tersebut dan informasikan bahwa perasaan sedih atau kehilangan merupakan hal yang wajar untuk dirasakan. Berikan dorongan jika mereka ingin membicarakan atau mendiskusikan hal-hal terkait kematian. Pastikan mereka paham bahwa Anda akan selalu bersedia untuk mendengarkan cerita mereka, menjawab pertanyaan mereka, ataupun melakukan diskusi dengan mereka (Heegard, 1991). Pada masa-masa ini, hindari membangun ekspektasi bahwa anak dapat melakukan perilaku layaknya orang dewasa dalam menghadapi peristiwa kehilangan ini, dan jangan menghindari atau menutup-nutupi memori yang Anda dan anak-anak pernah miliki dengan orang yang sudah meninggal (Schonfeld & Quackenbush, 2009).

 

4.  Berikan kesempatan anak untuk memilih apakah mereka ingin menghadari acara pemakaman atau tidak. Sebelum mereka hadir, Anda dapat memberikan penjelasan terlebih dahulu terkait rangkaian kegiatan di acara pemakaman dan tujuan dari kegiatan tersebut. Biarkan mereka memilih hal-hal sederhana seperti dimana mereka ingin duduk, bunga jenis apa yang ingin dibawa ke acara pemakaman, dll. Anak-anak yang sudah lebih dewasa dapat dilibatkan secara langsung dalam acara pemakaman, mereka dapat membantu dalam memilih kartu, bunga, lagu pada ibadah, dll. (Schonfeld & Quackenbush, 2009).

 

Penutup

Secara singkat terdapat 3 hal yang menjadi sorotan dalam menghadapi respon anak-anak terhadap kematian, yaitu perhatian berkala (pastikan anak-anak paham bahwa Anda ‘hadir’ baik secara fisik maupun emosional), jaminan dan keterbukaan Anda untuk memberikan penjelasan, informasi, serta melakukan diskusi dengan mereka terkait kematian. Pembahasan tentang kematian dan proses berduka dengan anak-anak pada akhirnya akan menjadi sumber daya yang berharga, mereka akan memiliki pemahaman yang tepat terkait kehidupan dan kematian serta dampak dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap hidup mereka dan orang lain. 

 

While ignorance is bliss,

knowledge and awareness build power,

so, in the future, when confronted with the question, “Where do they go?”

instead of creating make-believe explanations or avoid it altogether,

let’s start with answering them with,

“Now’s the time to say goodbye to them, now, let me tell you all about them.”

 

 

Referensi:

 

American Academy of Pediatrics, Committee on Psychosocial Aspects of Child and Family Health. (2000). The pediatrician and childhood bereavement. Pediatrics, 105, 445 – 447.

 

Azizah, K. N. (2020, Dec 05). WHO : Angka kematian COVID-19 di Indonesia lebih tinggi dari dunia. Detik.com. Retrieved from : https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5282583/who-angka-kematian-covid-19-di-indonesia-lebih-tinggi-dari-dunia

 

Furman, E. (1974). A Child’s Parent Dies: Childhood Bereavement. New Haven, CT: Yale University Press.

 

Goldman, L. (2000). Life and Loss: A Guide to Help Grieving Children. Philadelphia, PA: Accelerated Development Inc Publishers.

 

Heegaard, M. (1991). When Someone Very Special Dies – Children Can Learn to Cope with Grief. Minneapolis, MN: Woodland Press.

 

Oxford. (n.d.). Death. In Oxford Learner’s Dictionaries. Retrieved Jan 7, 2021, from https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/american_english/death#:~:text=1%5Bcountable%5D%20the%20fact%20of,a%20slow%20and%20painful%20death.

 

Piaget, J. (1953). The Origins of Intelligence in Children. New York, NY: International Universities Press.

 

Schonfeld, D.J., & Quackenbush, M. (2009). After a Lover One Dies – How Children Grieve and How Parents and Other Adults Can Support Them. New York, NY: New York Life Foundation.

 

Stuber, M., Hovsepian, V., & Mersrkhani. (2001). What do we tell children? West Journal of Medicine, 174(3), 187 – 191.