ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 9 Mei 2022

 “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi”: 

Paradoks Diskriminasi Gender Dalam Buku Pelajaran Sekolah

 

Oleh:

Bunga Adjeng Ayu & Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi” 

Begitu bunyi penggalan buku belajar membaca dan menulis jadul yang legendaris. Buku ini semakin mudah dipahami dengan disisipkan ilustrasi yang menceritakan keseharian Budi dan keluarganya. Ibu Budi menjahit, kakak perempuan Budi mengelap jendela, ayah Budi membaca koran, dan Budi berjalan ke luar rumah. Di ilustrasi lainnya, bapak Budi dan Budi membawa sekop dan ember, sedangkan Ibu dan kakak perempuan Budi memetik bunga (Prasetiyo, 2016). Isu bias gender di lingkup pendidikan tidak berhenti di Budi. Di luar sana, masih beredar buku ajar sekolah yang mengotak-kotakkan gerak seseorang berdasarkan gendernya, baik lewat ilustrasi ataupun teks. Buku-buku tersebut merupakan buah sekaligus benih dari diskriminasi gender di tengah masyarakat.

 

A Small, Big Deal

Di sekolah, murid menghabiskan 70-95% waktu belajar menggunakan buku pelajaran (Camera, 2016)Selain sebagai pedoman belajar-mengajar, buku pelajaran adalah alat perubahan sosial karena mencerminkan dan menyampaikan ulang informasi mengenai norma sosio-budaya di lingkungan sekitar (Yonata, 2020)Sayangnya, nilai-nilai gender tradisional dalam buku, termasuk peran dan stereotip gender yang diskriminatif masih marak dan tidak ditentang oleh guru (Page & Jha, 2009, sebagaimana dikutip dalam Islam & Asadullah, 2019)Peran gender adalah ekspektasi lingkungan yang menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan berperilaku. Ini berkaitan dengan stereotip mengenai kemampuan, kepribadian, dan perilaku sosial seseorang berdasarkan gendernya (Weiten et al., 2018)Stereotip gender kuno yang menyatakan bahwa laki-laki secara fisik lebih kuat dan perempuan lebih emosional membuat laki-laki diasosiasikan dengan karir dan kegiatan menguras keringat, sedangkan perempuan dengan penampilan dan kegiatan mengurus rumah tangga. Ada pula label bahwa laki-laki cenderung lebih menguasai bidang-bidang yang melibatkan perhitungan dan logika, dan perempuan di bidang bahasa (Weiten et al., 2018). Ini menyebabkan kesenjangan peran laki-laki dan perempuan di bidang keilmuan terkait bahasa dan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

 

Studi oleh Islam dan Asadullah (2019) menemukan bahwa di buku pelajaran Indonesia, tokoh perempuan dan laki-laki ditampilkan dalam jumlah hampir seimbang, namun perempuan digambarkan melakukan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan berpendapatan rendah. Dalam penelitian oleh Binasdevi dan Abdurahman (2021) serta Zulmi dan Lisytani (2017)buku tematik K13 untuk SD menunjukkan tokoh laki-laki melakukan aktivitas berat dan aktivitas di luar rumah, seperti memperbaiki rumah, dan tokoh perempuan mengurus rumah tangga. Selain itu, di buku bahasa Inggris SMA/SMK, Suhartono dan Kristina (2018) mengungkapkan bahwa tokoh laki-laki digambarkan tidak memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Sedangkan dari segi penggunaan bahasa, buku-buku bahasa Inggris lebih sering menggunakan kata ganti laki-laki (Suhartono & Kristina, 2018;  Mihira et al., 2021). Mungkin kita jarang sadar dengan masalah ini, tetapi jangan ragukan kekuatan pendidikan!

  

Education is A Weapon

Sejak dini, anak-anak Indonesia menyerap gagasan bahwa potret keluarga yang “ideal” adalah ibu yang mengambil belanja di pasar dan ayah yang menerima gaji. Saat anak perempuan bermain masak-masakan, anak laki-laki bermain sepak bola. Ketika mereka diminta untuk menceritakan cita-cita, anak laki-laki akan berkata bahwa mereka ingin menjadi astronot atau pemadam kebakaran, dan anak perempuan akan memilih untuk menjadi guru atau perawat. Semua ini “diajarkan” kepada mereka. Mereka akan menyesuaikan diri mereka dengan hal yang dipandang lazim di lingkungan mereka, dan menjauhi kegiatan yang “tidak cocok” dengan gender mereka. Tanpa disadari, anak-anak menanamkan diskriminasi pada diri sendiri dan generasi berikutnya, membakar bara lingkaran setan diskriminasi gender (Camera, 2016).

 

Program studi yang “maskulin”, seperti STEM, akan memiliki lebih banyak jumlah dosen dan mahasiswa laki-laki, sedangkan program studi yang “feminin”, seperti kesehatan, akan memiliki lebih banyak jumlah dosen dan mahasiswa perempuan (Marcoes, 2018)Ini dapat memperburuk perbedaan komposisi tenaga kerja perempuan dan laki-laki di dua sektor tersebut. Stigma “perempuan di rumah aja!” yang melekat pada perempuan pun akan menghambat mereka untuk mendapat kesempatan yang setara dengan laki-laki di sekelilingnya. Sedangkan laki-laki yang ingin merawat anak dipandang negatif, karena parenting dikatakan bukan kewajiban mereka (Rehel & Baxter, 2015). Lebih lanjut, karena laki-laki selalu didorong untuk beraktivitas di luar rumah, mereka lebih rentan terkena kanker kulit! Menurut dermatologis dr. Neal Schultz, tingginya risiko penyakit itu diperparah oleh rasa enggan laki-laki untuk memakai skin care, sesuatu yang dianggap feminin (Dahl, 2014).

 

 

Sudah saatnya kita menghentikan paradoks diskriminasi gender ini. Kita dapat mulai membuka diskusi tentang kesetaraan gender dengan pelajar sekolah yang kita kenal dan menjelaskan kembali miskonsepsi pada buku pelajaran mereka. Di rapat sekolah, kita dapat mengajukan program pendidikan gender yang berprinsip kesetaraan. Jika Kemdikbud-Ristek (2021) menyatakan bahwa sekolah Indonesia mendukung akses pendidikan yang adil gender, sertai hal itu dengan menghapus kurikulum dan buku yang “mendukung” ketidakadilan gender. Anak-anak butuh kita, dan kita butuh anak-anak untuk menciptakan dunia yang lebih baik lagi!

 

 

 

REFERENSI:

 

Binasdevi, M., & Abdurahman, A. (2021). Ketidaksetaraan gender dalam buku tematik 2013 perspektif semiotika Pierce. Equalita: Jurnal Studi Gender Dan Anak3(1), 132–142. https://doi.org/10.24235/equalita.v3i1.8738

 

Camera, L. (2016, March 8). How children around the world learn to be sexist. US Newshttps://www.usnews.com/news/articles/2016-03-08/sexism-in-textbooks-a-worldwide-problem

 

Dahl, M. (2014, August 5). Why men are more likely to get skin cancer? The Cut.https://www.thecut.com/2014/08/why-are-men-more-likely-to-get-skin-cancer.html

 

Islam, K. M. M., & Asadullah, N. M. (2019). Gender stereotypes and education: A comparative content analysis of Malaysian, Indonesian, Pakistani and Bangladeshi school textbooks. PLoS ONE13(1). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0190807

 

Kemdikbud-Ristek. (2021, May 4). Upaya mewujudkan kesetaraan gender di dunia pendidikan. Direktorat Sekolah Dasar. http://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/upaya-mewujudkan-kesetaraan-di-dunia-pendidikan

 

Marcoes, L. (2018, April 21). Kesenjangan gender di perguruan tinggi. Media Indonesiahttps://mediaindonesia.com/opini/156416/kesenjangan-gender-di-perguruan-tinggi

 

Mihira, L. S. N., Suwastini, N. K. A., Artini, N. N., Jayantini, I. G. A. S. R., & Budiarta, I. W. (2021). Gender inequality represented in English textbooks: A literature review. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora10(3), 576–696. https://doi.org/10.23887/jish-undiksha.v10i3.39209

 

Prasetiyo, W. (2016, May 2). Ide besar di balik kesederhanaan buku ‘ini budi’ dari Siti Rahmani. DetikNewshttps://news.detik.com/berita/d-3201431/ide-besar-di-balik-kesederhanaan-buku-ini-budi-dari-siti-rahmani

 

Rehel, E., & Baxter, E. (2015). Men, fathers, and work-family balancehttps://www.americanprogress.org/article/men-fathers-and-work-family-balance/

 

Suhartono, & Kristina, D. (2018). Gender bias in textbooks and test items of English language learning in the Indonesian context. 4th PRASASTI International Conference on Recent Linguistics Research (PRASASTI 2018), 425–428. https://doi.org/10.2991/prasasti-18.2018.78

 

Weiten, W., Dunn, D. S., & Hammer, E. Y. (2018). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 21 st century (12th ed.). Cengage Learning.

 

Yonata, F. (2020). Manifestasi gender dalam buku ajar. Sulur Pustaka.

 

Zulmi, B. N., & Lisytani, R. H. (2017). Bias gender dalam buku tematik siswa kurikulum 2013 (Studi semiotika ketidaksetaraan gender dalam pendidikan). Paradigma: Jurnal Online Mahasiswa S1 Sosiologi UNESA5(3). https://www.neliti.com/id/publications/253229/bias-gender-dalam-buku-tematik-siswa-kurikulum-2013-studi-semiotika-ketidaksetar