ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 10 Mei 2022

Seni Berkonflik: Duet Atau Duel?

 

Oleh 

Krishervina Rani Lidiawati

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Konflik dalam relasi

Adakah diantara kita yang belum pernah berkonflik? Sebagai makhluk sosial tentu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam membangun sebuah relasi diperlukan adanya kesediaan, waktu dan tenaga untuk dapat berinteraksi dari satu individu dengan individu yang lain. Dalam interaksi ini terjadi pertukaran informasi dan keterlibatan satu dengan yang lainnya (DeVito, 2015). Interaksi ini tentu tidak dapat terlepas dari adanya perbedaan pendapat dan menemui hambatan dalam komunikasi yang dapat membuat salah satu pihak merasa dirugikan. Hal tersebut membuat rentannya sebuah relasi mengalami konflik yang berujung pada pertengkaran, saling acuh, rasa sakit hati, dendam sehingga relasi yang menjadi tidak sehat dan bahkan terjadi perpisahan.

 

Konflik dapat terjadi antara dua orang atau lebih, dimana yang satu pihak memiliki kekuatan lebih dan merasa benar, satu pihak merasa memiliki daya terbatas dan bahkan melibatkan situasi yang membuat frustasi (Eggert & Falzon, 2003). Konflik terbagi menjadi dua yaitu konflik kognitif dan konflik afektif. Konflik kognitif ini kerap disebut “task conflict”. Konflik ini berkaitan dengan adanya perbedaan opini atau pendapat terkait suatu hal dan tentu saja dalam hidup kerap terjadi perbedaan sehingga wajar jika manusia hidup mengalami konflik. Sementara konflik afektif biasa dikenal dengan “relationship conflict” yang artinya fokus dalam masalah interpersonal seperti perbedaan isu personal, emosi negatif, dan ketidakpuasan diantara pihak yang berkonflik (Hurt & Welbourne, 2018). Dalam berelasi dengan seseorang semakin dekat maka semakin besar kemungkinan berkonflik dan tentunya sulit terhindar dari konflik ataupun berawal dari ketidaksepakatan yang berakhir dengan konflik. Maka dari itu penting untuk mengetahui seni berkonflik dan mampu mengatasi konflik dengan baik. Tentu saja hal ini membutuhkan usaha dalam menyatukan pandangan dan tujuan. Oleh karena itu tentu kita perlu mencari tahu terlebih dahulu sumber dari konflik itu sendiri. 

 

Adapun lima sumber konflik atau penyebab dari konflik dalam sebuah relasi dalam DeVito (2015) sebagai berikut, pertama komunikasi yang buruk sehingga membuat kesalahpahaman dan perbedaan pendapatKerapkali gaya bicara pasangan, cara bicara saudara yang cenderung menyerang, bernada tinggi, tidak mendukung, selalu menyalahkan. Kedua, adanya pihak ketiga yang menambah masalah atau kita mendapatkan kepuasan dari relasi dengan pihak ketiga itu. Artinya ketika kita sedang berkonflik kita mencari orang lain yang bersedia mendengarkan kita. Kita cenderung memilih teman, saudara atau orang lain yang cenderung mendukung apapun pendapat kita bahkan meski perbuatan kita salah. Keempat, kondisi keuangan yang memburuk. Banyak keluarga berantakan karena “uang”, baik masalah pinjam meminjam uang yang tidak dibayar, ketidakjujuran antara pasangan berkaitan dengan aliran keuangan, tidak terbukanya pemakaian uang saudara, dan bahkan menggadaikan sekaligus menjual barang yang bukan miliknya. Kelima, adanya nilai dan harapan yang berbeda. Jika realita tidak sesuai dengan harapan maka seseorang tentu kecewa. Adanya perbedaan harapan dapat memengaruhi kecenderungan individu untuk berkomentar dan berpikir negatif. Harapannya pasangan memiliki gaji yang lebih banyak namun pasangan menyukai pekerjaan sosial, alhasil semakin hari semakin memunculkan ketidakpuasan dalam relasi. Dalam relasi persaudaraan atau pertemanan, kerapkali seseorang menganggap penting nilai kesopanan dan kejujuran sementara yang lain tidak. Maka hal ini dapat membuat konflik berkepanjangan jika tidak dikomunikasikan dengan baik. 

 

Beberapa prinsip secara umum untuk memahami konflik yaitu bahwa konflik tidak selali berdampak negatif. Meskipun kita tahu bahwa konflik dalam relasi interpersonal adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun kita perlu sadari juga bahwa konflik itu dapat memiliki aspek positif.  jika kedua orang (pihak) yang sedang berkonflik memiliki cara yang produktif maka hubungan akan semakin kuat, relasi lebih sehat dan semakin kuat, bahkan lebih mampu untuk menghadapi masalah-masalah yang lainnya. Semakin terjalin komunikasi, mau belajar dari kesalahan dan menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam memecahkan masalah. Dampak negatif dari konflik maka dapat saling menyakiti, menimbulkan perasaan kecewa, marah meskipun relasi yang sangat erat sekalipun. Bahkan relasi yang dekat lebih rentan untuk merasakan kekecewaan akibat konflik. 

 

Bagaimana solusi ketika terjadi konflik?

Kita sulit untuk menghilangkan konflik namun kita dapat belajar seni berkonflik. Seni berkonflik disini adalah melakukan manajemen konflik yang mengacu pada proses menghilangkan aspek negatif dari konflik, dan juga sekaligus menyoroti hal-hal positif dari sebuah konflik. Pada dasarnya solusi dari konflik mendasari dari fokus individu dalam menyelesaikan konflik. Management konflik ini memiliki dua dimensi yaitu adanya kerjasama dan kemampuan asertif. Aspek Kerjasama menunjukkan sejauh mana ketika seseorang menghadapi konflik cenderung semakin mau bekerjasama dengan orang lain atau sebaliknya seseorang itu menjadi individu yang menyerang orang lain. Kemampuan asertif menunjukkan kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan. Pada aspek ini mengukur sejauh mana ketika seseorang berkonflik berani berdiskusi atau justru cenderung menghindar bahkan cenderung diam tidak menyelesaikan masalah layaknya kura-kura. 

 

Dalam relasi dengan pasangan, saudara atau orang lain yang kehadirannya akan selalu ditemui maka dibutuhkan kemampuan asertif dan bekerjasama dalam menyelesaikan konflik. Karena ketika kita berdiam dan menghindar maka sebenarnya cenderung membuat masalah baru yang tidak terselesaikan. Adanya konflik diharapkan dapat membuat relasi semakin dekat dan hangat sekaligus membantu individu lebih kreatif serta bijaksana dalam menemukan solusi yang tepat. 

 

Seni dalam berkonflik dapat melalui banyak proses, berikut ini beberapa tips sederhana berdasarkan cara penyelesaian konflik interpersonal Devito (2015) yaitu:

 

1.      Mengakui

Setiap manusia perlu untuk mengakui dan menyadari adanya masalah itu baru dapat diselesaikan. Semakin awal individu menyadari adanya sebuah masalah maka semakin mudah untuk menyelesaikan masalah itu. Masalah tidak akan selesai karena anda menganggap, ah itu biasa, ah sudahlah…biarkan saja, saya tidak peduli, saya ingin absen dari relasi ini (pasif). Pribadi dewasa adalah pribadi yang berani mengakui adanya masalah dan selanjutnya menyelesaikan. 

 

2.      Berperan Aktif 

Sebagai manusia yang tidak dapat lepas dari kekurangan dan kesalahan demikian juga kita sulit untuk terlepas dari manusia karena sejatinya kita membutuhkan orang lain. Maka ketika berkonflik sejatinya kita perlu berperan aktif, terlibat dalam menyelesaikan masalah dan bukan membiarkan saja tanpa ada kejelasan bahkan tidak ada titik terangnya. 

 

3.      Fokus dengan solusi

Kerapkali masalah tidak terselesaikan karena mengingat masa lalu dan kecemasan, ketakutan di masa yang akan datang yang sejatinya belum terjadi. Maka diperlukan pikiran yang jernih untuk tetap fokus mencari solusi dari masalah bukan menambah masalah. Fokus pada penyelesaian masalah untuk keberlangsungan relasi, bukan mengungkit masalah yang tidak bisa diselesaikan. Fokus masalah yang bisa diselesaikan dan membuat relasi lebih baik di masa yang akan datang. 

 

4.      Melakukan afirmasi

Penting untuk memberi ruang, waktu untuk diskusi bersama bukan saling menyalahkan. Dalam kesempatan ini, kita dapat menanyakan apa yang dirasakan oleh lawan bicara terkait konflik yang dihadapi dan adakan waktu berkomunikasi untuk bersepakat. 

 

5.      Berani mengambil resiko 

Berani untuk mengambil resiko ditolak ketika memulai membenahi relasi, atau ketika anda meminta maaf. Adanya kemauan untuk berubah, beradaptasi dan mengambil tugas baru serta tanggung jawab sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan keberadaan orang lain. Terutama relasi saudara kandung, pasangan dan keluarga yang merupakan orang-orang terdekat kita. 

 

Kesimpulan 

Ketika anda mengalah bukan berarti kalah, ketika anda menang bukan berarti anda memenangkan bahkan bisa sebaliknya. Ingatlah bahwa sebuah relasi membutuhkan kerjasama dan keterbukaan baik dalam pikiran dan perasaan.  Oleh karena itu dibutuhkan waktu untuk mendengarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. 

 

Konflik bukan untuk dihindari, namun belajarlah dari konflik itu untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam berpikir dan berelasi

-KRL-

 

Referensi:

 

DeVito, J. A. (2015). Human communication (13th ed.). Boston, MA: Pearson.

 

Eggert, M. A., & Falzon, W. (2003). The resolving conflict pocketbook. Management Pocketbooks

 

Hurt, K. J., & Welbourne, J. (2018). Conflict and Decision-Making: Attributional and Emotional Influences. Negotiation and Conflict Management Research11(3), 225-251. https://doi.org/10.1111/ncmr.12133