ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 9 Mei 2022

Mekanisme Coping Stress Pada Prajurit TNI-AU

 

Oleh :

Ayu Fadilah, Kinanti Nurohmawati & Hesty Yuliasari

Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. TNI sebagai alat pertahanan negara terdiri dari tiga matra, antara lain: TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), dan TNI Angkatan Udara (AU). TNI AU yang dikenal sebagai salah satu yang terkuat di Asia-Pasifik karena mempunyai sederet pesawat tempur handal yang memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan tugas TNI matra udara pada bidang pertahanan, menegakkan hukum dan menjaga keamanan diwilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara, serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara (Annisa, 2012). 

 

Ketika masyarakat sipil bergabung menjadi bagian dari anggota militer, maka mereka kebanyakan akan mengalami perubahan yang bertentangan dengan kebiasaan mereka dalam kehidupan sipil. Masyarakat militer berbeda dari masyarakat sipil lainnya dalam banyak fenomena (Annisa, 2012). Seseorang yang sebelumnya mempunyai pola hidup serba santai dan tidak terikat maupun dituntut untuk berubah ketika memasuki dunia militer, dan dituntut fisik yang tahan banting dalam menghadapi segala kondisi dan dalam latihan dasar kemiliteran (Wicaksono, 2017). Pada TNI Angkatan Udara merupakan salah satu profesi yang memiliki tingkat kerja sangat tinggi, sehingga individu dituntut untuk selalu siap disetiap situasi, hal tersebut dapat menyebabkan tekanan dalam diri individu yang dapat mengakibatkan munculnya stress. 

 

Menurut WHO (Kartini dkk, 2018) pada tahun 2014 sebesar 8% penyakit yang ditimbulkan akibat kerja adalah stress. Di Indonesia, stres kerja menjadi suatu masalah serius yang dibuktikan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan dengan angka gangguan mental emosional sebesar 9,8. Sebesar 35% stres diakibatkan oleh kerja yang berakibat fatal dan diperkirakan hari kerja yang hilang sebesar 43% (Azhar & Iriani, 2021). Penelitian lain yang dilakukan oleh Labour Force Survey pada tahun 2014 menemukan adanya 440.000 kasus stress akibat kerja di Inggris dengan angka kejadian sebanyak 1.380 kasus per 100.000 pekerja yang mengalami stress akibat kerja. Stres akibat kerja juga dialami oleh para tentara yang memiliki tugas sebagai penjaga keamanan dan stabilitas negara (Kartini dkk, 2018). Stress akan muncul bila tuntutan yang luar biasa dan terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas individu (Wicaksono, 2017).

 

Stres akibat kerja juga dialami oleh para tentara yang mempunyai tugas sebagai penjaga keamanan dan stabilitas negara. Prajurit TNI Angkatan Udara yang menghadapi tuntutan kerja harus siap dalam keadaan apapun, serta harus menjaga wilayah pertahanan udara Republik Indonesia yang kemungkinan bisa terjadinya bahaya yang dapat mengancam diri prajurit, sehingga hal tersebut kerap menimbulkan stress pada prajurit. Hasil penelitian oleh Kaikkonen & Laukkala (2016) menjelaskan bahwa pemaparan secara  berulang terhadap situasi pertempuran dan stressor lainnya dapat berpengaruh pada kesehatan mental prajurit melalui berbagai cara.

 

Stress merupakan suatu bentuk respon tubuh seseorang yang mempunyai beban pekerjaan secara berlebihan. Jika seseorang tersebut tidak sanggup untuk mengatasinya, maka orang tersebut akan mengalami gangguan dalam menjalankan pekerjaannya. Stress kerja pada prajurit TNI AU dipengaruhi oleh disiplin kerja dalam lingkungan TNI. Terkadang perintah atasan sering berubah, kurang jelas dan berlebihan diluar jam dinas. Kemudian terkadang juga terjadi pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan kepentingan bawahannya, selain itu dalam lingkungan kerja TNI mempunyai  aturan bahwa perintah komandan bersifat mutlak (prerogerative) (Kartini dkk, 2018)Stress yang sering dihadapi salah satunya adalah mobilitas yang cukup tinggi, hal tersebut dapat terjadi karena prajurit dihadapkan pada tugas yang dianggap sulit dan tugas tersebut dikhawatirkan tidak dapat diselesaikan. Selain itu prajurit juga bisa mengalami masalah, baik secara pribadi maupun mengenai masalah yang ada di tempat dinas.

 

Videbeck (Kartini dkk, 2018) menyebutkan bahwa untuk dapat menghadapi keadaan stress maka seseorang harus mampu beradaptasi dengan stressor dalam melakukan tindakan. Respon atau tindakan tersebut termasuk dalam respons fisiologis dan psikologis. Respon adaptif psikologis dari stresor tersebut disebut dengan mekanisme koping. Menurut Keliat (Kartini dkk, 2018) mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. 

 

Revenson (Kartini dkk, 2018) mengatakan bahwa bentuk dari mekanisme koping yaitu berorientasi pada masalah yang merupakan sebuah bentuk dari mekanisme koping yang berpusat pada masalah atau situasi yang menyebabkan stres. Mekanisme ini meliputi cara-cara yang dilakukan oleh individu secara konsruktif terhadap stres yang dialaminya, sehingga individu dapat terbebas dari masalah tersebut. Kemudian mekanisme kedua yaitu berorientasi pada emosi yang mana mekanisme ini mengikutsertakan usaha mengubah emosi, berdasarkan pengalaman yang disebabkan oleh peristiwa yang menimbulkan stress(Kartini dkk, 2018).

 

Nakkas, Annen, & Brand (Kartini dkk, 2018) menyebutkan bahwa tentara yang mempunyai koping fungsional memiliki hubungan dengan negatif atau tidak terdapat skala distress, dan tentara yang menggunakan koping disfungsional memiliki hubungan dengan positif atau terdapat distress. Mekanisme koping yang digunakan oleh prajurit berbeda-beda. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor kesehatan fisik, faktor keyakinan atau pandangan positif, faktor keterampilan, dan sebagainya. Faktor yang paling berpengaruhi adalah kesehatan fisik, karena mengingat prajurit berhubungan erat dengan latihan-latihan fisik dan ketika kesehatannya terganggu serta prajurit mendapatkan stressor maka sangat memungkinkan prajurit akan menggunakan mekanisme koping destruktif  (Kartini dkk, 2018). Mekanisme koping destruktif yang digunakan yakni dengan menghindari masalah dan menolak atau seakan-akan merasa tidak ada masalah (Wijayanti. 2013).

 

 

Referensi:

 

Annisa, F. (2012). “Coping Stress Karbol Dalam Menempuh Pendidikan Militer Di Akademi Angkatan Udara. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 

 

Azhar, F., & Iriani, D. U. (2021). Determinan Stres Kerja pada Aparatur Sipil Negara Dinas Pendidikan Kota Cilegon Saat Work From Home di Era Pandemi Covid-19 Tahun 2020. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan31(1).

 

Kartini, R., Zakiyah., & Narulita, S. (2018). Hubungan Mekanisme Koping Terhadap Tingkat Stres Prajurit TNI Angkatan Darat. Jurnal Kesehatan7(1), 23-34.

 

Wicaksono, D. A. (2017). Pengaruh kedisiplinan dalam pendidikan militer TNI AU terhadap tingkat stress. Widya Warta: Jurnal Ilmiah Universitas Katolik Widya Mandala Madiun41(02), 174-186.

 

Wijayanti, N. (2013). Strategi coping menghadapi stres dalam penyusunan tugas akhir skripsi pada mahasiswa program S1 Fakultas Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.