ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 7 Apr 2022

Apakah Merasa Depresi Sama Dengan Major Depressive Disorder?

 

Oleh:

Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

 

“Aduh, mood ku down, kayaknya aku depresi deh”

“Aku sedih mulu belakangan ini, fix aku depresi”

 

Ada yang relate dengan kalimat diatas? Apakah teman-teman sering memberikan label atau mendiagnosa bahwa kalian mengalami depresi? Tetapi, apakah ada perbedaan antara merasa depresi dengan gangguan psikologis depresi atau yang seringkali disebut sebagai Major Depressive Disorder, ya?

 

Depresi sebagai sebuah perasaan merupakan perasaan sedih, down, dan tidak berdaya. Perasaan depresi (feeling depressed) wajar dan normal sekali dialami oleh setiap individu dari waktu ke waktu. Perasaan depresi sifatnya sementara sehingga intensitasnya pun juga akan menurun dan digantikan oleh perasaan yang lain. Perasaan depresi tentu berbeda dengan gangguan psikologis Major Depressive Disorder (MDD). Major Depressive Disorder (MDD) lebih dari sekedar merasa sedih. Jika dianalogikan, rasanya seperti ada awan hitam yang selalu berasa di atas kepala kita dan tidak pernah tergantikan dengan awan yang cerah. MDD merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai dengan kesedihan yang persisten, kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, dan gejala ini berlangsung secara terus menerus minimal dua minggu (American Psychiatric Association, 2013). Kenapa disebut major? Hal ini dikarenakan terdapat minimal lima dari Sembilan gejala yang ditemukan selama periode waktu minimal dua minggu serta mengganggu keberfungsian individu dalam setiap aspek kehidupannya.

 

Major Depressive Disorder (MDD) memiliki beberapa nama lain seperti clinical depression atau unipolar depression yang ditandai oleh beberapa ciri berikut ini (APA, 2013):

 

1.  Mood terdepresi hampir setiap hari. Mood terdepresi bisa sebagai perasaan sedih yang terus menerus, merasa kosong dan tidak ada harapan, pun merasa tidak berdaya. 

 

2.  Kehilangan minat dan kesenangan pada hampir semua aktivitas sepanjang hari. Misalnya: ketika sebelumnya seseorang hobi menonton film, namun rasanya film tidak lagi membawa kesenangan untuknya.

 

 

3.  Adanya perubahan berat badan yang bermakna, yakni lebih dari 5% sebulan. Perubahan berat badan bisa dikarenakan penurunan berat badan (tanpa melakukan diet) maupun penambahan berat badan. Selain itu, bisa juga dengan adanya penurunan maupun peningkatan nafsu makan yang signifikan.

 

4.  Adanya perubahan pola tidur. Hal ini bisa berupa kesulitan untuk tidur, mempertahankan tidur, atau bahkan bisa tidur sepanjang hari.

 

5.  Agitasi atau retardasi psikomotorik hampir setiap hari. Agitasi psikomotorik merupakan gerakan motorik yang berulang, tidak terorganisir dan tidak bertujuan, misalnya: berjalan mondar-mandir, meremas tangan, menggerakkan kaki, dan sebagainya. Di sisi lain, retardasi psikomotorik ditandai oleh lambat dalam berbicara, berpikir, menggerakkan tubuh, peningkatan jeda sebelum menjawab pertanyaan, dan sebagainya.

 

6.  Merasa kelelahan atau kehilangan energi bahkan untuk melakukan aktivitas sederhana seperti bangun tidur, mandi, makan, dan sebagainya.

 

7.  Adanya perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang ditunjukkan hampir setiap hari. 

 

8.  Penurunan kemampuan berpikir atau berkonsentrasi hampir setiap hari. Individu juga akan kesulitan untuk mengingat, menjadi mudah terdistraksi, dan membuat keputusan.

 

9.  Adanya pikiran mengenai kematian yang berulang. 

 

Gejala yang dirasakan oleh individu menyebabkan penderitaan dan/atau gangguan baik secara sosial, fungsi, pendidikan, pekerjaan, pun bidang penting lainnya.

 

Faktor risiko individu mengalami MDD sangat kompleks. Tidak ada penyebab tunggal individu mengalami MDD. Terdapat interaksi dari faktor biologis, psikologis, dan juga sosial (APA, 2013; Bruce, 2021; Higuera, 2021; Schimelpfening, 2020), yakni: 

 

a.    Faktor Biologis

1.  Jika terdapat anggota keluarga tingkat pertama yang mengalami MDD, individu memiliki risiko mengalami MDD 2-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Penelitian menjelaskan bahwa depresi sekitar 40% ditentukan oleh genetik. 

2. Hipokampus —bagian di otak yang berfungsi sebagai penyimpanan memori lebih kecil pada inidvidu yang mengalami MDD dibandingkan dengan populasi umum. 

3.   Adanya neurotransmitter imbalance, seperti dopamine, serotonin, dan norepinephrine yang berperan penting dalam meregulasi mood individu. 

4.   Individu lebih berisiko mengalami MDD jika memiliki penyakit kronis seperti diabetes, kanker, gangguan tidur, dan sebagainya.

 

b.    Faktor Psikologis dan Sosial

Lingkungan yang tidak kondusif dan pengalaman masa kanak-kanak yang menyakitkan bisa meningkatkan faktor risiko individu mengalami MDD, misalnya: adanya kekerasan secara fisik, verbal, emosional, seksual ataupun finansial dari orang tua; mengalami kehilangan orang terkasih, dan sebagainya. Selain itu, adanya perubahan besar dalam hidup, tekanan dalam diri individu, kurangnya support system, serta bagaimana cara individu menyelesaikan permasalahan pun dapat menjadi faktor risiko individu mengalami MDD

 

CARA MENDIAGNOSA DEPRESI

Untuk mendiagnosa individu mengalami gangguan psikologis MDD, perlu adanya pemeriksaan atau asesmen yang komprehensif mulai dari wawancara, observasi, tes psikologis, hingga membandingkan gejala yang ditampilkan oleh inidividu ke dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) V. Ingat ya bahwa diagnosis hanya bisa ditegakkan oleh Tenaga Profesional Kesehatan Mental, yakni Psikolog dan Psikiater.

 

CARA MENGATASI DEPRESI

Dalam mengatasi MDD, individu perlu untuk berkonsultasi ke Psikolog dan/atau Psikiater. Psikolog akan memberikan psikoterapi sesuai dengan kebutuhan individu sedangkan Psikiater akan memberikan psikoterapi dan juga farmakoterapi. Psikoterapi seringkali disebut sebagai talk therapy atau psychological therapy. Psikoterapi yang biasanya diberikan kepada individu MDD, yakni (Cherry, 2021):

 

1.  CBT (Cognitive Behavior Therapy) merupakan salah satu bentuk terapi kognitif yang berfokus untuk mengidentifikasi pikiran negatif atau irasional dan menantang pikiran irasional tersebut menjadi lebih rasional.

2.  DBT (Dialectical Behavior Therapy) merupakan bentuk terapi yang memfokuskan individu untuk belajar menoleransi distress, meregulasi emosinya dan meningkatkan hubungan mereka dengan orang lain.

3.  IPT (Interpersonal Therapy) merupakan bentuk terapi yang berfokus pada bagaimana hubungan dengan orang lain dapat berdampak pada depresi sehingga individu dapat memperbaiki hubungan dengan menyelesaikan konflik yang ada.

 

Biasanya psikoterapi diberikan kepada individu dengan MDD ringan dan sedang. Jika individu mengalami MDD berat, perlu adanya kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi. Cara lain yang bisa dilakukan dan dapat mengurangi gejala depresi yakni dengan cara berolahraga secara teratur, mindfulness,berhubungan dengan orang terkasih, tidur yang cukup, mengonsumsi makanan yang sehat, melakukan journaling, menghindari alkohol dan lain-lain.

 

 

Referensi:

 

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Fifth edition. American Psychiatric Association.

 

Bruce, D. F. (2021, March 08). Causes of depression. WebMD. https://www.webmd.com/depression/guide/causes-depression

 

Cherry, K. (2021, April 27). What Is Moderate Depression?. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/what-is-moderate-depression-5072794

 

Higuera, V. (2021, November 01). Everything You Need to Know About Depression (Major Depressive Disorder). Healthline. https://www.healthline.com/health/depression

 

Schimelpfening, N. (2020, March 21). Causes and Risk Factors of Depression. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/common-causes-of-depression-1066772