ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 7 Apr 2022
Nomophobia Menyerang Gen-Alpha, Kita Harus Apa?
Oleh:
Ros Indah Mawarsari
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Dunia masa kini tengah menuntut masyarakat terlibat pada aktivitas digital dalam berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali pendidikan di Indonesia. Transformasi pendidikan menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah peradaban, terbukti dengan perubahan kurikulum dan arah pandang pendidikan yang mengikuti jejak revolusi hingga dewasa ini menuju 5.0. Pergeseran budaya dan gaya hidup akhirnya juga menjadi efek domino, termasuk pada generasi. Tentu kita telah mengenal berbagai level generasi, bahkan yang terbaru di masa teknologi mapan saat ini, generasi alpha (atau disingkat gen alpha).
Gen alpha adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 2011-2025 (Ilga Maria, 2019). Kemajuan yang dirasakan gen Alpha bukan berarti tidak menyimpan problematika. Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan hasil penelitian yang menunjukkan besaran tingkat penggunaan gawai pada rentang usia anak termasuk 3,5% untuk anak usia di bawah satu tahun, dan 25,9% pada balita. Hasil riset dari mantan Menristekdikti Moh. Nasir mengenai penggunaan internet di Indonesia juga menggambarkan gen alpha termasuk pengguna internet terbesar dengan estimasi durasi sembilan jam per hari (Zakia, 2021).
Lalu dimana persoalannya? Tidak semua gen alpha hidup dalam situasi dan lingkungan serta latar belakang yang sama. Pengetahuan, supervisi maupun filterisasi akan mempengaruhi pola sikap dan gaya hidup termasuk psikologi mereka. Sebut saja permainan sebagai wadah belajar umum bagi dunia anak, tentu berbeda antara sebelum dan sesudah masuk pada era teknologi berbasis internet, pergeseran yang juga diungkapkan dalam teori ekologi pada tahap perkembangan manusia (Berns, 2013). Di era hadirnya teknologi inilah, terlebih di masa pandemi covid-19, gen alpha memiliki sarana permainan baru melalui gawai di genggaman mereka.
Masyarakat pun semakin bertransformasi, banyak hal tengah berubah, termasuk pola interaksi anak. Para guru, orang tua dan masyarakat di masa ini pun sudah terbiasa mendengar cita-cita generasi mereka sebagai youtuber, gamer, vlogger, programmer, atau content creator. Anak-anak menjadi lebih dekat dengan gawai dan akan sangat menderita ketika menjauh darinya. Mc Crindle menyebut gen alpha sebagai generasi yang tak bisa hidup tanpa smartphones (Sterbenz, 2014).Intensitas yang amat tinggi dan rasa ketergantungan berlebih pada penggunaan gawai inilah yang akan menjadi pemicu no mobile phone phobia atau dikenal dengan istilah Nomophobia.
Mengutip dari Indian Journal of Psychiatry, Archana T. Bhise (2014) menyebutkan bahwa Nomophobia menjadi sebuah gangguan kecemasan dimana penderita tidak dapat berpisah dari ponselnya. Lebih lanjut, penderita akan mengalami berbagai hal seperti rasa cemas berlebih atau ketakutan yang akan mengganggu aktivitas hariannya. Psikolog Anak Diana Rahma, M.Psi. mengistilahkan hal tersebut dengan Kecanduan Gadget. Pada gen alpha, anak akan menunjukkan reaksi cepat emosi atau ‘baper-an’, merasa tidak nyaman, dan mulai menggigit kukunya saat tidak memegang gawai (Bahtiar, 2021).
Nomophobia memang belum tercatat sebagai gangguan DSM-5 atau yang dimaksud Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, tetapi ilmuwan telah mengakuinya sebagai penyakit mental, terlebih pada mereka (anak) yang ‘candu gadget’ (Antonio-JoséMoreno-Guerrero, 2020). Di Indonesia, meski belum terdapat angka pasti penderita nomophobia pada anak, namun beberapa kasus pernah terungkap seperti gangguan jiwa pada anak yang ‘candu gadget’ di Bondowoso pada tahun 2018 silam. Hal yang sama juga mengancam generasi terkini.
Gen alpha yang telah terjebak dalam candu teknologi ini lambat laun akan kesulitan menggali jati dirinya bahkan lebih parahnya kehilangan dunia. Tentu ini menjadi perhatian seluruh lini, artinya dibutuhkan integrasi peran antar orangtua, masyarakat, maupun Negara. Integrasi ketiganya ada pada sisi edukasi dan penguatan kontrol. Hal tersebut tentu agar penggunaan gawai sesuai porsi dan mengalihkan potensi anak pada realita yang seimbang yakni belajar menumbuhkan intelektualitas dan mengembangkan karakter mentalitasnya.
Orangtua juga perlu menjadi contoh perilaku dalam penggunaan gawai dan internet di rumah termasuk fungsi pemenuhan kebutuhannya (Santrock, 2017). Lingkungan masyarakat dapat menciptakan suasana yang hangat dalam merangkul anak untuk bermain dan mengeksplorasi kehidupan nyata. Negara juga melalui media dan kebijakannya tetap menjadi supporting system terbaik dalam perlindungan dan hak-hak anak, begitupun pada gen alpha. Dengan demikian, akan terwujud ruang kondusif bagi generasi ‘era smart’ yang sehat baik fisik maupun mentalnya.
Referensi:
Antonio-JoséMoreno-Guerrero, e. a. (2020). Nomophobia: impact of cell phone use and time to rest among teacher students. Psychology Research, 1-8.
Archana T. Bhise, D. A. (2014). Study of Mobile Addiction among Students w.r.t. Gender and Education. Indian Journal of Research in Management, Business and Social Sciences (IJRMBSS), 17-21.
Bahtiar, V. R. (2021, 11 4). Mengenal Nomophobia, Gangguan yang Bikin Anak Sulit Jauh Dari Gadget. Retrieved from www.suara.com: https://www.suara.com/health/2021/11/04/132756/mengenal-nomophobia-gangguan-yang-bikin-anak-sulit-jauh-dari-gadget
Berns, R. M. (2013). Child, Family, School, Community (Socialization And Support). Canada: Wadsworth.
Ilga Maria, R. N. (2019). Generasi Alpha – Tumbuh Dengan Gadget Dalam Genggaman. Jurnal Educhild, 65-70.
Santrock, J. W. (2017). Life-span development. New York: Mc Graw Hill Education.
Sterbenz, C. (2014, 7 25). What Is Generation Alpha? Retrieved from www.businessinsider.com: https://www.insider.com/generation-alpha-2014-7
Zakia. (2021, 10 5). Psikologi Generasi Alpha dalam Candu Teknologi. Retrieved from www.ideapers.com: https://www.ideapers.com/2021/10/psikologi-generasi-alpha-dalam-candu-teknologi.html?m=1