ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 7 Apr 2022

 “Bilang Cinta, Koq Nyakitin?”

 

Oleh

Fitri Wijayanti, Lutfia, Yunizar Rissane, Odilia Rovara & Erna Risnawati

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

 

 

Kasus Kekerasan dalam Pacaran

Di pertengahan tahun 2021 melalui beberapa media sosial, kita dikejutkan oleh kasus kekerasan oleh seorang mahasiswa terhadap pacarnya berupa kekerasan verbal dan fisik, bahkan ancaman revenge porn. Lalu di akhir tahun 2021, kasus Bripda Randy Bagus, seorang polisi yang bertugas di Polres Pasuruan, melakukan kekerasan verbal dan seksual pada pacaranya, Novia Widyasari, hingga hamil sebanyak dua kali lalu menyuruhnya untuk aborsi. Kasus ini berakhir tragis dengan kematian Novia karena bunuh diri. Selain di Indonesia, di luar neger pun terdapat kasus serupa. Estebam, melakukan kekerasan fisik, memukuli, menjambak, hingga hampir menggantung pacarnya bernama Camilla Serra, seorang model cantik terkenal asal Turki dengan alasan cemburu. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, KDP telah terjadi sebanyak 4500an kasus, dan jumlah tersebut meningkat tiga kali lebih banyak dibanding tahun 2020, serta menempati peringkat kedua setelah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

 

Apa yang dimaksud dengan KDP?

KDP adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, psikis, verbal, ekonomi dan pembatasan aktifitas. KDP belum begitu mendapat sorotan jika dibanding KDRT sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Bentuk KDP berupa kekerasan, yaitu:

 

1.    Fisik: Memukul, mencekik, menampar, menendang, mendorong

2.    Psikis dan verbal: Membentak, mengancam, mengejek, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan

3.    Ekonomi: meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya sampai menguras harta pasangan

4.    Seksual: Meraba, memeluk, mencium, memaksa melakukan hubungan seksual

5.    Pembatasan aktifitas terhadap pasangan, sangat posesif, curiga, mengatur sikap dan hidup pasangan

 

Pelaku KDP Ditinjau dari Teori Etologi dan Teori Kelekatan Bowlb – Ainsworth

Etologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku, khususnya binatang. Konrad Lorenz sebagai bapak etologi modern, menganggap bahwa perilaku hanya bisa dipelajari di kehidupan alami, bukan di laboratorium. Lorenz memperkenalkan “Perilaku Imprinting” (pencetakan), yaitu perilaku yang hanya terbentuk pada periode kritis, jika obyeknya dapat terlihat dan diikuti dari awal kehidupan. Ahli etologi lainnya yaitu Niko Tindbergen, memperkenalkan “Perilaku Insting”, yaitu perilaku yang tidak pernah dipelajari, hanya bereaksi terhadap stimulus eksternal spesifik (Crain, 2014). 

 

Ketidakberhasilan perilaku imprinting dan insting pada anak, sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku kekerasan pada individu setelah dewasa, karena sangat berkaitan dengan kebiasaan. Jika dalam keluarga tidak dibiasakan untuk memberikan kasih saying, maka akan menumbuhkan respon perilaku yang menjurus pada kekerasan. Kurangnya pemenuhan kasih sayang tersebut membuatnya mencari di luar lingkup keluarga. Ketika orang yang memberikan rasa sayang itu pergi, ia akan melakukan apapun agar sumber kasih sayang itu tidak pergi, termasuk dengan kekerasan. Sebagian besar pelaku KDP setelah melakukan kekerasan, langsung menunjukkan sikap menyesal, bersikap manis serta berjanji tidak melakukannya lagi, sehingga banyak korban yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam KDP. Kondisi tersebut dianggap merupakan hal yang wajar sebagai bentuk rasa cinta dan peduli dari pasangan.

Salah satu penerapan teori etologi pada perkembangan manusia ialah teori kelekatan John Bowlby, yang menyatakan bahwa kelekatan pada ibu atau pengasuh pada tahun pertama kehidupan seorang anak memiliki konsekuensi penting sepanjang hidupnya. Di dalam Cenceng (2015), ada empat fase kelekatan anak menurut Bowlby, yaitu:

 

-       Fase 1 (sejak lahir – usia 3 bulan), berupa respon tak terpilah pada manusia

-       Fase 2 (usia 3 bulan – 6 bulan), dimana bayi fokus pada orang yang dikenal

-       Fase 3 (usia 6 bulan – 3 tahun), berupa kelekatan yang intens dan pencarian kedekatan yang aktif, dan

-       Fase 4 (usia 3 tahunsampai akhir masa kanak-kanak), menunjukkan tingkah laku persahabatan

 

Tentunya semua fase kelekatan tersebut akan berdampak pada anak; tidak terpenuhinya kelekatan yang aman dan positif pada setiap fase tersebut, akan menimbulkan kecenderungan untuk menjadi pelaku KDP saat ia dewasa.

 

Sedangkan pola kelekatan menurut Ainsworth, ada tiga macam, yaitu secure attachment (pola kelekatan aman) serta pola insecurely attached yang terdiri dari resistant attachment (pola kelekatan melawan/ambivalen), dan avoidant attachment (pola kelekatan menghindar). Jika dikaitkan dengan pola kelekatan, bayi-bayi pada kelompok securely attached berdampak pada tumbuhnya perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan dan lebih percaya diri dalam membangun hubungan. Tentunya sifa tersebut jarang muncul pada bayi yagn kelak menjadi pelaku KDP.

 

Menurut Wekerle dan Wolfe (1999, dalam Margaretha, 2012), bayi-bayi pada kelompok insecurelyattached dapat menjadi risiko dalam KDP, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Secara spesifik, kelompok insecure-ambivalent attachement mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan kelompok avoidant attachment. Pada kelompok kelekatan menghindar, merepresentasikan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri akibat tidak direspon atau ditolak oleh orang tua. Sedangkan bayi yang mempunyai pola insecure-ambivalent attachment, mengakibatkan terjadinya representasi seorang individu yang memiliki sifat marah, cenderung bergantung dan menuntut perhatian. Sifat-sifat tersebut berhubungan dengan penggunaan kendali terhadap pasangan sehingga dapat diprediksi adanya kecenderungan sebagai pelaku KDP.

 

Solusi bagi pelaku KDP

Pelaku KDP terkadang tidak menyadari bahwa dirinya memiliki sikap negatif akibat kegagalan di masa pembentukan perilaku imprintinginsting atau kelekatan. Oleh karena itu perlu kenali secara mandiri seberapa sering anda mengeluarkan sikap negatif dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana cara menanggulanginya.

 

1.  Apakah anda sering merasa bad mood dan mengeluh? Jika sering, maka cara menanggulanginya dengan mengeluarkan isi hati dan permasalahan kepada pasangan dengan cara yang benar.

2.  Apakah sering mengkritisi kehidupan di sekeliling anda dan melihat satu kejadian berdasarkan sudut pandang negatif? Jika sering, maka cara menanggulanginya dengan memposisikan diri dari sudut pandang orang lain dan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang bersikap positif.

3.  Apakah anda sangat perfeksionis dalam menyelesaikan sesuatu? Jika ya, maka cara menanggulanginya dengan menciptakan tujuan dan ekspektasi yang realistis. Selain itu, terima setiap kegagalan dan jadikan sebagai pembelajaran di kemudian hari.

4.  Apakah sering mengatakan ‘tidak’ ketimbang ‘ya’ pada permintaan pasangan? Jika sering, cara menanggulanginya dengan melihat bagaimana pasangan bereaksi. Ketika anda mengatakan tidak, ajaklah pasangan untuk berdiskusi dan mencari solusi bersama.

 

 

Referensi:

 

Cenceng. (2015). Perilaku Kelekatan pada Anak Usia Dini (Perspektif John Bowlby)Lentera, IXX(2)141-153.

 

Crain, W. (2014). Theories of Development Concepts and Applications 6th Edition. HarlowPearson Education Limited.

 

Santoso, Y(2007)Teori   Perkembangan: Konsep dan AplikasEdisi ketigaYogyakartaPustakPelajar.

 

Margaretha, N.R.T. (2012). Pengaruh gaya kelekatan Romantis Dewasa (Adult Romantic AttachmentStyle) terhadap Kecenderungan untuk MelakukaKekerasan Dalam Pacaran. Jurnal PsikologiKepribadian dan Sosial 1(2): 74 – 83