ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 10 Mei 2022

Membantu Anggota Keluarga untuk Pulih

 

Oleh:

Helsa

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Kehidupan manusia, mulai dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga lansia, tidak terlepas dari keluarga. Terlepas dari bagaimana kualitas relasi yang dijalin dalam keluarga, setiap anggota keluarga pastinya mengharapkan hal-hal baik bagi orang-orang terdekatnya. Beberapa tahun silam, isu kesehatan mental belum ramai dibahas masyarakat. Akan tetapi, belakangan ini pembahasan tentang kesehatan mental semakin sering dijumpai di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya memelihara kesehatan mental. Lalu, bagaimana jika masalah kesehatan mental ternyata dialami oleh anggota keluarga terdekat?

 

Penulis mengamati setidaknya ada 3 kemungkinan respon yang dapat muncul ketika seseorang mengetahui bahwa anggota keluarganya memiliki masalah kesehatan mental. Pertama, menyalahkan diri sendiri. Individu cenderung merasa bersalah karena tidak membantu anggota keluarganya sejak awal, hingga akhirnya memiliki masalah psikologis. Kedua, menyalahkan pihak eksternal. Dalam hal ini, pihak eksternal dapat berupa anggota keluarga yang sedang mengalami isu psikologis atau pihak maupun kondisi eksternal yang dianggap berkontribusi terhadap masalah tersebut. Ketiga, menolak kenyataan bahwa anggota keluarganya sedang membutuhkan bantuan psikologis. “Ah, keluargaku tidak ada yang pernah mengalami gangguan psikologis. Tidak mungkin dia mengalaminya!”, “dia sedang mencari perhatian saja, makanya berperilaku seperti itu!”, dan lain sebagainya. 

 

Bagi penulis, terlepas dari apapun bentuk respon yang muncul, setiap individu pasti menginginkan yang terbaik bagi anggota keluarganya. Dengan menyalahkan diri sendiri, menyalahkan pihak eksternal, atau menolak kenyataan, setiap individu memiliki harapan agar anggota keluarganya bisa segera pulih dari masalah psikologis yang dialaminya. Lantas, seperti apa seharusnya kita bersikap untuk mendukung anggota keluarga kita yang sedang kurang sehat secara mental?

 

Pertama, memberi ruang bagi diri untuk menerima kenyataan yang ada. Rasa bersalah, menyesal, sedih, bahkan marah mungkin akan kita rasakan. Apakah kita merasa bersalah karena tidak melakukan hal-hal yang seharusnya kita perlu lakukan di masa lampau untuk anggota keluarga kita? Apakah kita merasa sedih karena anggota keluarga kita perlu melalui situasi tidak nyaman ini? Berikan waktu bagi diri kita untuk merasakan berbagai emosi yang datang. Ada kalanya, kita juga membutuhkan kehadiran orang lain untuk berbagi beban sehingga perlahan kita dapat menerima kenyataan.

 

Kedua, bergerak untuk membantu anggota keluarga kita. Elliott (2009) menjelaskan konsep mattering to family, yaitu persepsi bahwa individu bermakna bagi keluarganya. Individu dengan mattering to family  Individu dengan mattering to family yang tinggi berkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Sebaliknya, individu yang kesehatan psikologisnya sedang terganggu seringkali merasa bahwa dirinya adalah beban bagi keluarganya, tidak ada orang yang mempedulikannya, dan tidak ada orang yang memahami dirinya. Oleh karena itu, kita perlu berupaya agar anggota keluarga kita memiliki persepsi yang lebih positif, di mana mereka merasakan bahwa kehadirannya signifikan (matters) bagi kita. 

 

Ada 3 komponen dalam mattering, yaitu awareness, importance, dan relianceAwareness merupakan persepsi bahwa orang lain menyadari eksistensi diri kita. Importance merupakan persepsi bahwa diri kita menjadi objek kepentingan orang lain. Sementara reliance merupakan persepsi bahwa diri kita dibutuhkan oleh orang lain. Oleh karena itu, beberapa hal sederhana yang dapat kita upayakan agar anggota keluarga kita memiliki persepsi bahwa dirinya signifikan di dalam keluarga antara lain menyadari dan menghargai keberadaannya. Hal ini dikarenakan individu yang sedang mengalami masalah kesehatan mental umumnya merasa bahwa dirinya sendirian dan “tidak terlihat” oleh lingkungannya. Apalagi, masalah kesehatan mental masih seringkali mendapatkan stigma negatif di masyarakat. Hal sederhana lain yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan fisik maupun emosional, memberikan waktu untuk menemani dan mendengarkannya, bahkan memberinya kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi kita seperti membantu melakukan beberapa pekerjaan rumah atas kemauannya sendiri. Dengan demikian, ia dapat merasa bahwa dirinya berharga, bermakna, dan signifikan bagi keluarganya, sehingga dapat membantunya pulih dari keadaannya.

 

Terakhir, kita perlu ingat untuk merawat diri. Seringkali, kita tenggelam dalam upaya membantu anggota keluarga, hingga lupa memberi jeda kepada diri sendiri. Kita lupa bahwa diri kita sendiri perlu untuk mengisi tangki energi, agar bisa tetap mendampingi anggota keluarga kita dengan baik. Oleh sebab itu, buatlah batasan untuk diri sendiri, seperti memberi waktu istirahat bagi diri, tetap memenuhi tanggung jawab utama kita (bekerja/belajar), dan mencari dukungan dari sekitar kita. Ingat, sebelum kita merawat orang lain, kita perlu terlebih dulu merawat diri sendiri. 

 

 

Referensi:

 

Elliott, G.C. (2009). Family matters: The importance of mattering to family in adolescence. John Wiley & Sons: Oxford.