ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 10 Mei 2022

Agama sebagai Fondasi Keluarga Harmonis

 

Oleh:

Rizkia Husaini

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 fenomena perceraian di Indonesia semakin hari semakin bertambah. Jumlah kasus perceraian meningkat 53,50% dibanding tahun sebelumnya. Kasus perceraian di antaranya didominasi oleh pertengkaran suami istri yang terus menerus berlanjut, kemudian masalah ekonomi, dan satu pihak yang meninggalkan pasangannya. 

 

Setiap keluarga tentunya menginginkan suasana harmonis yang terjalin antar anggota keluarga. Menurut Gunarsa (2004) keharmonisan keluarga yaitu apabila setiap anggota keluarga merasakan bahagia yang ditandai dengan minim konflik, menerima keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek: fisik, mental, emosi dan sosial. Terbentuknya keluarga yang harmonis berarti dalam keluarga tidak terjadi saling salah paham dan kecurigaan, terutama konflik antar anggota keluarga. 

 

Salah satu faktor yang paling membantu untuk membangun keluarga harmonis dan terhindar dari perceraian adalah keagamaan atau religiusitas (Surya, 2001). Tokoh ilmu psikologi menulis karya tentang agama, William James (1902, dalam Reck, 1967) berpendapat bahwa agama sebagai "perasaan, tindakan dan pengalaman individu manusia dalam kesendirian mereka, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri untuk berdiri dalam kaitannya dengan apa pun yang mereka anggap ilahi." Hal ini menunjukkan dasar-dasar emosional agama dalam diri manusia serta kasih sayang dan wawasan keagamaan dalam diri individu.

 

Menurut Fitriyana (2018) dalam buletin yang berjudul “Peran Agama dalam Psikoterapi Modern”, bahwa hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dapat memberikan efek terapeutik. Dalam konteks kehidupan sehari-sehari -termasuk kehidupan keluarga-, penulis berpendapat bahwa agama tidak saja tentang hubungan vertikal hubungan manusia dengan Tuhan; tetapi agama juga berbicara tentang hubungan horizontal manusia dengan sesama dalam bentuk saling menghormati, menghargai, menyayangi; dan aturan main yang jelas seperti hukum pernikahan, mengasuh anak, dan etika dalam membangun rumah tangga.

 

Menurut Berns (2010) keluarga yang dilandasi agama (dalam tiga pengertian di atas) yang terorganisir akan merasakan kedamaian sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Keyakinan dan praktik keagamaan membantu anggota keluarga menerima dan mengatasi permasalahan. Misalnya, doa membantu individu merasa bahwa mereka "melakukan sesuatu" untuk menghadapi krisis dan tekanan dalam kehidupan keluarga. Dari ketenangan jiwa yang dihasilkan dengan hubungan vertikal (di antaranya doa) manusia dapat menjalin hubungan baik dengan sesama (tidak egois, tidak cepat mengeluh, saling menghormati dan menyayangi), serta bahkan menjadi lebih etis dan menjaga norma agama dan bangsa. Karena, setiap agama mengajarkan individu untuk berbudi pekerti yang baik dengan Tuhan dan sesama manusia, serta menghormati sesama, dan menebarkan kasih sayang (etika). 

 

Menurut Degenova (2006) dalam keluarga setidaknya ada beberapa kegiatan yang dilakukan bersama-sama -yang dapat mewujudkan keharmonisan dan dapat mencegah perceraian- seperti beribadah, berdoa, membaca dan memahami kitab suci. Mulai dari melakukan ibadah bersama-sama terciptalah tiga poin keagamaan yang menciptakan keharmonisan keluarga yaitu ikatan antar pasangan, antar orang tua dan anak akan terjalin lebih kuat (kemanusiaan). Etika saling menghormati dan menyayangi juga terwujud (etika). Serta hubungan manusia dengan Tuhan sebagai zat yang maha melihat akan menjadikan keimanannya lebih kuat (ketuhanan). Tiga hal ini (ketuhanan, kemanusiaan dan etika) menjadi solusi dalam mengurangi pertengkaran dan konflik dalam rumah tangga. 

 

Maka, agama sebagai fondasi keluarga harmonis dimaknai dengan keluarga yang memiliki keyakinan dari iman yang terorganisasi dapat menciptakan stabilitas emosional bagi sebuah keluarga, serta membantu anggota saling mendukung dalam masa-masa sulit dan memberikan bimbingan kepada orang tua tentang pernikahan dan tanggung jawab mereka sebagai orang tua dalam mengasuh anak.

 

 

Referensi:

 

Berns, R. M. (2010). Child, Family, School, Community: Socialization and Support, Ninth Edition. USA: Wadsworth Cengage Learning.

BPS. (2022, Februari 25). Kasus Perceraian. Retrieved from Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/

Degenova, M. K. (2006). Intimate relationship, marriages and families. New York: McGraw Hill.

Fitriyana, R. (2018). Peran agama dalam psikoterapi modern. Buletin KPIN, 1-2.

Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT Gunung Mulia.

Reck, A. J. (1967). Introduction of William James: An Essay and Selected Texts. London: Indiana University Press.

Surya, M. (2001). Bina Keluarga. Semarang: Aneka Ilmu.